Daftar isi
Fotofobia merupakan sebuah kondisi ketika mata mengalami ketidaknyamanan dan cenderung merasakan sakit saat melihat cahaya terang [1,3].
Tidak hanya cahaya terang yang berasal dari matahari, lampu dengan tingkat cahaya sangat terang pun dapat membuat beberapa orang dengan kondisi ini merasa sakit pada mata saat melihatnya.
Fotofobia sendiri bukan tergolong sebuah jenis penyakit, melainkan tergolong gejala dari penyakit tertentu yang berhubungan dengan mata.
Biasanya, ketika mata mengalami iritasi atau infeksi, maka sebagai salah satu gejalanya, penderita akan mengalami fotofobia.
Tingkat sensitivitas mata terhadap cahaya yang bertambah dan cenderung berlebihan adalah kondisi dari fotofobia yang selalu diawali dengan tanda kesilauan atau mata perih.
Tinjauan Fotofobia adalah sebuah kondisi mata yang sensitif dan tidak nyaman terhadap paparan cahaya, seringkali disertai rasa sakit. Namun fotofobia bukan merupakan sebuah kondisi penyakit, melainkan gejala dari berbagai kondisi kesehatan.
Lebensohn merupakan seseorang yang menemukan fotofobia pertama kali di tahun 1934 dan mendefinisikannya sebagai paparan mata terhadap cahaya yang memperburuk rasa sakit [1].
Di Indonesia, hasil sebuah penelitian tahun 2012 terhadap 1.014 orang mahasiswa STIKES Bali dengan jumlah partisipan perempuan sebanyak 82% menunjukkan bahwa 24% diantaranya adalah penderita migrain [2].
Lebih jauh lagi, penelitian juga menunjukkan tingkat prevalensi gejala migrain yang juga salah satunya adalah fotofobia terlepas dari sejumlah penyebab migrain [2].
Gejala Migrain | Persentase (%) |
Fotofobia | 59,21% |
Mual dan muntah | 55,70% |
Fonofobia | 88,15% |
Berbagai kondisi dapat menjadi penyebab fotofobia, berikut ini merupakan deretan penyebab yang perlu dikenali dan diwaspadai :
1. Sindrom Mata Kering
Mata kering terjadi ketika air mata tidak terproduksi secara cukup dan optimal oleh kelenjar air mata [3].
Hal ini dapat berakibat pada kekeringan mata yang berlebihan sehingga mata menjadi lebih mudah kena iritasi dan sensitif terhadap cahaya.
Sindrom ini berpotensi lebih besar terjadi karena faktor lingkungan, usia, penggunaan obat tertentu, dan sejumlah kondisi medis tertentu.
2. Kondisi yang Memengaruhi Mata
Fotofobia juga dapat menjadi gejala dari sejumlah kondisi yang berpengaruh pada kesehatan mata dan di antaranya adalah :
Konjungtivitis adalah sebuah kondisi yang juga disebut dengan mata merah [4].
Mata berair dan mata gatal adalah gejala yang ditimbulkan oleh kondisi ini.
Pada beberapa kasus, kondisi ini juga menyebabkan penderitanya mengalami belekan.
Namun, ada pula yang sampai mengalami peningkatan sensitivitas terhadap cahaya sehingga mata mudah silau dan sakit saat terpapar cahaya terang.
Skleritis merupakan sebuah kondisi ketika sklera atau bagian putih pada bola mata mengalami radang [5,11].
Ketika skleritis terjadi, kondisi ini perlu segera mendapatkan pengobatan karena jika terabaikan, kondisi dapat mengakibatkan kerusakan mata serius hingga kebutaan permanen.
Beberapa gejala yang terjadi pada kondisi ini selain fotofobia adalah air mata terus-menerus keluar, mata kemerahan, pandangan kabur, dan di bagian putih bola mata terdapat tonjolan kecil.
Abrasi kornea merupakan sebuah kondisi ketika lapisan paling luar mata atau kornea mengalami cedera [6].
Cedera pada kornea biasanya disebabkan oleh partikel logam, debu atau pasir dan hal ini adalah kondisi cedera yang umum terjadi, terutama bila sering beraktivitas di luar rumah.
Namun bila dibiarkan tanpa penanganan, luka pada kornea akan menjadi infeksi yang berbahaya.
Peradangan pada lapisan tengah mata atau uvea disebut dengan uveitis yang ditandai dengan mata nyeri, memerah dan pandangan kabur [3].
Namun selain itu, sensitivitas mata terhadap cahaya ikut meningkat dan jika diabaikan maka kondisi ini akan berakibat pada penurunan fungsi penglihatan.
Keratitis merupakan radang yang terjadi di kornea mata di mana biasanya disebabkan oleh cedera atau infeksi mata [3,5].
Mata iritasi, merah dan bengkak adalah gejala utama keratitis yang seringkali juga disertai sensitivitas tinggi terhadap cahaya.
Iritis merupakan peradangan yang menyerang iris mata dan ditandai dengan mata nyeri serta kemerahan [3,5].
Namun selain itu, iritis juga mampu meningkatkan sensitivitas mata terhadap cahaya sebagai gejala lainnya.
Kondisi lensa mata yang menjadi keruh adalah sebuah kondisi yang disebut dengan katarak [3].
Katarak tidak hanya ditandai dengan kondisi penglihatan yang buram, tapi juga fotofobia serta penurunan fungsi penglihatan terutama ketika malam tiba.
3. Kondisi yang Memengaruhi Otak
Sensitivitas tinggi terhadap cahaya juga sebenarnya dapat berhubungan dengan kondisi pada otak.
Beberapa gangguan kesehatan otak yang ditandai dengan fotofobia antara lain adalah :
Peradangan pada selaput otak yang disebabkan oleh infeksi bakteri pada membran yang terdapat di sekeliling sumsum tulang serta otak dapat menjadi penyebab fotofobia [1,3].
Beberapa risiko komplikasi yang dapat terjadi karena infeksi bakteri ini antara lain adalah tubuh kejang, kerusakan otak, kehilangan pendengaran, bahkan hingga risiko kematian.
Ensefalitis adalah kondisi gangguan pada otak lainnya yang juga mampu menyebabkan fotofobia.
Ensefalitis sendiri merupakan peradangan pada otak yang disebabkan oleh infeksi virus di mana pada kasus yang sudah sangat parah, ensefalitis dapat mengancam jiwa penderitanya.
Seperti halnya meningitis, ensefalitis juga dapat berakibat pada kematian bila hal ini tidak segera mendapatkan penanganan.
Perdarahan ini terjadi pada bagian antara otakk dan lapisan jaringan di sekitar otak [1,3].
Ketika dibiarkan tanpa penanganan yang cepat dan tepat, maka kondisi ini dapat menimbulkan kerusakan otak atau bahkan penyakit stroke.
Istilah lain untuk kondisi ini adalah sindrom Steele-Richardson-Olszewski, yakni sejenis kelainan otak [1,3].
Kelainan otak ini membuat penderitanya mengalami gangguan gerakan mata, gangguan keseimbangan tubuh, dan kesulitan berjalan.
Tumor pada otak yang berukuran kecil biasanya tidak menimbulkan keluhan apapun di awal [3].
Namun seiring tumbuh dan membesarnya ukuran tumor, gangguan saraf, sakit kepala, hingga gangguan penglihatan dan kejang sangat mungkin terjadi.
TBI atau traumatic brain injury merupakan salah satu kondisi yang mampu menimbulkan fotofobia [1,3].
Namun hingga kini masih belum diketahui apakah fotofobia merupakan gejala primer atau sekunder pada cedera otak.
Blepharospasm merupakan kelainan otot pada kelopak mata yang disebabkan oleh gangguan fungsi otak [1,3].
Gejala dapat timbul terutama ketika penderita mengalami kelelahan dan stres.
4. Migrain
Migrain atau sakit kepala sebelah merupakan penyebab lain dari terjadinya fotofobia [1,2,3].
Migrain juga merupakan salah satu penyebab paling umum dan sering terjadi dari kasus fotofobia.
Beberapa faktor yang mampu menjadi pemicu migrain antara lain adalah stres, makanan, perubahan hormonal, dan/atau perubahan lingkungan.
Selain fotofobia, beberapa keluhan yang dapat terjadi adalah timbulnya rasa mual yang dapat disertai muntah-muntah.
5. Efek Prosedur Medis dan Obat-obatan Tertentu
Fotofobia juga dapat terjadi sebagai dampak atau efek samping dari prosedur medis seperti LASIK (laser-assisted in situ keratomileusis) [3].
Bahkan penggunaan beberapa jenis obat tertentu juga mampu memicu efek peningkatan sensitivitas mata terhadap cahaya, seperti antibiotik, furosemide, dan pil kina [7].
Tinjauan Penyebab fotofobia sangat beragam, namun migrain diketahui menjadi kondisi penyebab paling umum. Selain itu, efek prosedur medis, efek obat tertentu, gangguan pada otak, penyakit mata tertentu, dan sindrom mata kering dapat meningkatkan risiko timbulnya fotofobia.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Sensitivitas mata terhadap cahaya yang meningkat tidak dapat disepelekan karena dapat menjadi tanda dari sejumlah masalah serius pada tubuh, khususnya otak dan mata.
Segera periksakan diri ke dokter apabila beberapa kondisi di bawah ini dialami :
Ketika memeriksakan diri ke dokter, beberapa metode pemeriksaan yang diterapkan oleh dokter antara lain :
1. Pemeriksaan Riwayat Medis
Dokter biasanya akan mengawali prosed diagnosa dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada pasien mengenai riwayat medis pasien dan keluarga pasien [1,3,4,5].
Pasien juga perlu memberikan informasi lengkap kepada dokter mengenai penyakit apa saja yang sedang diderita, perawatan medis apa yang sedang dijalani, dan obat apa saja yang sedang digunakan.
2. Pemeriksaan Fisik
Selain riwayat medis, dokter juga perlu mengetahui kondisi fisik pasien [1,3,4,5].
Pemeriksaan fisik ini akan meliputi pemeriksaan pada mata.
Namun, dokter kemungkinan juga akan menerapkan tes diagnostik khusus jika memang diperlukan dalam menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter biasanya akan meliputi [1,3] :
Oftalmoskopi merupakan bagian dari pemeriksaan fisik pada mata yang mampu mendeteksi adanya gangguan retina, katarak, penyakit pembuluh darah, glaukoma, atau penyakit saraf mata.
3. Tes Darah
Bila terdapat kecurigaan bahwa pasien mengalami infeksi, maka dokter biasanya akan mencoba melakukan identifikasi melalui tes darah.
Tes darah dapat mendeteksi keberadaan infeksi, ketidakteraturan dan ketidakseimbangan hormon, sekaligus peradangan.
4. Tonometri Okular
Tonometri adalah prosedur pemeriksaan kadar tekanan cairan pada mata [8].
Melalui metode diagnosa ini, umumnya dokter dapat mendeteksi glaukoma.
Biasanya agar tidak terasa nyeri, maka dokter akan memberikan obat tetes mata yang membantu pasien merasa lebih nyaman selama prosedur dilakukan.
5. MRA (Magnetic Resonance Angiogram) dan CTA (Computed Tomography Angiogram)
MRA dan CTA pada otak merupakan prosedur pemeriksaan yang akan mendeteksi adanya sumbatan pada pembuluh darah di bagian otak [9].
Perdarahan dan peradangan pada otak juga akan teridentifikasi melalui salah satu dari tes ini.
6. MRI Scan
Tes pemindaian berupa MRI scan adalah metode yang akan mendeteksi adanya peradangan, infeksi, maupun tekanan pada otak atau area sekitarnya [9].
MRI scan pada otak akan dianjurkan oleh dokter bila dokter merasa perlu.
Jika MRA dan CTA merupakan prosedur pemeriksaan pada pembuluh darah otak, maka fluorescein angiography adalah metode yang digunakan untuk memeriksa pembuluh darah mata [10].
Berbagai kondisi masalah dan gangguan pada mata penyebab fotofobia dapat terdeteksi melalui pemeriksaan ini.
8. OCT (Optical Coherence Tomography)
OCT adalah metode pemeriksaan yang digunakan dokter sebagai pendeteksi degenerasi makula maupun retinopati diabetik [19].
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi sinar-X untuk melihat kondisi mata secara spesifik.
Tinjauan Dalam mendiagnosa fotofobia, beberapa metode yang kerap digunakan oleh dokter antara lain adalah pemeriksaan riwayat medis, pemeriksaan fisik, tes darah, tonometri okular, MRA dan CTA, MRI scan, fluorescein angiography, serta OCT (Optical Coherence Tomography).
Fotofobia dapat ditangani melalui dua metode, yaitu perawatan secara mandiri yang bisa dilakukan di rumah serta perawatan medis.
Pasien fotofobia, apapun kondisi yang menyebabkannya, tetap dianjurkan untuk menghindari paparan cahaya matahari [1].
Bahkan selama berada di ruangan tertutup, tingkat cahaya yang sangat terang pun sebisa mungkin perlu dihindari agar fotofobia tidak semakin buruk.
Jika merasa tidak nyaman, pasien dapat mencoba memejamkan mata atau mengenakan kacamata hitam agar tidak mudah silau [13].
Atau, gunakan obat pereda nyeri yang bisa didapat bebas di apotek atau toko obat terdekat ketika fotofobia menyebabkan rasa sakit dan tak nyaman sewaktu-waktu [14].
Ketika mata tidak tahan dengan cahaya yang terlalu terang, seperti mata perih, mata tidak nyaman, dan terlalu silau, segera ke dokter.
Setelah penyebab fotofobia diketahui melalui serangkaian pemeriksaan, dokter memberikan penanganan sesuai dengan faktor yang mendasarinya.
Beberapa jenis obat yang biasanya diresepkan oleh dokter untuk menangani fotofobia adalah [14,15,16,17] :
TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) merupakan metode penanganan medis lain yang kemungkinan dokter berikan untuk meredakan rasa sakit pada mata [18].
Prosedur operasi atau bedah juga akan direkomendasikan oleh dokter bila pasien fotofobia diketahui mengalami perdarahan di dalam otak [3].
Prosedur bedah dilakukan dengan tujuan mengurangi tekanan pada otak.
Tinjauan Penanganan fotofobia terdiri dari dua metode, tergantung tingkat keparahan dan penyebabnya. Perawatan secara mandiri serta perawatan medis (pemberian obat sesuai penyebab, TENS, dan prosedur operasi) adalah bentuk penanganan paling umum dari fotofobia.
Risiko komplikasi fotofobia tergantung dari jenis kondisi yang menyebabkannya.
Beberapa masalah pada mata seperti katarak, degenerasi makula, dan glaukoma dapat berakibat pada kebutaan permanen karena mata mengalami kerusakan berat [12].
Fotofobia yang tidak segera diperiksakan dan tidak diketahui apa penyebabnya, hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan mata yang semakin serius [1].
Bila sulit untuk mencegah agar fotofobia tidak terjadi, maka setidaknya ketahui beberapa upaya dalam mencegah penyebab fotofobia, seperti [1,3] :
Tinjauan Fotofobia dapat dicegah dengan menjaga kebersihan diri untuk mencegah infeksi. Selain itu, menghindari kontak dengan penderita infeksi serta memperoleh vaksin untuk ensefalitis dapat dilakukan.
1. Yiwen Wu & Mark Hallett. Photophobia in neurologic disorders. Translational Neurodegeneration; 2017.
2. I Made Oka Adnyana. Prevalensi Karakteristik dan Beberapa Faktor yang Berkaitan dengan Nyeri Kepala Migren pada Mahasiswa Stikes Bali. Neurona; 2012.
3. Kathleen B. Digre, MD & K.C. Brennan, MD. Shedding Light on Photophobia. HHS Public Access; 2013.
4. Sharon K Bal & Gary R Hollingworth. Red eye. The British Medical Journal; 2005.
5. Christopher J. Gilani, BS, Allen Yang, BS, Marc Yonkers, MD, PhD, & Megan Boysen-Osborn, MD, MHPE. Differentiating Urgent and Emergent Causes of Acute Red Eye for the Emergency Physician. Western Journal of Emergency Medicine; 2017.
6. Nicholas Fusco, Tej G Stead, David Lebowitz, & Latha Ganti. Traumatic Corneal Abrasion. Cureus; 2019.
7. Daniel P Schwartz & Matthew S Robbins. Primary headache disorders and neuro-ophthalmologic manifestations. Dovepress Eye and Brain; 2012.
8. Pedro Barros, MD, Liliana Paris, MD, Joana Martins, MD, & Paula Tenedorio, MD. A 53-year-old woman with a severe headache, bilateral eye pain, blurred vision, and photophobia. Digital Journal of Ophthalmology; 2011.
9. Ye Eun Jang, Eun Young Cho, Hee Yea Choi, Sun Mi Kim, & Hye Youn Park. Diagnostic Neuroimaging in Headache Patients: A Systematic Review and Meta-Analysis. Psychiatry Investigation; 2019.
10. Ai Kido, Ken Ogino, Yozo Miyake, Kazuo Yanagida, Takanobu Kikuchi & Nagahisa Yoshimura. Unilateral negative electroretinogram presenting as photophobia. Documenta Ophthalmologica; 2016.
11. Avadhesh Oli, Sqn Ldra, & D. Joshi, Gp Capt. Optical coherence tomography in the management of posterior scleritis. Elsevier; 2015.
12. Disha Eye Hospital. 10 Things to Know about Photophobia. Disha Eye Hospitals; 2020.
13. Joseph Clark, PhD, ATC, Kimberly Hasselfeld, MS, Kathryn Bigsby, PT, DPT, & Jon Divine, MD. Colored Glasses to Mitigate Photophobia Symptoms Posttraumatic Brain Injury. Journal of Athletic Training; 2017.
14. Eitan Auriel, Keren Regev & Amos D Korczyn. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs exposure and the central nervous system. Handbook of Clinical Neurology; 2014.
15. Ryan J. Diel, BS, Zachary A. Kroeger, BS, Roy C. Levitt, MD, Constantine Sarantopoulos, MD PhD, Heather Sered, MD, Jasmine Martinez-Barrizonte, DO, & Anat Galor, MD MSPH. Botulinum toxin A for the treatment of photophobia and dry eye. HHS Public Access; 2018.
16. Anat Galor, MD, MSPH, Roy C. Levitt, MD, Elizabeth R. Felix, PhD, & Constantine D. Sarantopoulos, MD, PhD. What can photophobia tell us about dry eye? HHS Public Access; 2016.
17. Stephanie Watson, Maria Cabrera-Aguas, & Pauline Khoo. Common eye infections. Australian Prescriber; 2018.
18. Eellan Sivanesan, MD, Roy C. Levitt, MD, Constantine D. Sarantopoulos, MD, PhD, Dennis Patin, & Anat Galor, MD, MSPH. Noninvasive Electrical Stimulation for the Treatment of Chronic Ocular Pain and Photophobia. HHS Public Access; 2019.
19. Francisco J. Ascaso, Sara Marco, Javier Mateo, Mireya Martínez, Olivia Esteban, & Andrzej Grzybowski. Optical Coherence Tomography in Patients with Chronic Migraine: Literature Review and Update. Frontiers in Neurology; 2017.