Penelitian menunjukkan bahwa hampir 5% dari populasi dunia (sekitar 365 juta orang) mengalami keringat berlebihan atau hiperhidrosis[1].
Daftar isi
Berkeringat merupakan mekanisme tubuh untuk menurunkan suhu. Sistem saraf secara otomatis memicu kelenjar keringat ketika suhu tubuh meningkat. Berkeringat juga terjadi secara normal, terutama pada telapak tangan ketika tegang[2].
Orang dengan hiperhidrosis mengeluarkan keringat lebih banyak dari normal dan tanpa alasan yang jelas, tidak berkaitan dengan panas atau olahraga[2, 3].
Hiperhidrosis merupakan suatu kelainan keringat berlebihan akibat stimulasi berlebih reseptor kolinergik pada kelenjar keringat. Kelainan patologis ini dicirikan dengan keluar keringat melebihi yang dibutuhkan tubuh untuk pengaturan suhu homeostatis[4].
Hiperhidrosis disebut juga sebagai polihidrosis atau sudorrhea. Kondisi ini dapat dialami sejak lahir atau berkembang kemudian. Pada kebanyakan kasus, hiperhidrosis cenderung dimulai pada saat remaja[5].
Hiperhidrosis mempengaruhi sekitar 3% dari penduduk Amerika dan paling umum pada pasien antara usia 20-60 tahun[4, 5].
Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa wanita atau pria memiliki risiko lebih tinggi terhadap kelainan ini[4].
Hiperhidrosis cenderung mulai dialami pada masa remaja. Paling umum terjadi pada kaki, tangan, wajah, dan ketiak[5].
Hiperhidrosis dapat dibedakan menjadi hiperhidrosis primer dan hiperhidrosis sekunder berdasarkan penyebabnya. Mengenali jenis hiperhidrosis perlu dilakukan karena perawatan dan penanganan dapat berbeda di antara kedua jenis tersebut[4].
Hiperhidrosis primer biasanya terlokalisasi pada bagian tubuh tertentu seperti tangan, wajah, kepala, dan ketiak. Biasanya mulai muncul pada masa anak-anak[3, 4].
Pada jenis ini saraf yang bertanggungjawab untuk mengirim impuls ke kelenjar keringat menjadi terlalu aktif, meskipun belum dipicu oleh aktivitas fisik atau kenaikan suhu. Ketegangan atau stress dapat membuat kondisi bertambah buruk[2].
Penyebab pasti hiperhidrosis primer masih tidak diketahui. Faktor genetik diduga berperan dalam stimulasi saraf berlebih, meskipun belum dipahami dengan baik. Sekitar 30-50% dari pasien dengan hiperhidrosis primer memiliki riwayat keluarga hiperhidrosis[3, 4].
Hiperhidrosis sekunder yaitu kondisi keringat berlebih pada sekujur tubuh, biasanya gejala mulai muncul di usia dewasa. Jenis ini lebih langka dibandingkan hiperhidrosis primer[2, 3].
Penyebab hiperhidrosis sekunder biasanya lebih mudah diidentifikasi karena berhubungan dengan kondisi medis atau penggunaan obat tertentu[2, 4].
Berikut beberapa kondisi medis yang dapat menyebabkan hiperhidrosis sekunder[2, 3, 5]:
Beberapa obat yang dapat menyebabkan hiperhidrosis sekunder, antara lain[3, 4]:
Secara normal, kita akan mengeluarkan keringat ketika berolahraga, berada di lingkungan panas, atau sedang cemas atau stres. Keringat berlebih yang dialami pasien hiperhidrosis jauh melebihi keringat yang keluar secara normal[2].
Hiperhidrosis melibatkan hiperaktivitas sistem saraf parasimpatik mengakibatkan pelepasan berlebih asetilkolin dari ujung saraf. Asetilkolin mengirim rangsang untuk memicu kelenjar keringat. [4]
Pada hiperhidrosis, diduga bahwa mekanisme umpan balik negatif kepada hipotalamus mengalami kelainan sehingga tubuh berkeringat lebih banyak dari yang dibutuhkan[4].
Gejala umum hiperhidrosis meliputi[5]:
Berikut beberapa masalah lain yang dapat dialami pasien hiperhidrosis[5]:
Komplikasi hiperhidrosis meliputi[2, 4, 5]:
Diagnosis biasanya ditentukan oleh pemeriksaan klinis dan pengecekan catatan kesehatan pasien. Dokter dapat melakukan beberapa tes untuk mengkonfirmasi kondisi yang dialami pasien, seperti tes darah dan tes urin. Dokter juga dapat mengajukan pertanyaan mengenai gejala yang dialami pasien[3, 5].
Salah satu tes yang digunakan dalam mendiagnosis ialah tes termoregulasi. Tes ini menggunakan bubuk khusus yang sensitif terhadap kelembapan. Bubuk tersebut akan berubah warna pada bagian tubuh yang menghasilkan keringat berlebih[3, 5].
Ketika terpapar suhu tinggi, orang tanpa hiperhidrosis cenderung tidak berkeringat berlebihan pada telapak tangan. Sebaliknya, pasien hiperhidrosis mengalami keringat berlebihan pada telapak tangan. Tes termoregulasi juga membantu dokter menentukan tingkat keseriusan kondisi[5].
Umumnya dokter mendiagnosis hiperhidrosis primer berdasarkan riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik. Hiperhidrosis primer lebih umum pada pasien berusia muda, pasien yang mengalami gejala selama lebih dari 6 bulan, pasien dengan riwayat hiperhidrosis dalam keluarga, dan pasien dengan keterlibatan bilateral[3, 4].
Berikut kriteria diagnosis hiperhidrosis primer[4]:
Gejala yang muncul setelah pasien dewasa cenderung muncul akibat penyebab sekunder. Dokter hendaknya memeriksa efek samping dari obat yang digunakan pasien atau penyakit sistemik tertentu yang dapat menjadi faktor penyebab kondisi[4].
Pasien juga dapat diminta menjawab serangkaian pertanyaan atau mengisi kuisioner mengenai dampak keringat berlebih. Pertanyaan yang diajukan dapat meliputi[5]:
Pengobatan bergantung pada jenis hiperhidrosis dan bagian tubuh yang terdampak keringat berlebih. Dokter juga mempertimbangkan kesehatan umum pasien dan faktor-faktor lain untuk memilih pengobatan yang digunakan[6].
Pengobatan untuk mengatasi hiperhidrosis antara lain:
1. Antiperspirant
Antiperspiran sering menjadi pilihan pertama yang dianjurkan oleh dokter kulit karena terjangkau dan mudah didapatkan. Biasanya antiperspirant berupa obat topikal yang dapat diaplikasikan pada bagian tubuh yang terdampak (seperti ketiak, tangan, kaki, atau garis rambut)[3, 6].
Antiperspirant mengandung alumunium klorida, contohnya Drysol (alumunium klorida heksahidrat 20%) yang diaplikasikan pada malam hari. Penggunaan obat ini dapat menimbulkan iritasi ringan pada kulit[4].
Setelah diaplikasikan, obat antiperspirant tertarik ke dalam kelenjar keringat dan menyumbat kelenjar. Ketika kelenjar keringat tersumbat, tubuh menerima sinyal untuk menghentikan produksi keringat berlebih[6].
Iontophoresis menggunakan sebuah alat untuk mengirimkan arus listrik rendah saat keringat terdeteksi. Arus listrik ini berfungsi untuk menghambat kerja kelenjar keringat[3, 6, 7].
Mula-mula pasien biasanya memerlukan 2 atau 3 perawatan per minggu dengan setiap sesi berlangsung sekitar 20-40 menit. Umumnya, pasien memerlukan sekitar 6 hingga 10 perawatan[6].
Efek samping dari metode iontophoresis meliputi kulit kering, iritasi, dan rasa tidak nyaman selama perawatan. Iontophoresis merupakan perawatan jangka panjang dan efek sampingnya cenderung ringan[4, 6].
3. Obat Antikolinergik
Obat antikolinergik dapat dipilih untuk pasien yang tidak menunjukkan respon terhadap perawatan topikal dan memiliki gejala yang lebih menyeluruh tubuh.
Antikolinergik bekerja dengan menghambat kerja asetilkolin, sehingga menurunkan produksi keringat oleh kelenjar keringat[3, 4].
Obat kolinergik yang biasa digunakan untuk mengatasi hiperhidrosis meliputi glycopyrrolate dan oxybutynin. Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti mata kering, mulut kering, retensi uriner, penglihatan kabur, palpitasi, dan konstipasi[3, 4, 6].
4. Injeksi Botulinum Toksin
Injeksi botulinum toksin atau biasa dikenal sebagai botox (botulinum toxin) dapat mengatasi hiperhidrosis berat. Injeksi dilakukan setiap 3-4 minggu, biasanya disarankan jika pasien tidak menunjukkan respon positif terhadap obat topikal dan oral[4, 6].
Botox bekerja dengan menghambat saraf yang mengirim rangsangan pada kelenjar keringat. Pengaruh injeksi botox dapat bertahan hingga 6 bulan. Botox dapat menimbulkan efek samping berupa kelumpuhan saraf dan kelemahan otot[4, 6].
5. Operasi
Operasi dipertimbangkan jika metode pengobatan lain tidak dapat meringankan kondisi hiperhidrosis yang dialami pasien. Operasi bersifat permanen dan memiliki risiko tersendiri.
Operasi dilakukan dengan menghilangkan kelenjar keringat dari bagian tubuh yang terdampak melalui prosedur bedah[3, 6].
Berikut beberapa teknik bedah yang dapat digunakan untuk menghilangkan kelenjar keringat[6]:
Selain itu penanganan hiperhidrosis dapat menggunakan operasi simpatektomi. Prosedur ini melibatkan pemotongan saraf tertentu yang mengirim rangsangan ke kelenjar keringat. Simpatektomi dapat digunakan untuk mengatasi hiperhidrosis dari wajah, tangan, atau ketiak. Prosedur ini tidak dianjurkan untuk mengatasi hiperhidrosis kaki karena berisiko menimbulkan disfungsi seksual permanen[5, 6].
Kondisi hiperhidrosis belum diketahui penyebabnya dan tidak dapat dicegah. Meski demikian, dapat dilakukan beberapa langkah untuk menangani dan mengendalikan keringat berlebih agar tidak mengganggu, seperti[6, 7]:
1. Anonim. Focused on Sweating? So Are We. International Hyperhidrosis Society, Sweat Help; 2020.
2. Anonim. Hyperhidrosis. Mayo Clinic; 2020.
3. Amanda Delgado, reviewed by Xixi Luo, MD. Hyperhidrosis Disorder (Excessive Sweating). Healthline; 2020.
4. Brackenrich J, Fagg C. Hyperhidrosis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
5. Yvette Brazier, reviewed by University of Illinois. What is Hyperhidrosis? Medical News Today; 2017.
6. Anonim. Hyperhidrosis. American Academy of Dermatology Association; 2020.
7. Anonim. Excessive Sweating (Hyperhidrosis). WebMD; 2020.
8. Anonim, reviewed by Stephanie S. Gardner, MD. Excessive Sweating: Treatment Tips. WebMD; 2019.