Daftar isi
Ansietas (anxiety) atau kecemasan merupakan sebuah kondisi yang sebenarnya normal terjadi pada siapa saja, namun seringkali ansietas juga dikenal sebagai kondisi psikologis gangguan kecemasan [1,2,3,5].
Jika rasa cemas timbul secara berlebihan, persisten, dan juga intens, maka hal ini merupakan sebuah masalah psikologis yang perlu diwaspadai.
Kecemasan yang terjadi secara berlebihan dapat menghambat kegiatan sehari-hari dan akan jauh lebih sulit untuk mengontrolnya.
Namun seperti apapun bentuk kecemasan yang dialami, penderitanya dapat segera mengatasi agar tidak berkelanjutan.
Tinjauan Ansietas atau kecemasan merupakan gangguan psikologis yang jika terjadi secara intens atau berlebihan maka hal ini disebut dengan gangguan kecemasan.
Penyebab utama atau dasar dari ansietas hingga kini belum diketahui secara jelas, namun pengalaman traumatis dapat menjadi salah satu pemicu gangguan kecemasan pada seseorang yang memang memiliki sifat mudah cemas.
Beberapa faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko ansietas antara lain adalah :
Kepribadian atau sifat orang tua yang mudah cemas dapat diturunkan ke anak-anaknya [3].
Hal ini memperbesar potensi seseorang merasa gampang cemas apalagi mengembangkan gangguan kecemasan.
Beberapa orang yang mengalami kecemasan dipicu oleh kondisi kesehatannya sendiri.
Beberapa jenis gangguan kesehatan atau kondisi medis mampu menyebabkan seseorang mengalami kecemasan berlebih.
Penyakit tiroid, sindrom iritasi usus, diabetes, penyakit jantung, tumor dan gangguan pernafasan dapat menjadi alasan timbulnya rasa cemas dan panik di dalam diri seseorang [1,4].
Kecemasan dapat terjadi karena konsumsi alkohol atau menggunakan obat terlarang [1,5].
Sementara bila seseorang telah memiliki kecemasan, maka kondisi ini justru akan memburuk saat kecanduan alkohol maupun narkoba.
Kecanduan alkohol bukan hal yang menyenangkan dan pastinya merugikan kesehatan [1,5].
Namun ketika memutuskan untuk menarik diri dari alkohol dan berhenti dari kebiasaan mengonsumsinya, selalu ada efek samping yang akan dirasakan.
Beberapa orang dapat mengalami kecemasan karena tak lagi mengonsumsi alkohol.
Pengalaman traumatis dapat menimbulkan rasa cemas yang cenderung berlebihan pada diri seseorang [1].
Mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, hingga menjadi saksi dari sebuah kejadian buruk dapat meningkatkan risiko gangguan kecemasan.
Hal ini akan lebih mudah terjadi ketika orang tersebut pada dasarnya telah memiliki sifat mudah cemas.
Seseorang dengan gangguan kesehatan mental seperti depresi akan mudah mengembangkan kondisi gangguan mental lainnya [1].
Umumnya, gangguan kecemasan mudah timbul pada penderita depresi.
Stres yang menumpuk dan tidak segera diatasi atau dikelola dengan tepat maka dapat menjadi berkepanjangan [1,6].
Stres berat dan berkepanjangan dapat menyebabkan rasa cemas yang semula normal berkembang menjadi sebuah gangguan kecemasan.
Stres karena pekerjaan, keuangan, masalah keluarga dan lainnya dapat menjadi pemicu.
Tinjauan Penyebab utama terjadinya kecemasan belum diketahui jelas. Namun beberapa faktor seperti stres berat, sifat turunan/bawaan, gangguan mental lain, trauma, penyakit tertentu, maupun kecanduan alkohol atau narkoba dapat menjadi peningkat risiko kecemasan dan bahkan memperburuk kondisi ini.
Ansietas atau gangguan kecemasan terdiri dari sejumlah jenis kondisi, yaitu [1] :
Ketakutan berlebih pada suatu tempat, situasi atau objek tertentu merupakan kondisi yang disebut dengan fobia spesifik.
Seseorang dengan fobia seringkali mengalami serangan panik ketika dihadapkan pada situasi atau benda yang ingin dihindarinya.
Kondisi kecemasan ini lebih banyak dialami oleh anak-anak di mana mereka tak dapat berbicara pada situasi tertentu.
Sulitnya bicara saat di sekolah atau bahkan di rumah ketika berhadapan dengan anggota keluarga dan orang tuanya sendiri dapat memengaruhi fungsi sosial dan kelangsungan hidup anak tersebut.
Gangguan cemas ini berkaitan dengan rasa takut berlebih terhadap situasi atau tempat tertentu yang memicu diri seseorang merasa panik.
Seringkali ketika dihadapkan pada tempat atau situasi tersebut, penderita dapat merasa tak berdaya, terjebak, atau malu.
Jenis ansietas ini terjadi dengan ditandai ketakutan, kecemasan atau kepanikan sebagai efek dari penggunaan zat beracun.
Penggunaan narkoba maupun konsumsi alkohol mampu memberikan efek buruk seperti ini.
Namun, proses berhenti dari penggunaan zat-zat tersebut pun mampu memicu gangguan kecemasan.
Ansietas jenis ini ditandai dengan seseorang yang cenderung menghindari situasi sosial.
Rasa takut dan kecemasan berlebih akan timbul setiap kali penderita berinteraksi dengan orang lain.
Penderita juga takut mempermalukan diri sendiri atau dihakimi oleh orang lain saat berinteraksi.
Umumnya, jenis ansietas atau gangguan kecemasan ini terjadi pada anak-anak.
Anak-anak yang mengalami perpisahan dengan orang terdekat mereka (terutama orang tua) dapat mengalami kecemasan berlebihan.
Seseorang dengan gangguan panik memiliki kecemasan dan ketakutan yang sangat intens seperti setiap saat merasa sedang diteror.
Sesak nafas, detak jantung lebih cepat, nyeri dada, hingga merasa hampir pingsan adalah gejala-gejala yang umum terjadi saat gangguan panik menyerang.
Mengidap penyakit tertentu yang menyebabkan fisik menjadi lemah dan terbatas mampu menyebabkan seseorang mengalami ansietas yang berlebihan.
Kecemasan biasa tidak terjadi secara intens, persisten, apalagi berlebihan.
Sementara pada gangguan kecemasan, kondisi ini mampu menimbulkan sejumlah keluhan seperti misalnya [1,7] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Segera ke dokter untuk memeriksakan diri ketika rasa cemas atau khawatir mulai mengambil alih sebagian besar perhatian hingga pekerjaan dan hubungan sosial terhambat.
Bila rasa cemas dan takut tak lagi dapat dikontrol, merasa depresi, atau bahkan terus-menerus timbul keinginan untuk bunuh diri, segera cari pertolongan medis.
Tinjauan Gejala utama kecemasan yang berlebihan meliputi ketegangan dan kelemahan tubuh, kelelahan tanpa penyebab yang jelas, berkeringat, nafas pendek dan cepat, detak jantung lebih cepat, panik dan merasa dalam bahaya, gangguan tidur, dan sulit untuk fokus.
Ketika memeriksakan diri ke dokter, beberapa metode pemeriksaan yang umumnya dokter lakukan antara lain :
Dokter mengawali pemeriksaan dengan memeriksa fisik pasien untuk memastikan apakah ansietas pada diri pasien berkaitan dengan adanya kondisi medis tertentu [1,5].
Gangguan kesehatan fisik dapat menjadi salah satu alasan kecemasan timbul berlebih, maka hal ini perlu diidentifikasi lebih dulu.
Untuk memeriksa kondisi pasien lebih jauh dan detail, diperlukan tes laboratorium.
Hitung darah lengkap, tes urine, dan tes fungsi tiroid diperlukan untuk mengecek kondisi pasien dengan seksama [1].
Bila kecemasan yang dirasakan cukup parah dan diri pasien tak mampu mengendalikannya, maka hal ini perlu dikonsultasikan dengan psikolog atau psikiater.
Ahli kesehatan mental akan membantu mengevaluasi secara psikologis kondisi pasien [1,5].
Pasien dapat menemui dan berkonsultasi mengenai apapun yang dirasakan, termasuk juga perilaku diri sendiri yang pasien sadari mengalami perubahan.
Diagnosa menjadi jauh lebih sulit ketika seseorang memiliki riwayat kesehatan mental lainnya.
Namun dengan berkonsultasi dan berdiskusi dengan ahlinya, potensi gangguan kecemasan terdeteksi awal lebih besar dan penanganan pun dapat segera dilakukan.
Kriteria Penderita Ansietas Menurut DSM-5
Dokter pada umumnya menggunakan kriteria pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang dipublikasikan oleh The American Psychiatric Association sebagai panduan dalam mendiagnosa seseorang dengan gangguan kecemasan [7].
Tinjauan Dalam mendiagnosa ansietas, pasien perlu menempuh pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat medis, tes laboratorium, dan evaluasi psikologis oleh ahli kesehatan mental.
Gangguan kecemasan dapat diatasi dengan tiga metode paling umum, yaitu psikoterapi, obat-obatan, dan perubahan gaya hidup.
Terkadang jika perlu, pasien harus menjalani psikoterapi dan menggunakan obat-obatan resep dokter di saat yang sama.
Berikut ini adalah penanganan ansietas yang dimaksud.
Psikoterapi tentunya adalah cara mengatasi ansietas atau kecemasan dibantu oleh ahli kesehatan mental.
Sang terapis akan meminta kerja sama pasien dalam proses psikoterapi yang diawali dengan konseling psikologis lebih dulu.
Terapi perilaku kognitif adalah jenis psikoterapi yang banyak digunakan untuk mengurangi gejala ansietas [1,4,5].
Beberapa pasien menjalani prosedur ini dalam jangka pendek di mana terapis akan mengajarkan pasien meningkatkan kemampuan dalam mengurangi gejala agar aktivitas yang sempat terganggu dapat kembali normal.
Melalui terapi perilaku kognitif, terapis akan membimbing pasien untuk meningkatkan rasa percaya diri dan melawan kecemasan sekaligus pemicu kecemasan itu sendiri.
Selesai sesi perawatan ini, diharapkan pasien dapat mengatasi berbagai situasi yang mampu memicu ansietas mereka sebelumnya.
Beberapa jenis obat yang diresepkan dokter dapat membantu meredakan gejala yang pasien alami.
Namun biasanya, obat diresepkan sesuai dengan jenis kecemasan yang terjadi dan adanya gangguan mental lain yang menyertai.
Selain menjalani terapi dan mengonsumsi obat-obatan resep dokter, pasien dapat membuat dirinya jauh lebih baik dengan mengubah gaya hidupnya menjadi lebih baik, sehat dan seimbang [1,4,11,12].
Tinjauan Penanganan ansietas adalah dengan psikoterapi (khususnya terapi perilaku kognitif), penggunaan obat-obatan resep dokter, serta perubahan gaya hidup yang lebih sehat.
Ketika ansietas atau kecemasan menjadi berlebihan, gangguan kecemasan ini perlu segera ditangani agar tidak berakibat pada sejumlah komplikasi.
Beberapa kondisi fisik dan mental berikut dapat menjadi komplikasi ansietas yang membahayakan kelangsungan hidup penderitanya [1,5,9,10].
Rasa cemas pada dasarnya tak dapat dihindari atau dicegah karena perasaan semacam ini dapat timbul secara tiba-tiba.
Bahkan gangguan kecemasan pun tak dapat diprediksi, namun beberapa hal berikut dapat dilakukan untuk mengurangi risiko komplikasi dan perburukan gejala saat cemas.
Terus berpartisipasi dalam berbagai aktivitas sehingga dapat merasakan interaksi sosial yang menyenangkan sehingga berbagai macam bentuk emosi negatif dapat disingkirkan [11].
Berinteraksi dengan orang lain maupun aktif secara fisik dapat mengurangi tingkat kecemasan.
Kecemasan akan menjadi lebih buruk ketika penderita mengonsumsi minuman beralkohol maupun menggunakan obat terlarang [5].
Dalam proses berhenti dari kebiasaan penggunaan keduanya pun akan menimbulkan kegelisahan dan kecemasan berlebih.
Oleh sebab itu, agar kondisi tak semakin buruk alangkah baiknya meminta pertolongan dan dukungan dari dokter, ahli kesehatan mental, serta orang terdekat.
Baik itu kecemasan disebabkan oleh penyakit fisik maupun tidak, gejala ansietas yang timbul dapat segera diperiksakan.
Konsultasikan segala hal yang dialami dengan dokter agar dapat tertangani secara dini.
Bila memang dokter merasa perlu, dokter akan merujukkan penderita ke ahli kesehatan mental untuk evaluasi psikologis lebih jauh seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Tinjauan Pencegahan ansietas cukup sulit dilakukan, namun untuk meminimalisir gangguan kecemasan dan komplikasinya dapat dilakukan dengan tetap aktif secara fisik, menghindari alkohol dan narkoba, serta segera ke dokter bila gejala ansietas tak dapat dikendalikan.
1. Suma P. Chand & Raman Marwaha. Anxiety. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
2. Arif Prigunawan. Gambaran Kecemasan Mahasiswa Keperawatan yang Praktik di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) di RSUD dr. R Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Repository Universitas Muhammadiyah Purwokerto; 2019.
3. Deborah J. Morris-Rosendahl, PhD. Are there anxious genes? Dialogues in Clinical Neuroscience; 2002.
4. Allison Bickett & Hazel Tapp. Anxiety and diabetes: Innovative approaches to management in primary care. Experimental Biology and Medicine; 2016.
5. Joshua P. Smith, PhD & Sarah W. Book, MD. Anxiety and Substance Use Disorders: A Review. HHS Public Access; 2010.
6. Agnese Mariotti. The effects of chronic stress on health: new insights into the molecular mechanisms of brain–body communication. Future Science OA; 2015.
7. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Impact of the DSM-IV to DSM-5 Changes on the National Survey on Drug Use and Health. Rockville (MD): Substance Abuse and Mental Health Services Administration (US); 2016.
8. Anonim. Editorial: Beta-blockers in anxiety and stress. British Medical Journal; 1976.
9. Chang-Myung Oh, Ha Yan Kim, Han Kyu Na, Kyoo Ho Cho, & Min Kyung Chu. The Effect of Anxiety and Depression on Sleep Quality of Individuals With High Risk for Insomnia: A Population-Based Study. Frontiers in Neurology; 2019.
10. F I Ishiyama. Shyness: anxious social sensitivity and self-isolating tendency. Adolescence; 1984.
11. Gregory L. Stonerock, PhD, Benson M. Hoffman, PhD, Patrick J. Smith, PhD, & James A. Blumenthal, PhD. Exercise as Treatment for Anxiety: Systematic Review and Analysis. HHS Public Access; 2016.
12. Gareth Richards & Andrew Smith. Caffeine consumption and self-assessed stress, anxiety, and depression in secondary school children. Journal of Psychopharmacology (Oxford, England); 2015.