Daftar isi
Alergi seafood ialah reaksi yang terjadi segera setelah seseorang terpapar seafood atau makanan yang mengandung seafood. Alergi seafood (ikan dan kerang) lebih umum pada orang dewasa daripada pada anak-anak. Jenis alergi ini umumnya diderita seumur hidup[1, 2].
Alergi terhadap satu jenis seafood tidak berarti bahwa pasien mengalami alergi pada semua jenis seafood. Berbagai jenis seafood dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa orang alergi pada ikan saja, beberapa hanya alergi kerang atau moluska, dan beberapa orang alergi pada semua jenis seafood[1, 2].
Menurut sebuah survei alergi seafood diduga dialami oleh 2,3% dari populasi di Amerika Serikat. 3% dari orang dewasa memiliki alergi seafood, sedangkan pada anak-anak hanya sebesar 0,6%[3].
Alergi seafood bukan kondisi yang terlogong langka, diperkirakan pada setiap negara sekitar 1% populasi mengalami alergi seafood[4].
Reaksi alergi terhadap protein tertentu di dalam seafood dapat menyebabkan anafilaksis, yaitu suatu reaksi berat, tiba-tiba, dan berpotensi fatal yang mengakibatkan turunnya tekanan darah dan pembengkakan tenggorokan, menyebabkan kesulitan bernapas. Alergi seafood juga dapat menyebabkan reaksi kulit berat atau memicu serangan asma[3].
Semua alergi makanan disebabkan oleh reaksi berlebihan sistem imun tubuh. Pada alergi seafood, sistem imun salah mengenali protein tertentu di dalam seafood sebagai zat berbahaya. Sehingga sistem imun memproduksi antibodi terhadap protein tersebut.
Ketika terjadi kontak lagi dengan alergen (protein pemicu alergi), sistem imun melepaskan histamine dan zat kimiawi lain yang menimbulkan gejala alergi[5].
Reaksi hipersensitivitas terhadap ikan dan shellfish dapat diakibatkan dari konsumsi, kontak, atau bahkan paparan inhalasi. Umumnya rute utama sensitisasi pada seafood adalah melalui saluran pencernaan[6].
Pemicu reaksi alergi ialah protein di dalam seafood. Gejala alergi dapat muncul ketika protein tersebut disebarkan melalui udara ketika seafood dimasak. Sehingga reaksi alergi berat dapat muncul saat pasien memegang atau mencium asap dari seafood yang sedang dimasak[7].
Terdapat sebuah salah pengertian bahwa alergi seafood berkaitan dengan alergi iodium. Iodium merupakan mineral yang ditemukan dalam tubuh dan esensial untuk produksi hormon tiroid dan berbagai asam amino[4, 8].
Alergi seafood disebabkan oleh protein spesifik di dalam tubuh binatang (alergen), bukan diakibatkan iodium. Sehingga orang yang alergi seafood tidak memiliki risiko lebih mengalami reaksi alergi akibat iodium[4, 5].
Pada banyak kasus alergi seafood bersifat ringan dan menyebabkan gejala seperti[1, 4]:
Gejala biasanya muncul dalam hitungan menit, tapi pada beberapa orang (terutama yang mengalami alergi terhadap tiram, pauhi, cumi-cumi, atau udang) dapat tidak mengalami gejala hingga beberapa jam kemudian. Hal ini terkadang terjadi setelah berolahraga[1].
Beberapa orang mengalami gejala berbahaya yang disebut anafilaksis seperti[1, 2, 4]:
Terkadang, kesulitan bernapas dapat terjadi akibat menghirup aroma atau asap ketika seafood dimasak, dan di dalam pabrik pengolahan seafood. Anak-anak dengan riwayat asma lebih berpotensi mengalami reaksi alergi berat terhadap seafood[4].
Kadang kasus reaksi berat terjadi tanpa gejala reaksi ringan terlebih dahulu. Pada kasus langka, gejala berat terjadi tanpa gatal-gatal dan/atau muntah. Jika mengalami gejala berbahaya tersebut, pasien perlu mendapatkan pertolongan medis segera[1, 2].
Seafood yang dapat menyebabkan alergi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu[1, 4]:
Vertebrata meliputi jenis ikan bertulang belakang, seperti ikan salmon, ikan kod, ikan kembung, sarden, ikan haring, teri, ikan tuna, ikan trout, ikan haddock, ikan John Dory dan belut
Invertebrata meliputi jenis binatang laut tidak bertulang belakang, seperti udang, lobster, kepiting, tiram, remis, kerang, gurita, cumi-cumi, pauhi, siput laut.
Beberapa orang mengalami alergi terhadap ikan saja, atau pada shellfish atau moluska (jenis kerang-kerangan dan seafood invertebrata) saja, tapi ada juga yang alergi pada kedua jenis seafood.
Hal tersebut dikarenakan protein alergen yang terdapat pada masing-masing kelompok seafood secara umum dianggap sebagai sangat berbeda[1, 4].
Orang yang mengalami alergi pada satu jenis ikan biasanya (tapi tidak selalu) alergi pada sebagian besar jenis ikan.
Demikian pula orang yang mengalami alergi pada satu jenis crustacea (kelompok udang dan kepiting) biasanya dapat menoleransi seafood jenis lain. Namun hal ini tidak dapat dipastikan tanpa pengujian alergi spesifik[4].
Orang-orang yang alergi pada crustacea juga dapat mengalami alergi pada insekta (serangga) yang dapat dimakan seperti jangkrik (yang dapat digunakan sebagai tepung jangkrik di dalam makanan yang dipanggang)[4].
Beberapa kondisi yang disebabkan oleh reaksi negatif terhadap seafood dapat menyerupai reaksi alergi. Kondisi tersebut meliputi[4]:
Reaksi menyerupai alergi ini terjadi setelah mengkonsumsi ikan yang didinginkan dengan tidak tepat setelah ditangkap. Bakteri yang terdapat pada ikan memecah protein yang terkandung menjadi histamin, yang merupakan mediator utama reaksi alergi.
Umumnya terjadi pada ikan dengan kandungan daging merah tinggi, seperti ikan kembung, ikan tuna, raja ikan, ikan haring, sarden, marlin, teri, dan bluefish. Ikan yang terdampak sering memiliki rasa seperti logam atau seperti merica.
Gejala biasanya muncul dalam 30 menit, meliputi flushing, gatal, urtikaria, mual, muntah, kram perut, pusing, palpitasi, dan sakit kepala. Periode berat menimbulkan napas bersuara dan pusing atau penurunan tekanan darah.
Anisakis simplex merupakan nematoda (cacing) yang menjadi parasit pada ikan. Parasit ini ditemukan pada sebagian besar bagian dunia. Untuk mengantisipasinya, ikan yang telah ditinggalkan selama 48 jam atau lebih sejak dibekukan sebaiknya dibuang.
Anisakis dapat menyebabkan dua masalah, yaitu infeksi anisakis (anisakiasis) dan alergi anisakis. Infeksi anisakis dapat terjadi akibat konsumsi seafood mentah, diasamkan, atau kurang matang.
Parasit dapat menyebabkan peradangan di dalam usus, dan menimbulkan gejala seperti mual, muntah, sakit perut, dan kadang usus buntu.
Alergi anisakis mirip reaksi alergi terhadap makanan lainnya, namun alergi terjadi terhadap parasit di dalam ikan dan bukan ikan atau seafood itu sendiri.
Reaksi alergi terjadi sesekali setelah mengkonsumsi seafood, bukan pada setiap kali konsumsi. Alergen anisakis simplex tidak rusak setelah dipanaskan atau dimasak.
Keracunan ciguatera disebabkan karena mengkonsumsi seafood yang telah terkontaminasi oleh toksin yang diproduksi alga. Racun ciguatera hanya terdapat di dalam ikan, terutama ikan karang besar di daerah tropis.
Keracunan kerang paralitik dan keracunan kerang diare disebabkan oleh shellfish yang terkontaminasi oleh mikroorganisme (seperti alga yang memproduksi toksin), terutama remis dan tiram. Racun mempengaruhi fungsi ujung saraf.
Gejala terjadi dalam 2-3 jam setelah konsumsi, meliputi kesemutan pada bibir, lidah, dan tenggorokan, seringkali disertai sakit perut, sakit kepala, demam, sakit otot. Pada kasus keracunan ciguatera terkadang disertai perubahan tekanan darah dan ritme jantung.
Pengawet metabisulfit kadang dapat digunakan untuk mencegah crustacea (seperti udang) mengalami perubahan warna. Reaksi pada pengawet ini meliputi napas bersuara atau dada sesak (lebih umum terjadi pada penderita asma), iritasi perut, dan sangat tidak umum, gatal atau ruam.
Pemeriksaan riwayat kesehatan menjadi salah satu langkah utama dalam melakukan diagnosis. Dokter dapat menanyakan mengenai konsumsi atau kontak dengan alergen serta gejala yang dialami pasien[6, 9].
Untuk mengidentifikasi alergi, dapat dilakukan tes tusuk kulit atau tes darah. Tes tusuk kulit dilakukan dengan menusuk kulit pada lengan bawah dan mengenalkan sejumlah kecil alergen ke dalamnya.
Jika pasien mengalami alergi, akan muncul bintik merah kecil yang gatal dalam beberapa menit setelah sel mast melepas histamine[8].
Tes darah untuk mendiagnosis alergi disebut sebagai tes radioallergosorbent (RAST) atau tes antibodi IgE spesifik alergen. Tes ini dilakukan dengan mengukur respon sistem imun terhadap seafood[8].
Pemeriksaan tanda-tanda vital, dengan perhatian utama pada kondisi pernapasan dan tekanan darah, penting dalam membedakan anafilaksis dari reaksi yang lebih ringan[9].
Saat ini belum terdapat pengobatan untuk alergi seafood. Biasanya, dokter menganjurkan pada pasien untuk membawa suntikan epinefrin untuk mengantisipasi terjadinya reaksi alergi.
Epinefrin merupakan penanganan pertama untuk reaksi alergi berat dan anafilaksis. Untuk reaksi ringan, dokter dapat menganjurkan antihistamin[8].
Pertolongan pertama pada reaksi alergi ringan ialah dengan pemberian anti histamin untuk meringankan gejala. Pada reaksi alergi berat pertolongan pertama memerlukan suntikan epinefrin dan dilanjutkan pertolongan dokter[10].
Berikut langkah pertolongan pertama untuk reaksi alergi berat[10]:
Orang yang mengalami alergi seafood disarankan untuk selalu membawa autoinjector epinefrin untuk mengantisipasi terjadinya reaksi alergi berat.
Selain itu sebaiknya mengenakan gelang atau kalung identifikasi medis yang dapat menginformasikan pada orang lain mengenai alergi yang dimiliki, hal ini dapat memungkinkan orang lain dapat membantu saat darurat[10].
Cara pencegahan timbul reaksi alergi ialah dengan menghindari seafood dan semua produk yang berbahan seafood. Kandungan seafood dalam jumlah yang sangat kecil dapat menimbulkan reaksi berat pada beberapa orang[5].
Berikut beberapa kiat untuk menghindari seafood[1, 5, 8]:
Saat makan di restoran, sebaiknya selalu memastikan bahwa alat-alat memasak tidak digunakan bersamaan atau setelah digunakan untuk mengolah bahan seafood.
Orang dengan alergi seafood sebaiknya menghindari makan di restoran dengan dominasi menu seafood karena berisiko tinggi terjadi kontaminasi silang.
Selain itu, dapat ditanyakan pada pelayan restoran bagaimana pengolahan menu dan bahan apa yang digunakan di dalam makanan. Beberapa restoran makanan Asia sering menambahkan saus ikan sebagai bumbu.
Berbagai makanan olahan dan makanan kemasan dapat mengandung bahan atau bumbu berupa seafood. Saat berbelanja bahan makanan, sebaiknya membaca label kemasan dengan seksama sebelum membeli.
Beberapa bahan yang harus dihindari meliputi saus tiram, saus ikan, saus marinara, pasta ikan, stok ikan, kerupuk udang, suplemen ikan atau krill.
Orang yang memiliki alergi seafood dapat mengalami reaksi alergi dari kontak langsung seperti sentuhan atau menghirup asap dari olahan atau masakan seafood. Jika memiliki alergi seafood sebaiknya menghindari tempat-tempat yang berpotensi menyebabkan kontak.
Jika memiliki alergi sebaiknya tidak memberitahu beberapa orang dekat. Misalnya ketika menerima undangan makan malam, ada baiknya memberitahu orang yang mengundang mengenai alergi seafood untuk mencegah terjadinya reaksi alergi.
Suntikan epinefrin diperlukan sebagai pertolongan pertama saat terjadi reaksi alergi berat. Pastikan bahwa suntikan epinefrin belum kadaluarsa dan selalu ingat untuk membawanya.
Glukosamin merupakan pengobatan komplementer yang digunakan untuk menangani osteoarthritis.
Obat ini berbahan lapisan luar dari shellfish seperti crustacea (kelompok binatang seperti kepiting dan udang). Terkadang ditambahkan kondroitin sulfat, biasanya berasal dari kartilago (tulang rawan) hiu[4].
Meski orang dengan alergi seafood atau shellfish sensitif terhadap protein shellfish dan bukan terhadap penyusun kulitnya.
Namun biasanya produk obat tidak melalui tes untuk memastikan tidak adanya kontaminasi protein, sehingga tidak ada bukti keamanan untuk dikonsumsi oleh orang yang alergi seafood[4].
Jika mengalami alergi seafood sebaiknya menghindari penggunaan glukosamin. Sebagai alternatif, saat ini tersedia glukosamin “vegetarian” yang tidak mengandung alergen seafood karena diproduksi dalam kultur bakteri[4].
1. Anonim. Allergies to Seafood. Health Direct, Australian Government; 2020.
2. Anonim. Allergy—Seafood Allergy (Includes Fish and Shellfish). Sydney Children’s Hospital Network, NSW Government; 2020.
3. Anonim, reviewed by Brunilda Nazario, MD. Seafood Allergies Common for Adults. WebMD; 2004.
4. Anonim. Allergic and Toxic Reactions to Seafood. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy; 2019.
5. Anonim. Shellfish Allergy. Mayo Clinic; 2020.
6. Elham Hossny, Zeinab Ebraheem, Ayman Rezk. Seafood Allergy. Egypt Journal of Pediatric Allergy Immunology; 2010.
7. Diana Rodriguez, reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Seafood Allergies: Fact vs. Fiction. Everyday Health; 2011.
8. Michael Kerr, reviewed by Elaine K.Luo, MD. Shellfish Allergies. Healthline; 2019.
9. Alonso LL, Armstrong L, Warrington SJ. Shellfish Allergy. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
10. Anonim. Shellfish and Fish Allergies. Better Health Channel; 2020.