Daftar isi
Hiperkapnia adalah istilah untuk kondisi ketika kadar karbon dioksida dalam darah terlalu tinggi atau berlebihan yang ditandai dengan hipoventilasi [1,2].
Hipoventilasi sendiri adalah sejenis gangguan pernapasan ketika paru-paru hanya menerima oksigen yang terlalu sedikit dan mengeluarkan karbon dioksida yang sangat minim [1,2].
Tinjauan Hiperkapnia atau hiperkarbia adalah kondisi kadar karbon dioksida yang mengalami peningkatan berlebihan di dalam darah karena tak dapat dikeluarkan oleh paru.
Pada dasarnya, hiperkapnia terjadi pada seseorang ketika produksi CO2 atau karbon dioksida di dalam darah mengalami peningkatan atau ketika fungsi pernafasan mengalami kegagalan [1,2].
Sejumlah kondisi yang dapat menjadi penyebab maupun faktor risiko hiperkapnia antara lain :
Contoh kondisi paling umum dari PPOK ini adalah emfisema dan bronkitis kronis yang akan membuat penderitanya kesulitan untuk bernafas [1,2,3,4].
Lingkungan berpolusi serta kebiasaan merokok dapat menjadi penyebab utama PPOK [3,4].
Ketika tidak segera memperoleh penanganan, PPOK kemudian akan memengaruhi alveoli atau kantung udara di dalam paru penderita [3,4].
Bila alveoli sudah mulai terkena dampaknya, maka kemampuan untuk mengembang saat oksigen masuk ke dalam paru tidak lagi maksimal [3,4].
Pada alveoli, di antaranya pun terdapat dinding-dinding yang akan rusak karena PPOK tidak segera diobati [3,4].
Saat sudah mengalami kerusakan sepenuhnya, paru-paru tak lagi bisa memperoleh oksigen secara optimal [3,4].
Penderita kemudian akan merasakan kesulitan bernafas yang lebih hebat yang juga disebabkan oleh penumpukan karbon dioksida dalam kadar terlalu tingg [3,4]i.
Karbon dioksida tak lagi bisa dikeluarkan sehingga terjebak di dalam aliran darah; meski demikian, tak semua penderita PPOK pasti menderita hiperkapnia [3,4].
Kasus hiperkapnia karena faktor genetik sendiri sebenarnya masih sangat jarang, namun bukan tidak mungkin untuk terjadi [5].
Kondisi genetik yang mampu memperbesar peluang seseorang dalam mengalami hiperkapnia adalah gagalnya fungsi hati dalam memroduksi alfa-1-antitripsin) [5].
Protein tersebut sangat vital bagi kesehatan dan fungsi organ paru-paru, jadi jika sampai mengalami defisiensi, hiperkapnia dapat dialami sebagai akibatnya [5].
Obesitas dapat menjadi salah satu faktor yang meningkatkan kesulitan seseorang untuk bernafas [1,2].
Karena berat badan berlebih, seringkali paru-paru ikut terkena pengaruhnya, yakni mengalami tekanan yang cukup besar [1,2].
Paru-paru kemudian tak lagi bisa mendapatkan udara yang cukup dan karbon dioksida terjebak terlalu banyak di dalam darah [1,2].
Paru-paru bisa berfungsi dengan baik karena peran dari otot serta saraf yang sehat [1,2].
Namun bila otot dan saraf mengalami gangguan, hal ini akan turut memengaruhi kinerja paru, contohnya saja distrofi otot [1,2].
Kelemahan otot ini bisa menjadi faktor yang memperbesar risiko gangguan pernafasan dan hiperkapnia [1,2].
Beberapa kondisi seperti myasthenia gravis, sindrom Guillain-Barre, ensefalitis, dan ALS (amyotrophic lateral sclerosis) termasuk dalam jenis gangguan otot dan saraf pemicu hiperkapnia [6].
Sleep apnea sendiri merupakan gangguan pernafasan saat seseorang sedang tidur, ditandai dengan nafas dangkal atau nafas yang memiliki jeda [1,2].
Sleep apnea mampu memengaruhi keseimbangan antara oksigen dan karbon dioksida dalam darah lalu memicu hiperkapnia [1,2].
Melakukan aktivitas tertentu dapat menjadi salah satu alasan terjadinya hiperkapnia, seperti scuba diving [7].
Aktivitas menyelam dapat berpengaruh pada pernafasan, termasuk juga penggunaan ventilator di rumah sakit setelah diberi anestesi [7].
Penggunaan obat tertentu dengan dosis berlebih juga tidak baik bagi kesehatan dan berpotensi memicu hiperkapnia [8].
Waspadai penggunaan benzodiazepine dan opioid agar dosis tidak terlalu tinggi dan justru memicu gangguan kesehatan [8].
Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh benar-benar rendah yang mampu mengakibatkan kematian apabila suhu tak kembali normal secepatnya [9].
Jika suhu tubuh normal manusia adalah 36,5 hingga 37 derajat Celsius, maka suhu tubuh di bawah angka tersebut sudah cukup berbahaya apalagi dalam waktu lama [9].
Berada di tempat dingin terlalu lama, ditambah dengan jenis pakaian yang kurang mendukung atau kondisi pakaian yang basah akan mempercepat penurunan suhu tubuh [9].
Ketika penderita tidak segera memperoleh pertolongan atau justru memperoleh pertolongan yang salah, gangguan sistem pernafasan (termasuk hiperkapnia) hingga gagal jantung bisa terjadi [9].
Bila demikian, risiko kematian pada penderita hipotermia semakin tinggi [9].
Stroke batang otak adalah sebuah kondisi ketika aliran darah pada arteri batang otak yang sangat kecil mengalami gangguan [1,2].
Aktivitas dasar sistem saraf pusat seluruhnya bergantung pada batang otak walaupun mungkin berukuran sangat kecil [1,2].
Hanya saja ketika bermasalah, seperti terjadinya stroke batang otak, hal ini mampu memengaruhi fungsi pernafasan dan fungsi tubuh lainnya [1,2].
Ketika seseorang mengalami demam tinggi, kondisi ini mampu menjadi salah satu alasan hiperkapnia terjadi [1,2].
Begitu pula ketika seseorang mengasup makanan tinggi karbohidrat yang terlalu banyak sehingga tak disadari meningkatkan pula kadar karbon dioksida di dalam aliran darah [1,2].
Selain dari berbagai kondisi yang telah disebutkan, sejumlah faktor di bawah ini mampu memperbesar risiko seseorang dalam menderita hiperkapnia, yaitu [1,2] :
Tinjauan Penyebab hiperkapnia sangat beragam, dapat terjadi karena faktor genetik (walau jarang), penyakit paru obstruktif kronis, obesitas, gangguan otot dan saraf, sleep apnea, obat tertentu, aktivitas tertentu, stroke batang otak hingga hipotermia.
Hiperkapnia seringkali menimbulkan gejala yang tak terlalu kentara.
Gejala-gejala hiperkapnia dapat terbilang ringan dan oleh sebab itu menjadi lebih sulit mendeteksinya sejak dini.
Beberapa gejala ringan hiperkapnia yang bisa dianggap angin lalu oleh penderitanya adalah [1,2] :
Jika gejala-gejala yang dianggap biasa tersebut berlangsung selama beberapa hari hingga beberapa minggu, sudah pasti sebaiknya bawa diri ke dokter untuk menempuh pemeriksaan.
Jika tidak segera memeriksakan diri, terdapat risiko gejala hiperkapnia berkembang menjadi lebih serius seperti berikut [1,2,10] :
Tinjauan Berbagai gejala awal dan ringan yang ditimbulkan oleh hiperkapnia antara lain adalah pusing, mudah mengantuk, tidak fokus, sakit kepala ringan, nafas pendek, hingga kelelahan tanpa alasan.
Untuk memastikan apakah gejala-gejala yang terjadi mengarah pada hiperkapnia, beberapa metode diagnosa berikut perlu pasien tempuh [1,2] :
Tinjauan Pemeriksaan klinis dan pemindaian hingga tes fungsi paru dan sistem saraf pusat perlu pasien tempuh agar dokter dapat mengidentifikasi penyebab dan menentukan pengobatan yang tepat.
Penanganan hiperkapnia tentu perlu disesuaikan dengan penyebab kondisi tersebut, namun umumnya sejumlah metode pengobatan untuk pasien hiperkapnia meliputi :
Kortikosteroid baik oral maupun hirup diberikan oleh dokter dengan tujuan menurunkan risiko inflamasi atau radang [2,11,12].
Sementara itu, untuk kasus bronkitis akut atau pneumonia harus ditangani dengan antibiotik, begitu pula dengan kasus infeksi pernafasan lain yang disebabkan oleh bakteri [12].
Bronkodilator juga akan diberikan oleh dokter untuk membantu mengembalikan fungsi otot saluran nafas pasien [2,12].
Ventilator menjadi bentuk penanganan utama dan pertama bagi penderita hiperkapnia dengan gejala parah. Pasien perlu menggunakan ventilator agar dapat bernafas dengan lebih baik dan lancar [1,2,10].
Penanganan dengan ventilator juga bertujuan agar pasien bisa memperoleh oksigen dan menyeimbangkan kadar oksigen dengan karbon dioksida.
Ventilator hanya akan diberikan sebagai alat bantu nafas ketika sesak nafas sudah tergolong berat.
Beberapa jenis terapi kemungkinan dibutuhkan oleh pasien hiperkapnia sesuai dengan kondisi yang dialami.
Terapi oksigen dan rehabilitasi paru adalah dua metode terapi yang pasien dapat tempuh untuk mengembalikan dan meningkatkan kesehatan sistem pernafasan [1,13].
Rehabilitas paru biasanya meliputi latihan fisik, diet dan pembenahan kebiasaan yang akan membantu memulihkan tubuh dari gejala hiperkapnia.
Pada kondisi hiperkapnia yang sudah sangat parah di mana paru-paru dan saluran nafas mengalami kerusakan serius, dokter kemungkinan besar menyarankan pasien menempuh operasi.
Jalur operasi reduksi volume paru bertujuan utama mengangkat jaringan paru yang sudah rusak dan tidak berfungsi lagi [14].
Dengan terangkatnya jaringan paru, terdapat ruang untuk jaringan yang masih sehat dan baik untuk menerima oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida [14].
Selain itu, operasi transplantasi paru diperlukan agar dokter dapat mengganti paru yang sudah rusak dan tidak sehat dengan yang berfungsi baik dari pendonor [14].
Namun apapun metode operasi yang perlu ditempuh, pasien sebaiknya berkonsultasi secara detail dengan dokter, terutama mengenai manfaat dan risiko bahayanya.
Bagaimana prognosis hiperkapnia?
Prognosis hiperkapnia bervariasi, tergantung dari kondisi yang menjadi penyebab dan pemicunya [1].
Namun penderita hiperkapnia usia muda memiliki prognosis yang lebih baik daripada penderita usia yang lebih tua (khususnya lansia) [1].
Tinjauan Pemberian ventilator, obat-obatan sesuai penyebab dan gejala, terapi khusus untuk paru, hingga operasi (transplantasi paru dan/atau operasi reduksi volume paru) merupakan metode pengobatan yang umumnya pasien hiperkapnia butuhkan.
Hiperkapnia dapat menjadi lebih serius ketika gejala awal tidak segera ditangani dan pada akhirnya terus berkembang dan menjadi hiperventilasi, depresi, serangan panik, dan kehilangan kesadaran [15,16].
Kematian adalah risiko komplikasi terbesar dari hiperkapnia karena penderitanya tak lagi mampu bernafas dengan baik [17].
Memiliki gaya hidup sehat, seperti tidak merokok, melakukan olahraga secara teratur, memiliki dan menjaga berat badan ideal dengan menerapkan diet sehat sangat dianjurkan.
Jika memiliki riwayat penyakit pernafasan, segera atasi sebelum menjadi lebih buruk dan penyakit bersifat kronis.
Untuk meminimalisir risiko komplikasi hiperkapnia, gejala-gejala yang sudah mulai dirasakan sebaiknya segera diperiksakan dan memperoleh penanganan.
Tinjauan Menjaga pola hidup sehat dan seimbang sekaligus menangani gangguan kesehatan apabila memiliki riwayat penyakit tertentu dapat meminimalisir risiko terjadinya hiperkapnia. Jika gejala awal sudah mulai timbul, penanganan segera juga dapat mencegah risiko komplikasi.
1. Deepa Rawat; Pranav Modi; & Sandeep Sharma. Hypercapnea. National Center for Biotechnology Information; 2021.
2. Kyle Chapman & Kristen E. Dragan. Hypercarbia. National Center for Biotechnology Information; 2020.
3. Parul Pahal; Akshay Avula; & Sandeep Sharma. Emphysema. National Center for Biotechnology Information; 2021.
4. Chirag Dave, Simon Wharton, Rahul Mukherjee, Bandar M. Faqihi, Robert A. Stockley, & Alice M. Turner. Development and Relevance of Hypercapnia in COPD. Canadian Respiratory Journal; 2021.
5. S. Marina Casalino-Matsuda, Naizhen Wang, Peder T. Ruhoff, Hiroaki Matsuda, Marie C. Nlend, Aisha Nair, Igal Szleifer, Greg J. Beitel, Jacob I. Sznajder, & Peter H. S. Sporn. Hypercapnia Alters Expression of Immune Response, Nucleosome Assembly and Lipid Metabolism Genes in Differentiated Human Bronchial Epithelial Cells. Scientific Reports; 2018.
6. Fabrizio Racca, Andrea Vianello, Tiziana Mongini, Paolo Ruggeri, Antonio Versaci, Gian Luca Vita, & Giuseppe Vita. Practical approach to respiratory emergencies in neurological diseases. Nature Public Health Emergency Collection; 2020.
7. Sophia A Dunworth, Michael J Natoli, Mary Cooter, Anne D Cherry, Dionne F Peacher, Jennifer F Potter, Tracy E Wester, John J Freiberger, & Richard E Moon. Hypercapnia in diving: a review of CO₂ retention in submersed exercise at depth. Undersea & Hyperbaric Medicine; 2017.
8. David Dolinak, MD. Opioid Toxicity. Academic Forensic Pathology; 2017.
9. T Wetterberg & T Sjöberg, S Steen. Effects of hypothermia in hypercapnia and hypercapnic hypoxemia. Acta Anaesthesiologica Scandinavica; 1993.
10. Luis Morales-Quinteros, Marta Camprubí-Rimblas, Josep Bringué, Lieuwe D. Bos, Marcus J. Schultz, & Antonio Artigas. The role of hypercapnia in acute respiratory failure. Intensive Care Medicine Experimental; 2019.
11. François Lamontagne, MD MSc, Roy Brower, MD, & Maureen Meade, MD MSc. Corticosteroid therapy in acute respiratory distress syndrome. Canadian Medical Association Journal; 2013.
12. Helen Parnell, Ginny Quirke, Sally Farmer, Sumbo Adeyemo, & Veronica Varney. The successful treatment of hypercapnic respiratory failure with oral modafinil. International Journal of Chronic Obstructive Pulmonary Disease; 2014.
13. Hulya Sahin, Ilknur Naz, Yelda Varol, Nimet Aksel, Fevziye Tuksavul & Ayse Ozsoz. Is a pulmonary rehabilitation program effective in COPD patients with chronic hypercapnic failure?. Expert Review of Respiratory Medicine; 2016.
14. Rodrigo Vazquez Guillamet. Chronic Obstructive Pulmonary Disease and the Optimal Timing of Lung Transplantation. Medicina; 2019.
15. Christopher Oleynick. Recurrent episodes of hypercapnic respiratory failure triggered by panic attacks in a patient with chronic obstructive pulmonary disease. Respiratory Medicine Case Reports; 2020.
16. Alicia E. Meuret & Thomas Ritz. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma: Empirical Evidence and Clinical Strategies. HHS Public Access; 2011.
17. Hui Yang, Pingchao Xiang, Erming Zhang, Weian Guo, Yanwei Shi, Shuo Zhang, & Zhaohui Tong. Is hypercapnia associated with poor prognosis in chronic obstructive pulmonary disease? A long-term follow-up cohort study. British Medical Journal Open; 2015.