Menurut WHO, skizofrenia adalah jenis penyakit mental yang mempengaruhi 20 juta orang di seluruh dunia. Orang dengan skizofrenia memiliki kecenderungan untuk mati muda dua hingga tiga kali lebih besar daripada populasi umum[1].
Data dari riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan terdapat sebanyak 6,7 rumah tangga dengan anggota rumah tangga pengidap skizofrenia/psikosis pada setiap 1.000 rumah tangga[2].
Daftar isi
Skizofrenia merupakan kelainan psikosis fungsional yang dicirikan dengan adanya kepercayaan delusional, halusinasi dan gangguan dalam pemikiran, persepsi, dan perilaku [3].
Penderita skizofrenia mengalami distorsi kenyataan, sering mengalami delusi atau halusinasi [4].
Skizofrenia dapat mengakibatkan suatu disabilitas bagi pasien dan keluarga akibat gejala negatif dan gejala kognitif yang muncul[5].
Skizofrenia merupakan salah satu dari 15 penyakit/kelainan yang paling menyebabkan debilitasi[4]
Risiko mengalami skizofrenia sebesar 10%pada orang yang memiliki orang tua atau saudara skizofrenia[4]
Skizofrenia diderita oleh sekitar dua puluh juta orang di seluruh dunia menurut data WHO 2020[1].
Menurut National Institute of Mental Health (NIMH) di Amerika Serikat skizofrenia termasuk kondisi tidak umum yang mempengaruhi sekitar 0, 25% hingga 0,64% penduduk[6].
Sementara menurut data Riskesdas Kementerian Kesehatan, pada tahun 2018 terdapat sebanyak 282.654 rumah tangga atau 0,67% masyarakat di Indonesia mengalami skizofrenia/psikosis[2, 9].
Kasus diskriminasi, stigma, kekerasan dan pelanggaran HAM cukup umum terjadi pada penderita skizofrenia[1].
Di Indonesia bahkan proporsi rumah tangga dengan anggota rumah tangga pengidap skizofrenia/psikosis yang dipasung menunjukkan angka sebanyak 14%[2].
Hingga saat ini, penyebab pasti dari skizofrenia belum diketahui. Para ahli menduga beberapa faktor genetik dan lingkungan berperan dalam berkembangnya penyakit skizofrenia[1, 3, 7].
Penyebab skizofrenia dapat berbeda pada setiap kasus dan dapat disebabkan kombinasi beberapa faktor risiko. Berikut beberapa faktor yang dapat menyebabkan skizofrenia[3, 4, 6]:
Genetik
Orang-orang yang memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia memiliki risiko yang lebih besar. Sedangkan pada mereka yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia, kemungkinan untuk mengalami penyakit tersebut kurang dari 1%[6].
Ketidakseimbangan Kimiawi di dalam Otak
Skizofrenia diduga terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan dari zat kimiawi yang disebut neurotransmitter, yaitu zat yang berperan dalam penghantaran impuls. Ketidakseimbangan neurotransmitter mengakibatkan transmisi impuls saraf mengalami gangguan.
Gejala skizofrenia diduga diakibatkan oleh kelebihan atau kekurangan neurotransmitter seeprti dopamine, serotonin, glutamate, dan GABA[3, 5].
Faktor Lingkungan
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko skizofrenia meliputi[1]:
Skizofrenia kadang disalahartikan sebagai gangguan kepribadian atau kepribadian ganda. Namun sebenarnya kepribadian ganda merupakan jenis gangguan mental yang berbeda[4].
Skizofrenia ditandai dengan adanya gangguan dalam berpikir, persepsi, emosi, bahasa, percaya diri dan tingkah laku[1].
Gejala dari skizofrenia dapat meliputi:
Gejala Awal
Gejala awal pada laki-laki biasanya muncul pada akhir usia remaja atau awal usia 20an, sementara pada wanita cenderung gejala cenderung muncul pada usia 20an dan awal 30an[7].
Gejala awal skizofrenia meliputi[4, 7]:
Gejala Positif
Gejala positif meliputi perilaku yang tidak umum terjadi pada orang normal. Perilaku tersebut meliputi[3, 4]:
Gejala Negatif
Gejala negatif meliputi kondisi yang secara tidak normal muncul pada penderita skizofrenia, seperti[3, 7]:
Gejala Kognitif
Gejala kognitif skizoprenia meliputi[7]:
Sebelum tahun 2013, skizofrenia dibedakan menjadi lima sub jenis, tapi kemudian skizofrenia digunakan sebagai satu diagnosis. Jenis-jenis skizofrenia dibedakan per individu pasien sekarang hanya digunakan untuk membantu dokter untuk perencanaan perawatan bukan sebagai diagnosis klinis[4].
Paranoid termasuk gejala positif dari skizofrenia, ditandai dengan perasaan ketakutan berlebih.
Jenis ini didiagnosa pada orang yang tidak mengalami halusinasi atau delusi namun mengalami ketidaksesuaian saat bicara dan berperilaku.
Diagnosa jenis in digunakan pada penderita skizofrenia yang menunjukkan lebih daru satu jenis gejala dominan.
Digunakan pada orang yang awalnya didiagnosa dengan skizofrenia tapi tidak menunjukkan gejala setelahnya.
Jenis ini didiagnosa pada orang-orang yang menunjukkan gejala membisu atau mengembangkan pengaruh seperti pingsan
Hampir separuh dari penderita skizofrenia memiliki masalah kesehatan mental lainnya. Lebih dari separuh penerita skizofrenia tidak mendapatkan perawatan yang memadai[4].
Penderita skizofrenia juga berisiko 2-3 kali lebih tinggi mengalami kematian muda dibandingkan populasi umum. Hal ini seringkali disebabkan oleh adanya penyakit fisik lain seperti penyakit kardiovaskuler, metabolik dan penyakit menular[1].
Padahal skizofrenia merupakan penyakit mental berat yang seharusnya tidak boleh diabaikan atau dibiarkan tanpa perawatan. Penyakit ini meningkatkan risiko komplikasi serius seperti[4]:
Skizofrenia dapat mengakibatkan penderitanya mengalami kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti sekolah dan bekerja[4].
Tidak ada suatu tes tunggal untuk mendiagnosis skizofrenia. Diagnosis dilakukan dengan mengamati perilaku seseorang dan mempertimbangkan riwayat kesehatan fisik dan mentalnya. Riwayat kesehatan keluarga juga dapat menjadi salah satu hal yang berperan dalam diagnosis[4, 6].
Untuk keperluan pengamatan kesehatan, dokter dapat melakukan beberapa tes berikut[4]:
Dokter menggunakan kriteria diagnosis dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5). Menurut DSM-5, kriteria diagnosis untuk skizofrenia meliputi adanya dua atau lebih dari gejala fase aktif berikut selama satu bulan[5]:
DSM-5 juga menyebutkan bahwa setidaknya salah satu gejala yang teramati harus berupa delusi, halusinasi, atau gangguan bicara.
Selain itu untuk memastikan diagnosis skizofrenia, pasien harus mengalami penurunan fungsi yang berkaitan dengan pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri. [5,6]
Gejala atau tanda skizofrenia sudah ada setidaknya selama 6 bulan, termasuk satu bulan periode gejala fase aktif yang disebutkan sebelumnya[5, 6].
Skizofrenia merupakan penyakit kronis yang berjangka panjang, namun perawatan dapat membantu penderita untuk mengendalikan gejala dan mencegah kambuh. Perawatan dengan obat-obatan dan dukungan psikososial menunjukkan hasil yang efektif[1, 6].
Obat yang umum digunakan dalam penanganan skizofrenia yaitu jenis obat antipsikotik. Inisiasi pengobatan prompt merupakan hal yang vital, terutama dalam lima tahun setelah episode akut pertama yang merupakan saat paling banyak terjadi perubahan pada otak akibat penyakit[5].
American Psychiatric Association menyebutkan pilihan untuk penanganan pertama skizofrenia yaitu SGA (second antipsychotic), dengan clozapine sebagai pengecualian[jd].
SGA yang dianjurkan untuk inisiasi pengobatan fase psikosis akut antara lain aripiprazole, olanzapine, risperidone, quetiapine, asenapine, lurasidone, sertindole, ziprasidone, brexpiprazole, molindone, iloperidone. [3]
Jika diperlukan secara klinis dapat digunakan bersama benzodiazepine seperti diazepam, clonazepam, atau lorazepam untuk mengkontrol gangguan perilaku dan kecemasan non-akut[3].
Penggunaan obat sebaiknya dilanjurkan untuk setidaknya 12 bulan setelah terjadinya episode psikotik pertama[5]. Penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk dokter dan obat tidak boleh dibeli bebas.
Untuk pasien yang tidak adherent terhadap penggunaan obat oral dapat diberikan obat secara injeksi atau dikenal sebagai anti psikosis LAI (Long-Acting Injectable). Interval dosis pengobatan LAI lebih panjang (bisa sampai 3 bulan)[5, 6].
Selain penggunaan obat-obatan untuk mengatasi gejala skizofrenia diperlukan juga terapi psiko-sosial. Pendekatan psikoterapi meliputi[5]:
Tingkat kesembuhan untuk individu dengan skizofrenia berbeda-beda, dan sangat bergantung pada tingkat kesehatan tubuh, usia, gejala, dan rencana perawatannya[4].
Sebuah studi melaporkan hanya sekitar 20% dari penderita skizofrenia yang menerima perawatan menunjukkan tingkat kesembuhan yang diharapkan. Sementara lebih banyak penderita yang tetap mengalami gejala skizofrenia sepanjang hidup[4].
Program terapi yang melibatkan keluarga telah menunjukkan hasil yang memuaskan dengan menurunkan tingkat kebutuhan rawat inap dan meningkatkan fungsi sosial[5, 8].
Skizofrenia tidak dapat dicegah. Akan tetapi dapat dilakukan identifikasi mengenai siapa yang berisiko dan bagaimana cara mencegahnya pada individu yang berisiko mengalami skizofrenia[7, 10].
Faktor genetik diduga berperan dalam timbulnya skizofrenia dengan dipengaruhi faktor lingkungan tertentu[10].
Upaya pencegahan skizofrenia dapat dilakukakan dengan menghindarkan beberapa faktor lingkungan (bukan genetik), seperti[4, 10]:
Jika dalam keluarga terdapat anggota yang mengalami skizofrenia, berikut beberapa tips untuk menekan risiko timbulnya penyakit[10]:
1. Anonim. Schizophrenia. World Health Organization; 2020.
2. Anonim. Persebaran Prevalensi Skizofrenia/Psikosis di Indonesia. Databoks Katadata; 2020.
3. Manassa Hany, Baryiah Rehman, Yusra Azhar, Jennifer Chapman. Schrizophrenia. StatPearls(Internet). Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
4. Valencia Higurae, reviewed by Timothy J. Legg, PhD, PsyD, CRNP, ACRN, CPH. What Do You Want to Know About Schizophrenia? Healthline; 2018.
5. Krishna R. Patel, PharmD, RPH, Jessica Cherian, PharmD, RPH, Kunj Gohi, PharmD, RPH, and Dylan Atkinson. Schizophrenia: Overview and Treatment Options. Pharmacy and Therapeutic Journal, NCBI; 2014.
6. Tim Newman, reviewed by Timothy J. Legg, Ph.D., CRNP. Understanding the Symptoms of Schizophrenia. Medical News Today; 2020.
7. Anonim. What Is Schizophrenia? Psychiatry; 2020.
8. Anonim. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
9. Yuli Nurhanisah, Chyntia Devina. Skizofrenia, Penyakit Gangguan Mental Jangka Panjang. Indonesia Baik; 2019.
10. Kara Mayer Robinson. Can You Prevent Schizophrenia? WebMD; 2020.