Daftar isi
Proktitis adalah suatu kondisi radang pada dinding usus besar bagian akhir atau yang disebut juga dengan rektum [1,3,5].
Kondisi proktitis ditandai dengan sakit perut dan sakit di bagian dubur disertai perut mulas.
Penderita proktitis juga akan mengalami diare di mana feses yang keluar juga disertai darah atau justru lendir.
Penyakit radang usus (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn) dapat menjadi salah satu alasan mengapa proktitis dapat terjadi [1].
Bahkan penderita penyakit menular seksual juga memiliki risiko lebih tinggi dalam menderita proktitis [3,6].
Tinjauan Proktitis merupakan kondisi peradangan yang menyerang dinding rektum yang biasanya ditandai dengan perut mulas dan rasa sakit khususnya di area dubur.
Berbagai faktor dapat menjadi peningkat risiko atau penyebab proktitis terjadi, berikut ini adalah deretan kondisi yang mampu menyebabkan radang di dinding rektum.
Penyakit menular seksual yang penularannya terjadi melalui aktivitas hubungan seksual tanpa kondom serta aktivitas hubungan seksual lewat anal dapat meningkatkan risiko proktitis.
Infeksi bakteri seperti infeksi shigella, salmonella, dan campylobacter perlu diwaspadai sebagai penyebab proktitis.
Penyakit menular seksual seperti klamidia, herpes genital, dan gonore pun tergolong dalam jenis penyakit menular yang mampu memperbesar potensi penderitanya mengidap proktitis [1,3,6].
Penyakit radang usus seperti kolitis ulseratif dan penyakit Crohn dapat memperbesar potensi seseorang mengalami proktitis [1].
Terdapat sekitar 30% kasus proktitis di mana penderitanya sudah lebih dulu mengidap radang usus.
Proktitis eosinofilik adalah sebuah kondisi ketika eosinofil atau jenis sel darah putih mengalami penumpukan pada dinding rektum [4].
Jika kondisi ini terjadi, maka risiko penyakit proktitis pun lebih besar; hanya saja, proktitis eosinofilik ini jauh lebih berisiko dialami oleh anak balita (usia di bawah 2 tahun).
Pada balita yang mengonsumsi susu formula dari kedelai atau susu sapi, reaksi terhadap protein dapat menjadi penyebab proktitis [4].
Bahkan bayi-bayi yang masih menyusui dari ibu yang mengonsumsi produk olahan susu juga akan memperbesar potensi anak mengalami proktitis secara tak langsung.
Antibiotik digunakan sebagai obat untuk membunuh bakteri penyebab infeksi pada usus tidak selalu efektif, khususnya bila penggunaan tanpa resep dokter.
Pada beberapa kasus, antibiotik justru mampu memicu bakteri Clostridium untuk semakin berkembang dan membahayakan rektum [1].
Pada penderita kanker yang menjalani terapi radiasi dengan target area rektum atau area dekat rektum akan memiliki risiko lebih tinggi terkena proktitis [1,8].
Proktitis dapat terjadi selama terapi radiasi berjalan hingga beberapa bulan setelah selesai menjalani terapi.
Namun, ada pula yang menderita proktitis justru setelah beberapa tahun mengakhiri terapi radiasi ini.
Seseorang yang baru saja menempuh operasi pembuatan stoma (lubang buatan baru di perut untuk BAB) dan operasi sus besar memiliki risiko lebih tinggi mengalami proktitis.
Radang lebih mudah menyerang area rektum yang justru tidak pernah makanan lewati.
Tinjauan Berbagai faktor yang mampu meningkatkan risiko proktitis antara lain adalah efek operasi, terapi radiasi untuk kanker, infeksi (penyakit menular seksual), antibiotik tertentu, reaksi terhadap protein, proktitis eosinofilik, dan penyakit radang usus.
Proktitis umumnya ditandai dengan sejumlah keluhan dan berikut ini adalah deretan keluhan gejala proktitis yang perlu dikenali [1,3,4,5,6,7] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Jika ingin mencegah atau mendeteksi dini penyakit menular seksual karena sering berganti pasangan saat berhubungan seksual, maka segera temui dokter.
Tak hanya itu, segera ke dokter apabila beberapa gejala yang telah disebutkan mulai dialami, terutama dubur yang sakit, perut mulas, hingga BAB berlendir atau berdarah.
Tinjauan Proktitis paling kerap ditandai dengan beberapa keluhan, yaitu rasa sakit di dubur, perut mulas, diare, perdarahan dari rektum, terasa penuh di area rektum, hingga BAB berlendir atau berdarah.
Sejumlah gejala proktitis tidak semudah itu untuk dideteksi sebagai penyakit proktitis.
Gejalanya yang mirip dengan gangguan pencernaan lain menyebabkan dokter perlu memeriksa secara lebih detail.
Berikut ini adalah sejumlah cara dokter dalam mendeteksi dan mengonfirmasi proktitis :
Dokter akan mengawali dengan memberikan beberapa pertanyaan seputar gejala yang dirasakan oleh pasien [1].
Dokter juga menanyakan seputar riwayat medis pasien dan keluarga pasien, serta penyakit apa yang pernah atau tengah diidap pasien.
Sebagai tes penunjang yang berguna dalam membantu dokter menegakkan diagnosa, tes feses seringkali diperlukan [1,3,4,6].
Dokter akan meminta pasien untuk mengambil sampel feses yang kemudian dibawa ke dokter untuk dianalisa lebih lanjut.
Tes feses yang ditempuh oleh pasien dapat membantu dokter dalam mendeteksi apakah infeksi bakteri merupakan penyebab proktitis.
Dokter juga kemungkinan meminta pasien untuk menempuh tes darah [1,7].
Tujuan pemeriksaan darah adalah untuk memastikan apakah di dalam tubuh pasien sedang terjadi infeksi.
Tes darah juga berfungsi untuk mendeteksi apakah pasien mengalami kehilangan darah.
Kolonoskopi adalah prosedur pemeriksaan yang umumnya dilakukan oleh dokter gastroenterologi yang bertujuan untuk mengetahui kondisi dinding usus bagian bawah dan rektum [1].
Pada proses tindakan pemeriksaan ini, pengambilan sampel jaringan rektum akan dilakukan yang kemudian dianalisa lebih lanjut di laboratorium.
Dokter juga kemungkinan akan mengambil sampel lendir yang berasal dari rektum pasien [1].
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mendeteksi keberadaan penyakit menular seksual.
Dari pemeriksaan ini dan juga tes-tes sebelumnya, dokter dapat menentukan perawatan yang sesuai bagi kebutuhan kondisi pasien.
Tinjauan Untuk mendeteksi dan mengonfirmasi kondisi proktitis, metode diagnosa yang biasanya dokter terapkan adalah pemeriksaan gejala, tes feses, tes darah, kolonoskopi, serta tes sampel lendir yang diambil dari rektum pasien.
Penyebab proktitis menentukan metode pengobatan yang dokter dapat berikan kepada pasien.
Berikut ini adalah beberapa cara pengobatan proktitis yang umumnya perlu ditempuh pasien.
Pada kasus proktitis yang disebabkan oleh infeksi virus (virus herpes misalnya), maka dokter akan memberikan jenis obat antivirus [1,3].
Acyclovir adalah obat yang cukup umum dalam menangani proktitis karena infeksi virus [1].
Ketika proktitis disebabkan oleh infeksi bakteri, maka dokter biasanya akan meresepkan jenis antibiotik tertentu [1,3,6,7].
Doxycycline adalah jenis antibiotik yang umumnya mampu menangani gejala proktitis karena infeksi bakteri [1].
Obat anti-inflamasi atau obat anti radang juga kemungkinan besar akan diberikan oleh dokter untuk pasien proktitis yang disebabkan utamanya oleh penyakit radang usus.
Beberapa anti-inflamasi yang diresepkan pada umumnya adalah jenis suppositoria atau enema dan kortikosteroid [1].
Budesonide dan prednisone adalah golongan kortikosteroid yang banyak diresepkan sebagai solusi bagi penderita proktitis.
Pada beberapa kasus proktitis karena radang usus, dokter akan meresepkan infliximab atau azathioprine.
Kedua jenis obat ini diresepkan dengan tujuan untuk menekan sistem imun.
Hanya saja, azathioprine atau infliximab biasanya diresepkan bagi pasien dengan penyakit Crohn.
Pemberian obat khusus pelunak tinja/feses sekaligus dilatasi biasanya direkomendasikan oleh dokter [8,10].
Prosedur ini adalah tindakan medis dalam mengobati proktitis yang bertujuan agar penghalang di bagian usus dapat dibuka.
Pelebaran rektum atau ablasi dapat direkomendasikan oleh dokter apabila terapi radiasi adalah penyebab proktitis terjadi [9].
Ablasi adalah prosedur yang dilakukan untuk menghancurkan jaringan-jaringan abnormal yang menyebabkan perdarahan dari rektum.
Ablasi adalah prosedur yang kerap digunakan untuk mengobati proktitis dengan krioablasi, koagulasi plasma argon, dan elektrokoagulasi.
Dokter kemungkinan juga akan memberikan suppositoria berbentuk pil seperti mesalamine, metronidazole, sulfasalazine, dan sucralfate yang akan mengatasi perdarahan yang dialami oleh pasien [1].
Obat-obatan ini juga berguna dalam mengendalikan radang dan meredakan gejala yang ditimbulkan oleh peradangan tersebut.
Apabila terapi obat-obatan kurang ampuh dan tak menunjukkan efektivitasnya pada gejala yang dialami pasien, ada kemungkinan kondisi pasien membutuhkan prosedur operasi [7].
Bila obat tidak mempan, maka dokter akan merekomendaikan prosedur bedah untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang mengalami kerusakan.
Tips Meredakan Radang dan Nyeri
Selain menggunakan obat resep dokter, pasien juga perlu melakukan penanganan mandiri dengan langkah-langkah berikut.
Tinjauan Tergantung dari penyebabnya, penanganan proktitis umumnya meliputi pemberian antivirus, antibiotik, anti-inflamasi, pelunak tinja dan dilatasi, ablasi, dan suppositoria. Namun jika kondisi terlalu parah dan obat tidak efektif, dokter akan merekomendasikan prosedur operasi.
Kondisi proktitis yang tidak tertangani dengan benar akan meningkatkan risiko komplikasi pada penderitanya.
Di bawah ini adalah sejumlah kondisi komplikasi yang perlu diwaspadai :
Fistula yang dapat terjadi sebagai bentuk komplikasi antara lain adalah fistula rektovagina dan fistula ani [1,3,6].
Fistula rektovagina adalah pembentukan saluran abnormal yang terjadi di antara vagina dan rektum sehingga wanita mengalami keluarnya feses dari vagina.
Sementara itu, fistula ani adalah kondisi terbentuknya saluran abnormal di antara usus dan kulit yang ada di sekeliling dubur pasien.
Ketika perdarahan terjadi pada tahap kronik dari rektum, maka pasien dapat mengalami kekurangan banyak darah dan menyebabkan anemia [11].
Perdarahan yang tidak segera diatasi dan terus berkelanjutan maka membuat tubuh pasien tidak memiliki sel darah merah yang memadai untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh jaringan tubuh.
Hal ini kemudian menyebabkan tubuh pasien mudah lelah, kulit memucat, menimbulkan sakit kepala, hingga sesak nafas.
Borok dapat pula terjadi di bagian dalam dinding rektum sebagai komplikasi [1,3,6].
Hal ini dapat terjadi karena peradangan kronik pada bagian rektum yang tak segera diobati.
Abses atau kondisi abses bernanah berpotensi besar terjadi pada area yang mengalami infeksi [12].
Abses yang tak segera mendapatkan penanganan sangat berbahaya dan mampu mengancam jiwa pasien.
Tinjauan Fistula, borok pada bagian rektum, abses, hingga anemia karena perdarahan berkelanjutan dapat menjadi komplikasi yang dialami oleh penderita proktitis.
Untuk meminimalisir risiko proktitis, beberapa upaya berikut dapat dilakukan [3,6,13] :
Tinjauan Dalam meminimalisir risiko proktitis, berhubungan seksual yang aman, penanganan dini terhadap penyakit menular seksual, serta menghindari terapi radiasi tepat pada area rektum adalah cara terbaik. Tak hanya itu, menghindari konsumsi obat terlarang (narkoba) dan juga alkohol juga mampu mencegah proktitis.
1. Marcelle Meseeha & Maximos Attia. Proctitis And Anusitis. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020.
2. Mulia, Dadang Makmun, Murdani Abdulah & Nana Supriana. Faktor-faktor Risiko Terjadinya Proktitis Radiasi Kronik pada Pasien Kanker Leher Rahim yang Mendapatkan Terapi Radiasi. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia; 2015.
3. Gavin W. Sigle, MD, MBA & Rebekah Kim, MD. Sexually Transmitted Proctitis. Clinics in Colon and Rectal Surgery; 2015.
4. Abdulrahman A. Alfadda, MD & Martin A. Storr, MD. Eosinophilic colitis: epidemiology, clinical features, and current management. ; Therapeutic Advances in Gastroenterology; 2011.
5. Pejman Porouhan, Negin Farshchian, & Malihe Dayani. Management of radiation-induced proctitis. Journal of Family Medicine and Primary Care; 2019.
6. E Hamlyn and C Taylor. Sexually transmitted proctitis. Postgraduate Medical Journal; 2006.
7. Charles B. Whitlow, M.D. Ulcerative Proctitis. Clinics in Colon and Rectal Surgery; 2004.
8. Kufe DW, Pollock RE, Weichselbaum RR, et al. Holland-Frei Cancer Medicine. 6th edition. Hamilton (ON): BC Decker; 2003.
9. Chao Zhou, Desmond C. Adler, Laren Becker, Yu Chen, Tsung-Han Tsai, Marisa Figueiredo, Joseph M. Schmitt, James G. Fujimoto, & Hiroshi Mashimo. Effective Treatment of Chronic Radiation Proctitis Using Radiofrequency Ablation. Therapeutic Advances in Gastroenterology; 2009.
10. Nupur Bansal, Abhishek Soni, Paramjeet Kaur, Ashok Kumar Chauhan, & Vivek Kaushal. Exploring the Management of Radiation Proctitis in Current Clinical Practice. Journal of Clinical & Diagnostic Research; 2016.
11. Jürgen Steina & Axel U. Dignass. Management of iron deficiency anemia in inflammatory bowel disease – a practical approach. Annals of Gastroenterology; 2013.
12. Woo Shin Jeong, Sung Youn Choi, Eun Haeng Jeong, Ki Bae Bang, Seung Sik Park, Dae Sung Lee, Dong Il Park, & Yoon Suk Jun. Perianal Abscess and Proctitis by Klebsiella pneumoniae. Intestinal Research; 2015.
13. Ben G. L. Vanneste, Lien Van De Voorde, Rogier J. de Ridder, Evert J. Van Limbergen, Philippe Lambin, & Emile N. van Lin. Chronic radiation proctitis: tricks to prevent and treat. International Journal of Colorectal Disease; 2015.