Daftar isi
Bruxism dikenal sebagai istilah bagi kondisi kebiasaan menggertakkan gigi di mana aktivitas ini biasanya terjadi pada saat tidur dan tidak disadari oleh penderitanya [1,2,3,4,5,7,9].
Bruxism atau aktivitas menggertakkan gigi ini terjadi saat otot rahang menegang dan antara gigi-gigi bagian serta bawah saling menekan dan menggesek ke kiri dan kanan.
Walau sepertinya hal ini adalah kebiasaan yang wajar, orang dengan bruxism wajib hati-hati karena seiring waktu gigi akan mengalami keausan.
Tak hanya gigi, kesehatan mulut secara menyeluruh dapat terkena dampak buruknya, apalagi jika kebiasaan ini tidak diimbangi dengan perawatan gigi yang tepat.
Prevalensi awake bruxism dari populasi orang dewasa yang mengalaminya adalah sekitar 20% di mana hal ini terjadi sebagai reaksi stres dan kecemasan [1].
Pada kasus sleep bruxism, kesadaran menggeretakkan gigi selama tidur menurut anggota keluarga maupun pasangan dari pemilik kebiasaan tersebut adalah sekitar 8% dari populasi dunia [1].
70% lebih kasus bruxism disebabkan oleh kecemasan dan stres, baik itu pada kondisi awake bruxism maupun sleep bruxism [5].
Gejala bruxism yang timbul dikaitkan dengan gerakan kaki secara tidak terkontrol dan tidak dapat dikendalikan dengan persentase kasus sebesar 86% [10].
Sementara itu, prevalensi bruxism pada populasi di Indonesia belum diketahui secara jelas.
Bruxism dikenal sebagai suatu kondisi menggertakkan gigi yang secara tidak sadar dilakukan saat tidur oleh orang dewasa di malam hari.
Padahal, sebenarnya ada beberapa jenis kondisi bruxism dengan penderita, penyebab dan waktu terjadi yang berbeda [3,4].
Jenis bruxism ini adalah jenis yang paling umum dan kondisi yang paling banyak dimiliki orang.
Seperti istilahnya, sleep bruxism lebih sering terjadi saat malam hari, khususnya sewaktu tidur.
Penderita bruxism jenis ini tidak akan menyadari bahwa dirinya sedang menggertakkan gigi, namun orang yang tidur satu ruangan dengan penderita akan terganggu karena suara keratan atau gemeretak gigi.
Jenis bruxism ini jarang diketahui dan jarang pula dialami di mana kondisi ini berkebalikan dari sleep bruxism.
Awake bruxism adalah ketika seseorang menggertakkan gigi khususnya saat sedang beraktivitas.
Kebiasaan yang tidak sehat ini paling berpotensi terjadi ketika seseorang sedang mengalami stres berkepanjangan.
Tak hanya saat sedang stres, awake bruxism biasanya dipicu oleh rasa gugup, frustrasi, marah ataupun cemas.
Walau dalam kondisi terjaga, seseorang dengan kebiasaan menggertakkan gigi kerap tak sadar saat ia melakukan aktivitas ini.
Awake bruxism pun dapat terjadi ketika seseorang sedang berpikir dalam atau berkonsentrasi terhadap suatu hal.
Bruxism tidak hanya dapat dialami oleh orang dewasa, sebab hal ini terjadi pula pada anak-anak pada dua waktu.
Bruxism dapat terjadi pada bayi yang giginya baru akan tumbuh serta pada anak yang gigi permanennya akan tumbuh.
Biasanya bruxism pada anak tidak akan berlanjut saat gigi permanen sudah tumbuh, namun bila sebaliknya, orangtua perlu membawa sang anak ke dokter untuk menghilangkan kondisi bruxism ini.
Tinjauan Ada tiga jenis kondisi bruxism, yaitu sleep bruxism (aktivitas menggertakkan gigi secara tak sadar pada waktu tidur di malam hari), awake bruxism (aktivitas menggertakkan gigi yang menjadi kebiasaan ketika sedang tertekan, stres, cemas atau frustrasi), dan bruxism anak (umumnya terjadi pada anak yang akan tumbuh gigi).
Bruxism tak sekadar kebiasaan menggertakkan gigi yang bisa terjadi saat tidur, karena bruxism dapat terjadi karena beberapa alasan.
Berikut ini adalah sejumlah faktor yang mampu menyebabkan bruxism, terutama pada orang dewasa.
1. Masalah pada Rahang
Bila seseorang memang sudah memiliki gangguan pada rahang, seperti kasus occlusal disrepancy atau kondisi ketika gigi bawah dan atas tidak bertemu dengan benar, risiko bruxism lebih tinggi padanya [5].
Bahkan ketika ada gigi yang hilang atau bengkok, bruxism sangat rentan terjadi. Ketika rahang bermasalah, maka begitu rahang diperbaiki biasanya bruxism pun akan hilang.
2. Efek Obat Tertentu
Pengguna psikotropik, antipsikotik dan antidepresan adalah yang paling berisiko mengalami bruxism [4,5,9].
Bruxism adalah salah satu efek samping dari penggunaan obat-obatan tersebut dan obat yang paling umum menyebabkan bruxism adalah sertraline dan paroxetine yang masih tergolong SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor).
3. Faktor Psikologis
Stres, cemas, gugup hingga frustrasi dapat membuat seseorang mengalami bruxism, baik itu awake bruxism maupun sleep bruxism [4,5,6,7,9].
Pria jauh lebih berpotensi memiliki kebiasaan menggertakkan gigi karena stres dalam pekerjaannya daripada wanita.
Bruxism adalah kondisi yang juga paling kerap dikaitkan dengan kondisi gangguan tidur sleep apnea obstruktif [6].
Selain itu, para penderita bruxism pun seringkali mengalami jenis gangguan tidur yang lain, seperti halusinasi, sleep paralysis atau kelumpuhan tidur, atau sleep talking atau bicara saat tidur.
Orang yang memiliki gangguan-gangguan tidur tersebut paling rentan terhadap bruxism, mendengkur, hingga mengigau.
5. Faktor Riwayat Keluarga
Bila bruxism terjadi pada anggota keluarga yang lain, khususnya orangtua ataupun kakek maupun nenek, ada kemungkinan bruxism ini menjadi kondisi yang diturunkan [9].
Seseorang dengan anggota keluarga yang memiliki kebiasaan menggertakkan gigi berisiko mengalami hal yang sama.
6. Faktor Gaya Hidup
Gaya hidup yang tak sehat pun dapat menjadi alasan timbulnya kebiasaan menggertakkan gigi, seperti misalnya [2,4,5,6,7,9] :
40% anak khususnya usia balita atau sebelum usia sekolah mengalami bruxism di mana aktivitas menggertakkan gigi dapat terjadi setidaknya seminggu sekali menurut sebuah survei di tahun 2008 [4].
Sekitar 7%-nya memiliki kebiasaan menggertakkan gigi 4 kali atau lebih setiap minggunya di mana hal ini umumnya dapat disebabkan oleh :
Para orangtua yang menyadari bahwa anaknya mengalami gejala bruxism, perhatikan apakah setiap malam saat tidur si kecil tidur tengkurap, bernafas melalui mulut, atau ngiler.
Bila gejala mengkhawatirkan, segera konsultasikan dengan dokter anak ataupun dokter gigi untuk segera menangani gejala tersebut.
Tinjauan Ada berbagai faktor yang menyebabkan bruxism, mulai dari faktor psikologis (stres dan cemas), faktor obat-obatan, faktor medis tertentu, faktor riwayat keluarga, serta faktor gaya hidup yang tidak sehat.
Geretakan atau keratan gigi tanpa sadar sebenarnya memberikan tekanan pada jaringan, otot, serta struktur di sekitar rahang sehingga lama-kelamaan dapat merusak gigi-gigi penderita sendiri.
Berikut ini adalah gejala-gejala bruxism yang wajib dikenali untuk diwaspadai [4,7,8,9] :
Ketika gejala bruxism mulai dirasakan namun penderita ingin mengonfirmasinya, temui dokter untuk menempuh beberapa pemeriksaan.
Kunjungi dokter gigi untuk menjalani pemeriksaan gigi supaya dokter pun dapat menentukan apakah tanda-tanda yang dialami oleh pasien mengarah pada bruxism [9].
Dokter biasanya akan mengecek kondisi gigi pasien untuk melihat ada tidaknya perubahan pada kondisi gigi serta mulut.
Untuk mengetahui perubahannya, maka pasien harus datang kembali beberapa kali agar dokter dapat menentukan apakah pasien memerlukan penanganan khusus atau tidak.
Proses evaluasi terhadap kondisi gigi dan mulut pasien dilakukan dengan memeriksa otot rahang.
Selain otot rahang, dokter pun akan memeriksa apakah ada gigi yang hilang ataupun rusak.
Selain pemeriksaan atau evaluasi fisik, dokter perlu tahu riwayat kesehatan pasien.
Maka biasanya, beberapa pertanyaan diajukan kepada pasien tentang kesehatan gigi pasien secara umum, kebiasaan sehari-hari yang berhubungan dengan perawatan gigi, kebiasaan tidur, dan obat-obatan apa yang sedang digunakan.
Untuk mengeliminasi kemungkinan gangguan lain selain bruxism, dokter akan meminta pasien menempuh tes lanjutan.
Tes pemindaian seperti sinar-X dilakukan oleh dokter dengan tujuan memeriksa adanya kerusakan pada gigi yang biasanya ada di bagian dalam pipi sehingga sulit untuk diperiksa secara langsung.
Dokter biasanya akan merujukkan pasien ke dokter spesialis lain bila bruxism didapati berhubungan dengan masalah psikologis atau gangguan tidur.
Pasien sebaiknya menemui dokter spesialis obat tidur ataupun konselor maupun terapis terpercaya untuk menempuh beberapa pemeriksaan dan konseling.
Tinjauan Pemeriksaan fisik pada bagian dalam mulut pasien, pertanyaan seputar riwayat kesehatan pasien, dan sinar-X adalah bagian dari langkah diagnosa untuk mendeteksi dan mengonfirmasi bruxism.
Penanganan bruxism terdiri dari dua metode, yakni secara medis maupun secara mandiri.
Tujuan kedua metode penanganan ini adalah untuk mengurangi keratan gigi sekaligus mencegah komplikasi kerusakan permanen pada gigi.
Untuk menangani bruxism secara medis, umumnya dokter gigi akan memberikan beberapa solusi, seperti pelindung mulut atau mouthguard [2,4,5,7,9].
Dokter gigilah yang akan memilih dan menentukan pelindung mulut yang sesuai dengan mulut pasien supaya gigi dapat tercegah dari kerusakan.
Selain pelindung mulut, splint atau behel atau brace dapat juga diberikan oleh dokter khususnya kepada pasien dengan gigi longgar dan tidak rata [2,4,5,7,9].
Tujuan penggunaan splint adalah untuk membantu gigi lebih rata dan rapi.
Penggunaan crown gigi dapat dianjurkan oleh dokter bagi pasien bruxism dengan gigi yang kurang baik dan kurang rata [4].
Crown gigi bertujuan memperbaiki permukaan gigi dan susunannya serta mencegah kerusakan gigi akibat gesekan dari hasil keratan gigi terlalu sering.
Operasi dapat menjadi opsi terakhir ketika pelindung mulut dan crown gigi kurang efektif dalam mengatasi bruxism [5].
Dokter biasanya menyarankan operasi kepada pasien agar gigi yang tidak rata dapat diperbaiki dan diharapkan bruxism dapat hilang setelah gigi lebih baik.
Pasien bruxism dengan masalah sleep apnea obstruktif biasanya akan dibantu dokter untuk mengatasi gangguan tidur tersebut [4].
CPAP (continuous positif airway pressure) adalah alat yang kemungkinan besar akan diberikan oleh dokter sebagai solusi sleep apnea.
Tujuan dari penggunaan alat ini adalah supaya tenggorokan tidak mudah menutup saat tidur sehingga berbagai gejala sleep apnea bisa dihindari.
Penderita sleep apnea perlu mengenakan masker khusus saat tidur yang menutupi hidung dan mulutnya, barulah alat ini bertugas meniupkan udara melalui masker tersebut agar udara menuju saluran pernafasan.
Awake bruxism adalah jenis bruxism yang umumnya disebabkan oleh cemas dan stres berlebihan sehingga penggunaan relaksan otot kemungkinan dianjurkan dokter untuk mengurangi gejala [4,9].
Clonidine adalah salah satu obat yang umumnya digunakan untuk hipertensi namun dapat membantu meredakan gejala bruxism.
Namun bagi penderita hipotensi atau tekanan darah rendah ataupun pemilik tekanan darah normal, penggunaan obat ini cukup berbahaya sehingga masih diperlukan peninjauan lebih jauh.
Psikoterapi seperti terapi perilaku adalah salah satu penanganan bruxism yang dapat membantu mengurangi kebiasaan menggertakkan gigi [4,9].
Sementara itu, biofeedback adalah sejenis terapi yang dapat membantu agar aktivitas otot rahang lebih terkendali.
Kurangnya kualitas tidur menjadi salah satu sebab bruxism dapat terjadi, maka membenahi pola tidur dapat dicoba untuk mengurangi gejala bruxism [7,9].
Dengan memperoleh kualitas tidur atau waktu istirahat yang cukup, maka bruxism dapat berkurang secara bertahap.
Saat stres melanda, ada baiknya untuk mencari cara untuk meredakannya, baik itu dengan berolahraga, mandi air hangat, minum teh hangat, mendengarkan musik atau kegiatan lainnya untuk merilekskan pikiran dan tubuh [2,4,5,7,9].
Saat stres berkurang, risiko gejala bruxism pun dapat diminimalisir.
Setiap sebelum tidur atau beberapa jam sebelum beranjak tidur, hindari mengonsumsi minuman beralkohol, teh berkafein, dan juga kopi [7,9].
Mengonsumsi minuman-minuman ini sangat dapat membuat kondisi bruxism menjadi jauh lebih buruk.
Untuk mengidentifikasi bruxism sejak dini, rutinlah memeriksakan kondisi kesehatan mulut dan gigi [9].
Dari hasil pengecekan kesehatan rutin, dokter gigi akan lebih mudah mendeteksi bruxism dari kondisi rahang atau mulut sehingga penanganan juga lebih cepat dilakukan.
Tinjauan Penanganan bruxism dapat dilakukan secara medis maupun secara mandiri. Pemberian pelindung mulut, obat-obatan dan terapi umumnya diberikan sesuai dengan penyebab bruxism, namun bila kurang berhasil pada gigi yang bermasalah, operasi perlu ditempuh pasien.
Bruxism yang tidak ditangani maka akan menimbulkan sejumlah komplikasi berbahaya bagi tubuh penderita, yaitu antara lain [1,4,7,9] :
Tinjauan Berbagai komplikasi kesehatan dapat terjadi ketika bruxism tidak ditangani, seperti gangguan sendi rahang, hilangnya enamel gigi, gigi retak, gigi kuning, sakit kepala migrain hingga resesi gusi.
Pencegahan bruxism dapat lebih kepada menerapkan pengelolaan stres yang lebih baik seperti dengan [5,7] :
Ketika dapat mengelola, mengurangi atau menghindari segala bentuk kecemasan dan stres, risiko bruxism pun dapat berkurang.
Pemeriksaan kesehatan mulut dan gigi secara rutin ke dokter gigi juga dapat mendeteksi bruxism sejak awal.
Terdeteksinya bruxism sejak dini akan memperbesar potensi bruxism dapat ditangani dengan cepat dan efektif.
Tinjauan Mengelola atau mengurangi stres menjadi kunci utama untuk dapat menghindari bruxism. Namun, pemeriksaan rutin kesehatan mulut dan gigi juga diperlukan untuk mendeteksi bruxism sejak dini.
1) Lavigne GJ1, Khoury S, Abe S, Yamaguchi T, & Raphael K. 2008. PubMed gov US National Library of Medicine National Institutes of Health. Bruxism physiology and pathology: an overview for clinicians.
2) R. V. Murali, Priyadarshni Rangarajan, & Anjana Mounissamy. 2015. Journal of Pharmacy & BioAllied Sciences. Bruxism: Conceptual discussion and review.
3) Adrian U. Yap & Ai Ping Chua. 2016. Journal of Conservative Dentistry. Sleep bruxism: Current knowledge and contemporary management.
4) Mark Burhenne, DDS. 2020. Ask The Dentist. Bruxism (Teeth Grinding): Types, Causes, and Treatments.
5) Kati Blake & Christine A. Frank, DDS. 2016. Healthline. What Causes Teeth Grinding?
6) S Varalakshmi Reddy, M Praveen Kumar, D Sravanthi, Abdul Habeeb Bin Mohsin, & V Anuhya. 2014. Journal of International Oral Health International Society of Preventive and Community Dentistry. Bruxism: A Literature Review.
7) Ilona Fotek, DMD, MS, David Zieve, MD, MHA, & Brenda Conaway. 2018. Medline Plus. Bruxism.
8) Genc Demjaha, Biljana Kapusevska, & Budima Pejkovska-Shahpaska. 2019. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences. Bruxism Unconscious Oral Habit in Everyday Life.
9) Mayo Clinic Staff. 2017. Mayo Clinic. Bruxism (teeth grinding).
10) Shilpa Shetty, Varun Pitti,corresponding, C. L. Satish Babu, G. P. Surendra Kumar, & B. C. Deepthi. 2010. The Journal of Indian Prosthodontic Society. Bruxism: A Literature Review.