Daftar isi
Polifagia atau hiperfagia merupakan sebuah kondisi ketika selera makan seseorang meningkat secara berlebihan sehingga rasa lapar yang timbul lebih sering dan besar dari normalnya [3].
Bila semua orang pernah merasakan lapar, lapar pada kondisi polifagia tidaklah wajar, atau tingkat rasa laparnya ekstrim.
Rasa lapar berlebihan ini tidak dapat disamakan dengan rasa lapar yang timbul setiap setelah melakukan aktivitas fisik.
Setiap sehabis melakukan aktivitas fisik, rasa lapar tiba dan setelah mengisi perut, maka rasa lapar akan hilang.
Namun pada polifagia, selera makan dan rasa lapar tetaplah besar meski sudah makan sebanyak-banyaknya makanan.
Tinjauan Polifagia merupakan sebuah kondisi makan banyak karena nafsu makan dan rasa lapar yang meningkat secara berlebihan dan terlalu intens.
Prevalensi polifagia di Indonesia belum diketahui secara jelas dan spesifik.
Namun, prevalensi penyakit diabetes (salah satu penyebab polifagia) sendiri menurut WHO (World Health Organization) tahun 2016 mengalami peningkatan yang terjadi secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir [1].
Prevalensi diabetes di dunia mengalami kenaikan signifikan secara global bila dilihat dari tahun 1980 (sekitar 108 juta penderita) ke 2014 (sekitar 422 juta penderita) pada orang dewasa.
Pada beberapa dekade terakhir juga diketahui bahwa prevalensi diabetes mengalami pertambahan khususnya di negara yang tingkat penghasilannya menengah ke bawah.
Terdapat sejumlah faktor yang mampu menjadi penyebab polifagia, yaitu antara lain adalah :
1. Penyakit Diabetes
Normalnya, ketika makan maka tubuh akan mengubah makanan menjadi glukosa lalu tubuh memanfaatkan hormon insulin untuk memperoleh glukosa dari aliran darah [1,2,3,6,7].
Setelah tubuh mendapatkan glukosa, glukosa kemudian didistribusikan ke sel-sel tubuh.
Glukosa kemudian digunakan oleh sel-sel tubuh untuk menjadi tenaga bagi tubuh dalam beraktivitas.
Pada penderita diabetes tipe 2, tubuh tidak dapat menggunakan insulin sebagaimana mestinya dan pada penderita diabetes tipe 1, tubuh tidak dapat menghasilkan insulin.
Pada kasus diabetes, glukosa akan berada lebih lama di dalam aliran darah.
Glukosa tidak akan terdistribusi ke sel-sel tubuh, tapi justru ikut keluar bersama urine saat penderita buang air kecil.
Hal ini kemudian menjadi sinyal bagi tubuh untuk terus-menerus makan dan mengisi perut untuk menggantikan glukosa yang telah hilang.
Karena glukosa akan terbuang melalui proses buang air kecil, penderita diabetes akan mengalami rasa lapar yang luar biasa dan selera makan bertambah berkali-kali lipat.
Selain rasa lapar berlebihan, seseorang menderita diabetes bila mengalami beberapa gejala seperti berikut :
Hiperglikemia, diabetes dan polifagia adalah ketiga kondisi yang saling berkaitan [2].
Untuk orang-orang dengan kondisi diabetes, hiperglikemia dapat meningkatkan risiko polifagia pada mereka.
Sementara itu, penderita diabetes sendiri juga memiliki risiko lebih besar dalam meningkatkan risiko menderita hiperglikemia.
2. Stres
Stres dapat dialami oleh siapapun, dan ketika seseorang stres maka hormon kortisol terlepas dalam jumlah besar di mana hal inilah yang membuat rasa lapar menjadi berlebihan [3,4].
Hal ini menjadi alasan bagi beberapa orang yang mengalami stres akan terus-menerus makan sebagai pengalih emosi negatif.
Beberapa gejala fisik yang juga dapat menyertai ketika seseorang merasakan stres selain rasa lapar yang ekstrem :
3. Hipertiroidisme
Hipertiroid atau kondisi ketika kelenjar tiroid terlalu aktif sehingga menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan.
Kelenjar tiroid di dalam tubuh manusia berperan sangat penting dalam membuat fungsi tubuh bekerja dengan baik dan tetap terkontrol, salah satunya fungsi metabolisme.
Oleh sebab itu, hormon tiroid berlebihan di dalam tubuh mampu menjadi penyebab meningkatkan rasa lapar dan selera makan secara berlebihan [3,5].
Selain rasa lapar ekstrem, hipertiroidisme akan menimbulkan beberapa gejala lain seperti halnya :
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan kondisi ketika kadar gula dalam darah tergolong sangat rendah di dalam tubuh atau di bawah normal [3,6].
Kondisi hipoglikemia dapat terjadi pada siapapun walaupun lebih banyak dialami oleh penderita diabetes.
Selain rasa lapar dan nafsu makan yang meningkat secara berlebihan, di bawah ini adalah sejumlah gejala hipoglikemia lainnya yang perlu dikenali :
5. Kurang Tidur
Tidak mendapatkan kualitas tidur yang cukup mampu menyebabkan hormon pengendali rasa lapar bermasalah.
Karena hal ini, seseorang yang sering kurang tidur akan lebih mudah merasa lapar dan nafsu makannya dapat bertambah secara ekstrem [3,7].
Karena rasa lapar tersebut timbul secara berlebihan, maka sebagai ‘obatnya’ seseorang akan makan dan mengasup kalori lebih banyak dari biasanya.
Kurang tidur tak hanya meningkatkan nafsu makan dan rasa lapar berlebih, beberapa kondisi gejala yang dapat timbul antara lain adalah :
Tidak hanya begadang dan kurang tidur, gangguan tidur seperti sleep apnea dapat pula menjadikan seseorang makan lebih banyak dari biasanya karena rasa lapar timbul berlebihan.
6. Sindrom Pramenstruasi (PMS)
Setiap wanita yang mengalami gejala PMS atau sindrom pramenstruasi akan lebih mudah mengalami rasa lapar yang tidak wajar [3,8].
Seorang wanita pada kondisi ini tubuhnya akan mengalami peningkatan progesteron dan estrogen, namun hormon serotonin mengalami penurunan.
Dampaknya, rasa lapar akan timbul secara lebih intens dan keinginan untuk makan makanan berlemak serta berkarbohidrat tinggi lebih besar dari biasanya.
Selain peningkatan nafsu makan di atas normal, gejala PMS lainnya yang sebaiknya diwaspadai antara lain adalah :
7. Diet Tidak Sehat
Pola diet tidak sehat di mana sehari-hari mengonsumsi makanan-makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat tidak akan mudah mengenyangkan perut.
Polifagia dapat terjadi karena kebiasaan makan makanan yang tidak sehat [9].
Mengonsumsi makanan-makanan yang mengandung sedikit nutrisi hanya akan meningkatkan rasa lapar dan nafsu makan untuk makan lebih banyak.
Selain mudah lapar dan kecenderungan untuk makan lebih banyak, pola diet tidak sehat mampu menimbulkan sejumlah gejala seperti :
Namun bila sehari-hari asupan terdiri dari sayur, buah, kacang-kacangan, daging tanpa lemak, gandum utuh dan ikan, maka rasa lapar tidak mudah timbul.
Mengasup makanan kaya serat akan menghindarkan diri dari rasa cepat lapar dan keinginan untuk makan terlalu banyak.
Tinjauan Penyakit diabetes, stres, hipertiroid, hipoglikemia, PMS (sindrom pramenstruasi pada wanita), kurang tidur, dan juga pola diet yang tidak sehat (makan sembarangan) adalah faktor-faktor yang mampu menyebabkan polifagia atau kecenderungan makan banyak karena selalu lapar.
Gejala polifagia paling utama adalah peningkatan nafsu makan yang tidak biasa dan cenderung berlebihan [2,3,4,5,6,7,8,9].
Bila nafsu makan terus meningkat dan bahkan aktivitas makan menjadi lebih sering dan banyak dari normalnya, inilah kondisi polifagia.
Gejala polifagia pada dasarnya tergantung dari faktor yang menjadi penyebabnya.
Beberapa gejala lain yang umum terjadi menyertai rasa lapar dan aktivitas makan berlebihan antara lain adalah :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Ketika rasa lapar tidak seperti biasanya dan cenderung intens dan berlebihan, maka kondisi ini dapat menandakan bahwa seseorang tengah mengalami polifagia.
Bila nafsu makan meningkat drastis dan rasa lapar timbul berlebihan disertai gejala-gejala lain yang telah disebutkan di atas, segera ke dokter.
Secepatnya temui dokter dan periksakan diri terutama bila pernah mengalami kejang, sering mengalami keringat berlebih dan sering buang air kecil.
Tinjauan - Gejala utama pada kondisi polifagia adalah rasa lapar yang terus-menerus terjadi walau sudah mengisi perut. - Nafsu makan yang meningkat berlebih dan kecenderungan makan banyak ini seringkali disertai dengan gejala lain seperti sering buang air kecil, sulit konsentrasi, insomnia, tubuh kelelahan, hingga kenaikan/penurunan berat badan drastis.
Pada saat datang ke dokter dan memeriksakan diri, beberapa metode diagnosa di bawah ini pada umumnya akan dokter terapkan pada pasien dengan gejala polifagia :
Dokter akan memeriksa fisik pasien, terutama gejala turun atau naiknya berat badan [3].
Dokter juga akan menanyakan beberapa hal mengenai gejala apa saja yang dialami dan sudah berapa lama gejala tersebut timbul.
Seberapa intens rasa lapar yang terjadi, pola diet apa yang tengah dijalani, serta seperti apa riwayat medis pasien dan keluarga pasien juga kemungkinan besar ditanyakan oleh dokter.
Biasanya dari hasil pengumpulan informasi tersebut, dokter mampu mengetahui apa saja penyebab polifagia yang dialami oleh pasien.
Namun, ada kalanya dokter harus meminta pasien menjalani tes lanjutan untuk menegakkan diagnosa.
Jika dokter mencurigai adanya kondisi diabetes pada pasien, maka kemungkinan dokter akan meminta pasien menempuh tes darah untuk mengetahui kadar gula darah [2].
Melalui tes gula darah akan dapat diketahui apakah pasien positif mengidap diabetes.
Bila dokter mencurigai adanya kondisi hipertiroidisme pada tubuh pasien, maka dokter akan meminta pasien untuk menempuh tes fungsi tiroid [12].
Melalui tes fungsi tiroid akan dapat diketahui apakah kelenjar tiroid pada tubuh pasien terlalu aktif, begitu juga kadar hormon tiroid yang terlalu tinggi.
Tinjauan Metode diagnosa untuk mengonfirmasi kondisi dan penyebab polifagia biasanya meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat kesehatan, tes darah, dan tes fungsi tiroid.
Pengobatan polifagia akan disesuaikan dengan faktor penyebabnya di mana pengobatan bertujuan utama mengatasi faktor yang mendasari timbulnya kondisi polifagia.
Obat-obatan akan diresepkan oleh dokter tergantung dari penyebab polifagia, baik itu hipertiroidisme, PMS, atau diabetes [1,2,5,8].
Bila polifagia terjadi karena depresi atau masalah kesehatan mental tertentu, biasanya dokter akan merujukkan pasien ke dokter ahli kesehatan jiwa dan mental [4].
Bila penyebab utama polifagia berkaitan dengan gangguan kesehatan mental, maka pasien umumnya perlu menggunakan obat anticemas dan antidepresan.
Terapi perilaku kognitif juga merupakan perawatan yang dibutuhkan bila polifagia disebabkan oleh depresi atau kondisi sejenisnya.
Namun jika masalah terdapat pada pola diet pasien yang kurang sehat, maka perubahan pola diet menjadi lebih sehat adalah solusi yang dapat dijalani pasien [9].
Perubahan pola diet akan membantu mengurangi sekaligus mengendalikan rasa lapar berlebihan yang sebelumnya dialami oleh pasien.
Pola diet tak hanya meliputi asupan makanan yang berubah menjadi lebih sehat, tapi juga pola olahraga yang lebih digiatkan supaya mampu menetralisir kadar gula darah dan mengelola stres dengan baik.
Tinjauan Pengobatan polifagia menyesuaikan dengan faktor penyebabnya; yaitu pemberian obat-obatan (untuk hipertiroid, PMS dan diabetes), terapi dan obat khusus untuk depresi, serta perubahan pola diet dan kebiasaan hidup sehat.
Risiko komplikasi polifagia tergantung dari penyebab polifagia.
Jika penyebab polifagia tidak segera ditangani, komplikasi dari penyakit atau kondisi medis yang menyebabkannya dapat terjadi, seperti misalnya [10,11,12,13,14] :
Dalam meminimalisir risiko polifagia, menjaga kesehatan tubuh adalah hal yang paling penting dan perlu dilakukan.
Menjalani pola hidup sehat seperti makan sehat, tidur cukup, berolahraga rutin, dan mengelola stres dengan cara yang positif adalah beberapa cara terbaik dalam mencegah polifagia.
Tinjauan Polifagia dapat dicegah dengan menjaga pola hidup sehat; dengan begitu, berbagai faktor penyebab dan faktor risiko polifagia dapat dihindari.
1. Khairani, Nuning Kurniasih, Rudy Kurniawan, & Didik Budijanto. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2018. Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi; 2019.
2. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care; 2009.
3. Anonim. Polyphagia – Increased Appetite. Diabetes.co,uk; 2019.
4. Eiko I. Fried. Problematic assumptions have slowed down depression research: why symptoms, not syndromes are the way forward. Frontiers in Psychology; 2015.
5. Wei-Xin Dai & Xun-Wu Meng. Causes of anorexia in untreated hyperthyroidism: a prospective study. British Medical Journal; 2000.
6. April Bigelow, PhD, ANP-BC & Barbara Freeland, DNP, ACNS-BC. Type 2 Diabetes Care in the Elderly. The Journal for Nurse Practitioners; 2017.
7. Michael A. Grandner, Azizi Seixas, Safal Shetty, & Sundeep Shenoy. Sleep Duration and Diabetes Risk: Population Trends and Potential Mechanisms. HHS Public Access; 2017.
8. L Dye & J E Blundell. Menstrual cycle and appetite control: implications for weight regulation. Human Reproduction (Oxford, England); 1997.
9. Senadheera Pathirannehelage Anuruddhika Subhashinie Senadheera, Sagarika Ekanayake, & Chandanie Wanigatunge. Dietary Habits of Type 2 Diabetes Patients: Variety and Frequency of Food Intake. Journal of Nutrition and Metabolism; 2016.
10. Konstantinos Papatheodorou, Maciej Banach, Eleni Bekiari, Manfredi Rizzo, & Michael Edmonds. Complications of Diabetes 2017. Journal of Diabetes Research; 2018.
11. Habib Yaribeygi, Yunes Panahi, Hedayat Sahraei, Thomas P. Johnston, & Amirhossein Sahebkar. The impact of stress on body function: A review. EXCLI Journal; 2017.
12. Simone De Leo, Sun Y Lee, & Lewis E Braverman. Hyperthyroidism. HHS Public Access; 2016.
13. Sanjay Kalra, Jagat Jyoti Mukherjee, Subramanium Venkataraman, Ganapathi Bantwal, Shehla Shaikh, Banshi Saboo, Ashok Kumar Das, & Ambady Ramachandran. Hypoglycemia: The neglected complication. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism; 2013.
14. Joseph A. Hanson & Martin R. Huecker. Sleep Deprivation. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.