Daftar isi
Hipoksia merupakan sebuah kondisi ketika kadar oksigen pada sel dan jaringan tubuh seseorang terlalu rendah [1,3,5,6].
Karena hal ini, sel dan jaringan tubuh yang seharusnya bekerja dengan optimal menjadi terganggu dan fungsinya pun menjadi tidak normal.
Hipoksia yang dibiarkan tanpa penanganan mampu berakibat pada kondisi fatal, yaitu kerusakan hingga kematian jaringan.
Tinjauan Hipoksia adalah suatu kondisi di mana kadar oksigen dalam darah seseorang terlalu rendah sehingga sel dan jaringan tubuh tidak mendapat cukup oksigen untuk berfungsi dengan normal.
Dalam kondisi normal, manusia bernafas menghirup oksigen yang kemudian diangkut lalu disalurkan oleh darah dari paru-paru ke jantung [1,3].
Selanjutnya, jantung akan melakukan pemompaan darah pembawa oksigen agar dapat tersebar ke seluruh sel dan jaringan tubuh melewati pembuluh darah.
Untuk tubuh dapat berfungsi dengan normal, aliran darah harus lancar dan oksigen yang dibawa oleh darah juga memadai.
Hipoksia baru terjadi ketika oksigen yang seharusnya dibawa oleh aliran darah tidak mencapai tujuannya, yaitu jaringan dan sel-sel tubuh.
Karena hal tersebut, jaringan tidak memperoleh cukup oksigen sehingga kemudian tak lama gejala-gejala mengganggu mulai dirasakan.
Penyebab kadar oksigen menjadi terlalu rendah dapat berasal dari lingkungan [3].
Meski demikian, gangguan paru dan saluran nafas, penyakit tertentu, serta efek samping dari golongan obat tertentu dapat menyebabkannya.
Sejumlah kondisi medis atau penyakit yang meningkatkan risiko seseorang dalam mengalami hipoksia antara lain adalah [1,2,3,4,5,6] :
Tinjauan Berbagai faktor dapat menyebabkan kadar oksigen dalam tubuh dan darah menurun drastis, seperti efek penggunaan obat tertentu, penyakit tertentu, keracunan, atau berada di wilayah tertentu.
Gejala yang dialami setiap penderita hipoksia dapat berbeda-beda.
Namun umumnya, gejala akan timbul secara tiba-tiba, bahkan gejala dapat berkembang dengan begitu cepat tanpa disadari penderitanya.
Gejala bisa mudah memburuk dan berada pada tahap akut, namun ada pula gejala hipoksia yang memburuk perlahan atau disebut dengan kondisi kronis.
Beberapa keluhan gejala yang umumnya diderita antara lain meliputi [1,2,6,7] :
Hipoksia juga dapat dialami oleh seseorang tanpa adanya gejala sama sekali dan hal ini disebut juga dengan happy hypoxia.
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Jika beberapa keluhan yang telah disebutkan terjadi, maka sebaiknya jangan tunggu terlalu lama untuk memeriksakan diri ke dokter.
Semakin dini pemeriksaan ditempuh, maka semakin cepat pula penanganan yang diberikan agar meminimalisir risiko komplikasi.
Jika melihat seseorang, khususnya teman atau kerabat dekat, yang mengalami sulit bernafas dan merasa lemas, sulit bicara, kejang dan linglung, jangan ragu untuk membawanya ke IGD (Instalasi Gawat Darurat).
Namun bila khawatir bahwa gejala tersebut berhubungan dengan penyakit menular serius seperti COVID-19, segera panggil bantuan medis.
Tinjauan Gejala-gejala hipoksia meliputi sesak napas, nafas cepat, batuk-batuk, sulit untuk bicara, keringat banyak, linglung dan kebingungan, sianosis, lemas, tidak teraturnya detak jantung, hingga pingsan.
Virus corona yang terus berkembang namun banyak sisi yang belum terpecahkan belum lama ini kembali dikaitkan dengan kondisi bernama happy hypoxia [8].
Di Banyumas, terdapat 3 orang pasien Covid-19 yang bahkan meninggal dunia karena happy hypoxia, yang menurut laporan ketiganya tidak menunjukkan adanya gejala terkena Covid-19.
Seseorang dapat nampak sangat gembira dan baik-baik saja tanpa gejala virus corona, semacam demam, pilek, dan batuk.
Namun meski kelihatan baik dari luar, kadar oksigen di dalam darah rupanya mengalami penurunan cukup drastis.
Happy hypoxia juga disebut dengan istilah hipoksemia, yaitu kondisi tekanan oksigen dalam darah yang menurun dan kerap ditandai dengan sesak nafas [8,9].
Jika normalnya, saturasi oksigen dalam tubuh adalah 95%, pada kondisi penderita happy hypoxia saturasinya menurun mencapai 70% atau bahkan ada yang sampai 50% ke bawah [9].
Perbedaannya dengan kasus hipoksia di sinipun nampak lebih jelas, yaitu pada kasus hipoksia terdapat gejala yang sangat spesifik.
Penderita dapat mengalami sesak nafas, sulit bicara, linglung hingga tubuh lemas dan kehilangan kesadaran.
Namun pada kondisi happy hypoxia, tidak ada gejala sama sekali, namun tiba-tiba penderita akan mengalami sesak nafas dan pingsan atau bahkan dapat berakibat kematian.
Tinjauan Happy hypoxia atau hipoksemia dan hipoksia sama-sama merupakan kondisi kadar oksigen dalam darah yang menurun, namun pada kondisi happy hypoxia, penderita collapse tanpa adanya tanda-tanda atau keluhan gejala yang nampak lebih dulu.
Ketika menemui dokter, biasanya dokter akan menerapkan sejumlah metode pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa, yaitu :
Dokter akan memeriksa gejala fisik hipoksia yang dialami pasien, seperti mengecek warna ujung kuku dan bibir pasien, serta mengecek tingkat kesadarannya [1].
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan terhadap detak jantung, frekuensi pernafasan, serta tekanan darah pada pasien.
Selain melakukan pemeriksaan fisik, dokter pun akan memberikan pertanyaan seputar riwayat gejala yang dialami.
Pasien perlu memberi tahu segala keluhan yang dirasakan, termasuk riwayat kondisi medis yang pernah pasien derita.
Selain pemeriksaan fisik dan riwayat gejala serta medis, dokter akan melakukan tes penunjang, seperti tes darah lengkap [6].
Tujuan dari tes ini adalah untuk mendeteksi adanya kondisi infeksi atau kelainan darah di dalam tubuh pasien yang menyebabkan gejala hipoksia terjadi.
Dokter perlu melakukan pemantauan terhadap kadar oksigen dalam darah pasien [1,7].
Sambil melakukan pemeriksaan, biasanya di waktu yang sama dokter juga membantu menstabilkan kondisi pasien melalui penanganan awal.
MRI scan atau CT scan kemungkinan besar akan diperlukan pasien [1,6,7].
Dokter perlu memeriksa kondisi kepala pasien untuk mendeteksi adanya kelainan pada otak melalui salah satu atau kedua tes pemindaian tersebut.
Perdarahan otak, tumor otak dan stroke dapat lebih mudah teridentifikasi melalui tes pemindaian khusus kepala.
Selain bagian kepala dan otak, dokter juga perlu menerapkan rontgen atau sinar-X dada [1,7].
Adanya kelainan paru seperti halnya infeksi paru ataupun pneumotoraks akan dapat teridentifikasi secara lebih spesifik.
Selain rontgen dada, CT scan pada dada juga kemungkinan direkomendasikan oleh dokter agar mengetahui kondisi paru lebih jelas.
Karena keracunan merupakan salah satu faktor yang mampu memicu hipoksia, dokter perlu memastikan dengan mengecek kondisi pasien [1,6,7].
Analisa gas darah diterapkan dengan tujuan memeriksa kondisi pernafasan dan proses metabolisme dalam tubuh pasien untuk mengidentifikasi kondisi keracunan.
Tes penunjang lainnya adalah tes fungsi paru yang akan membantu dokter dalam menjelaskan kecurigaan adanya gangguan pada paru pasien [1,10].
Tes ini akan memperlihatkan apakah fungsi paru bekerja dengan normal.
Hipoksia dapat terjadi karena gangguan jantung, maka dokter perlu melakukan pemantauan terhadap struktur sekaligus keadaan jantung pasien [11].
Prosedur echo jantung juga diperlukan untuk memastikan keberadaan kelainan atau kerusakan pada jantung maupun katup jantung.
Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengecek apakah jantung mengalami kerusakan adalah dengan menempuh elektrokardiogram (EKG) [1].
Selain itu, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah detak jantung pasien teratur atau tidak.
Tinjauan Pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat gejala dan riwayat medis pasien, tes fungsi paru, tes darah lengkap, tes oksimetri, rontgen dada, echo jantung, elektrokardiogram (EKG), dan analisa gas darah merupakan metode diagnosa yang digunakan oleh dokter.
Karena hipoksia merupakan sebuah kondisi rendahnya kadar oksigen dalam darah sehingga jaringan tubuh tak berfungsi maksimal, pengobatan hipoksia bertujuan utama mengembalikan kadar oksigen tersebut.
Pasokan oksigen harus kembali normal agar sel dan jaringan tubuh dapat bekerja secara normal.
Hanya saja, penanganan hipoksia juga harus disesuaikan dengan faktor-faktor yang menyebabkannya.
Berikut ini merupakan deretan langkah penanganan hipoksia yang umumnya diberikan kepada pasien :
1. Pemberian Oksigen
Kadar rendah oksigen dalam tubuh perlu ditingkatkan kembali dengan pemberian tambahan oksigen, yaitu melalui [1,7,12] :
Metode pemberian tambahan oksigen biasanya juga disesuaikan dengan kondisi pasien, khususnya tingkat keparahan dan seberapa kadar oksigen yang hendak dicapai.
2. Pemberian Obat-obatan
Beberapa jenis obat pun akan diberikan oleh dokter, tergantung dari kondisi pasien yang mendasari terjadinya hipoksia [1,13,14].
Hipoksia terutama yang berhubungan dengan cedera pada otak dapat meningkatkan sejumlah risiko komplikasi, seperti kejang dan koma [6].
Namun tak jarang pula hipoksia dapat berakibat pada penurunan fungsi kognitif dan bahkan berujung kematian jika tak segera ditangani.
Walau menurut sebuah penelitian, 27% penderita koma pasca hipoksia dapat sadar kembali dalam waktu 28 hari, 64% dapat meninggal dan 9% lainnya mengalami koma yang sangat lama.
Keterbatasan gerakan tubuh, hingga gangguan neurologis dapat terjadi sebagai komplikasi yang perlu diwaspadai.
Hipoksia adalah kondisi yang tak terduga dan tak dapat diprediksi, maka akan lebih sulit untuk mencegahnya.
Hanya saja, beberapa upaya dalam meminimalisir risiko hipoksia untuk terjadi berikut ini dapat dilakukan :
Tinjauan Hipoksia sulit untuk dicegah karena kondisi ini dapat terjadi sewaktu-waktu. Namun untuk meminimalisir risikonya, mengatasi kondisi medis penyebab hipoksia dan menjalani gaya hidup sehat adalah upaya terbaik.
1. Beenish S. Bhutta; Faysal Alghoula; & Ilya Berim. Anoxia (Hypoxic Hypoxia). National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Nafilah Sri Sagita K. Di Indonesia, Happy Hypoxia pada COVID-19 Sudah Ditemukan Sejak Maret 2020. detikHealth; 2020.
3. Carine Michiels. Physiological and Pathological Responses to Hypoxia. The American Journal of Pathology; 2004.
4. D P Jones, T Y Aw, & X Q Shan. Drug metabolism and toxicity during hypoxia. Drug Metabolism Reviews; 1989.
5. Holger K. Eltzschig, M.D., Ph.D. & Peter Carmeliet, M.D., Ph.D. Hypoxia and Inflammation. HHS Public Access; 2014.
6. Myriam Lacerte; Angela Hays Shapshak; & Fassil B. Mesfin. Hypoxic Brain Injury. National Center for Biotechnology Information; 2020.
7. Adebayo Adeyinka; Harideep Samanapally; & Noah P. Kondamudi. Cyanosis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
8. Ahmad Naufal Dzulfaroh & Inggried Dwi Wedhaswary. Yang Perlu Diketahui soal Happy Hypoxia, Dialami Pasien Covid-19 Termasuk di Indonesia. Kompas; 2020.
9. Martin J. Tobin, Franco Laghi, & Amal Jubran. Why COVID-19 Silent Hypoxemia is Baffling to Physicians. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine; 2020.
10. Harpreet Ranu, Michael Wilde, & Brendan Madden. Pulmonary Function Tests. Ulster Medical Journal; 2011.
11. John P. Berger, Ganesh Raveendran, David H. Ingbar, & Maneesh Bhargava. Hypoxia: An Unusual Cause with Specific Treatment. Case Reports in Pulmonology; 2015.
12. Ryan Choudhury. Hypoxia and hyperbaric oxygen therapy: a review. International Journal of General Medicine; 2018.
13. C Caillard, A Menu, M Plotkine, & P Rossignol. Do anticonvulsant drugs exert protective effect against hypoxia? Life Sciences; 1975.
14. Catherine E. Charron, Pai-Chien Chou, David J. C. Coutts, Vaibhav Kumar, Masako To, Kenichi Akashi, Liao Pinhu, Mark Griffiths, Ian M. Adcock, Peter J. Barnes, & Kazuhiro Ito. Hypoxia-inducible Factor 1α Induces Corticosteroid-insensitive Inflammation via Reduction of Histone Deacetylase-2 Transcription. Journal of Biological Chemistry; 2009.