Konstipasi umum dialami oleh semua usia dan populasi. Sekitar 16 dari 100 orang dewasa mengalami gejala konstipasi. Sekitar 30 dari 100 orang berusia 60 tahun atau lebih memiliki gejala konstipasi[1].
Daftar isi
Konstipasi ialah gerakan usus besar yang jarang dan sulit untuk mengeluarkan feses[3].
Konstipasi terjadi ketika seseorang mengalami kesulitan mengosongkan usus besar. Orang yang buang air besar kurang dari 3 kali seminggu kemungkinan mengalami konstipasi[4].
Kontipasi merupakan kondisi yang ditandai dengan[1]:
Tingkat beratnya konstipasi bervariasi di antara satu orang dengan yang lainnya.
Banyak orang yang mengalami konstipasi untuk waktu yang singkat, tapi pada kasus lain, konstipasi dapat menjadi kondisi jangka panjang (kronis) yang menyebabkan sakit signifikan dan ketidaknyamanan serta mempengaruhi kualitas hidup[1].
Konstipasi bukan suatu penyakit, tapi dapat merupakan gejala dari masalah kesehatan lainnya[1].
Tidak membuang air besar satu kali pun sehari termasuk normal. Faktanya, kurang dari 50% orang yang rutin buang air besar setiap hari[5].
95% orang dewasa melakukan buang air besar antara 3-21 kali per minggu, dengan rentang normal sekitar 3 kali seminggu[5].
Seiring dengan usia, jumlah buang air besar per harinya menurun[5].
Konstipasi mempengaruhi dua kali lebih banyak wanita daripada pria dan lebih umum pada orang berusia lanjut dan wanita hamil[6].
Konstipasi kronis merupakan masalah serius yang mempengaruhi 15% hingga 20% dari populasi di Amerika[5].
Berikut beberapa faktor penyebab konstipasi:
1. Kurangnya konsumsi serat dalam makanan
Orang yang banyak mengkonsumsi makanan berserat berisiko lebih kecil untuk mengalami konstipasi.
Hal ini karena serat meningkatkan buang air besar biasa, terutama ketika dikombinasikan dengan konsumsi air minum yang mencukupi[4].
2. Kurangnya konsumsi air minum
Minum air dengan cukup dapat menurunkan risiko konstipasi. Konsumsi air yang cukup dan serat berperan dalam membantu fungsi usus besar dan menghasilkan sisa pencernaan yang mudah digerakkan dalam usus untuk kemudian dibuang[2, 6].
Perlu diperhatikan bahwa beberapa minuman dapat meningkatkan risiko dehidrasi dan menyebabkan konstipasi bertambah buruk pada beberapa orang. Misalnya minuman soda berkafein, kopi, dan alkohol, sebaiknya dihindari oleh orang yang rentan mengalami konstipasi[4].
3. Tubuh kurang beraktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik dapat mengarah pada konstipasi. Sebuah studi pada tahun 2013 menunjukkan bahwa peningkatan mobilitas fisik dapat membantu menurunkan risiko konstipasi di antara orang dewasa[4].
4. Perubahan kebiasaan
Perubahan kebiasaan seperti jenis makanan, waktu tidur dan penggunaan kamar mandi dapat meningkatkan risiko terjadinya konstipasi. Misalnya ialah ketika melakukan perjalanan, orang cenderung mengubah kebiasaan tersebut dan berpengaruh pada sistem pencernaan[4].
Suatu studi menunjukkan bahwa 9% orang mengalami konstipasi ketika mereka bepergian ke negara lain[4].
5. Menunda buang air besar
Ketika seseorang mengabaikan desakan untuk buang air besar, desakan tersebut secara bertahap akan menghilang sehingga tidak perlu segera menggunakan toilet.
Fungsi utama usus besar adalah untuk menyerap air dari sisa pencernaan makanan. Sehingga semakin lama menunda atau mengabaikan desakan untuk buang air besar menyebabkan terbentuknya feses yang lebih kering dan keras. Hal ini dapat meningkatkan risiko konstipasi dan impaksi tinja[2, 4].
6. Proses penuaan
Seiring proses penuaan, prevalensi konstipasi cenderung meningkat. Penyebab utamanya belum diketahui. Diduga bahwa seiring penuaan, makanan membutuhkan waktu lebih lama di dalam usus besar. [4]
Selain itu, orang berusia lanjut cenderung kurang beraktivitas fisik atau memiliki kondisi kesehatan tertentu[4].
7. Penggunaan laksatif yang berlebihan
Beberapa orang yang merasa jarang buang air besar menggunakan laksatif untuk mengatasinya. Laksatif merupakan zat yang dapat membantu kesulitan buang air besar.
Namun penggunaan laksatif yang terus menerus dapat membuat tubuh terbiasa atau ketergantungan, terutama laksatif stimulan. Sehingga pengguna laksatif akan membutuhkan dosis yang lebih besar dan berisiko lebih besar mengalami konstipasi ketika menghentikan penggunaan[4].
8. Masalah kolorektal
Beberapa kondisi kesehatan yang mempengaruhi kolon dapat menghalangi dan membatasi jalur feses, mengarah pada konstipasi[4].
9. Kondisi kesehatan tertentu
Berikut beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko konstipasi[2, 4]:
Beberapa masalah metabolik dan endokrin yang dapat mengarah pada konstipasi meliputi hiperkalsemia, hipotiroidisme, hiperparatiroidisme, porfiria, penyakit ginjal kronis, pan-hipopituraisme, diabetes melitus, dan fibrosis sistis[7].
Kondisi neurologis yang meningkatkan risiko konstipasi, antara lain multiple sclerosis, penyakit parkinson, stroke, cedera sumsum tulang belakang, dan pseudo-obstruksi intestinal kronis[4].
10. Penggunaan obat tertentu
Berikut beberapa obat yang dapat meningkatkan risiko konstipasi:
11. Faktor psikologis
Terkadang masalah psikologis seperti stress, dan kecemasan dapat memicu konstipasi. Sebagai contoh anak yang mengalami kekerasan fisik atau seksual, atau kehilangan orangtuanya karena sebab tertentu berisiko lebih tinggi mengalami konstipasi kronis. Konstipasi juga sering ditemukan pada pasien depresi[5, 6].
12. Penyakit bawaan
Beberapa penyakit bawaan lahir dapat menyebabkan konstipasi pada anak. Salah satunya ialah penyakit hirschsprung[8].
Penyakit tersebut ditandai dengan tidak adanya sel-sel saraf tertentu pada bagian usus besar. Sisa pencernaan tidak dapat bergerak pada bagian usus yang terdampak, sehingga menyebabkan penyumbatan[4, 8].
Bayi yang diberikan ASI eksklusif biasanya tidak mengalami konstipasi dan termasuk normal saat tidak mengeluarkan air besar selama beberapa hari[4].
Umumnya, konstipasi pada anak-anak terjadi karena[4]:
Jika bayi sudah mulai diberi makanan padat, konsumsi lebih banyak serat dan air dapat membantu menurunkan risiko[4].
Sekitar 40% wanita mengalami konstipasi selama kehamilan. Hal ini dapat disebabkan oleh[4]:
Berikut beberapa gejala konstipasi[2, 4]:
Konstipasi biasanya tidak berlangsung lama dan jarang mengakibatkan komplikasi. Akan tetapi pada kasus tertentu kontipasi dapat terjadi dalam jangka waktu lama menjadi konstipasi kronis[1, 5].
Pendarahan Rektum
Terus menerus mengejan straining untuk mengeluarkan feses dapat menyebabkan sakit, rasa tidak nyaman, dan pendarahan rektum.
Pada beberapa kasus, pendarahan terjadi akibat sobekan kecil di sekitar anus, tapi lebih umum disebabkan oleh ambeien (haemorrhoids). Ambeien ialah pembengkakan pembuluh darah yang terbentuk pada bagian bawah rektum dan anus[6].
Gejala yang ditimbulkan berupa rasa sakit, gatal pada sekitar anus, dan pembengkakan anus. Gejala dapat reda setelah beberapa hari atau dengan penggunaan obat berupa krim atau salep[6].
Impaksi Feses
Konstipasi berjangka lama dapat meningkatkan risiko impaksi feses, yang ditandai dengan menumpuknya feses kering dan keras pada rektum dan anus[6].
Impaksi feses biasanya tidak dapat dikeluarkan secara alami dan membuat konstipasi bertambah parah karena menghambat jalur feses untuk keluar[6].
Impaksi feses dapat mengarah pada beberapa komplikasi lain, seperti[6]:
Konstipasi kronis dapat mengindikasikan masalah kesehatan lainnya. Sebaiknya pasien segera menghubungi dokter ketika mengalami konstipasi kronis dengan kondisi berikut[5]:
Untuk mendiagnosis konstipasi dokter perlu menanyakan gejala yang dialami pasien, catatan kesehatan, dan pengobatan yang digunakan pasien.[2]
Dokter kemudian melakuan pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan rectal dan tes darah. Tes darah berfungsi untuk mengetahui jumlah darah, elektrolit, dan fungsi tiroid[2].
Pada kasus berat, beberapa tes lain dapat diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab gejala, meliputi:
Marker study disebut juga sebagai colorectal transit study, dilakukan untuk menguji bagaimana makanan bergerak melalui usus besar.
Pasien menelan sebuah pil yang mengandung marker kecil yang akan tampak ketika dilakukan X-ray. Hal ini memungkinkan dokter untuk memvisualisasikan jalur makanan dan seberapa baik usus besar bekerja[2].
Anorectal manometry adalah suatu tes yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi otot sphincter anus[2].
Barium enema X-ray merupakan tes untuk memeriksa usus besar. Tes ini melibatkan insersi zat pewarna (dye) bernama barium ke dalam rektum. Dye akan memperjelas bagian rektum dan usus besar sehingga dokter mendapat hasil X-ray yang lebih jelas[2].
Kolonoskopi ialah pemeriksaan colon (usus besar) menggunakan suatu tabung (colonoscope) yang dilengkapi dengan kamera dan sumber cahaya[2].
Konstipasi biasanya dapat membaik dengan sendirinya tanpa perlu perawatan. Pada kebanyakan kasus, perubahan gaya hidup seperti lebih banyak berolahraga, mengkonsumsi banyak serat dan air minum dapat membantu menangani konstipasi[4, 6].
Biasanya konstipasi dapat ditangani sendiri dengan melakukan beberapa langkah berikut[1]:
Pengubahan jenis makanan dan minuman dapat menghasilkan sisa pencernaan yang lebih lunak dan mudah untuk dikeluarkan. Untuk itu, pasien disarankan meningkatkan konsumsi serat dan minum air putih secara cukup. Konsumsi serat yang dianjurkan untuk orang dewasa rata-rata 25-31 gram per hari [1].
Contoh makanan dengan kandungan serat tinggi antara lain buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang, kacang-kacangan, dan buncis. [4]
Sedangkan contoh makanan rendah serat yaitu makanan dengan kandungan lemak tinggi (seperti keju, daging, dan telur), makanan sintetis (seperti roti tawar), dan makanan cepat saji[4].
Olahraga secara teratur dapat membantu meringankan gejala konstipasi[1].
Dokter dapat menganjurkan pasien untuk membiasakan membuang air pada waktu yang sama setiap hari. Sebaiknya pasien meluangkan waktu yang cukup dan segera menggunakan toilet ketika merasakan desakan[1].
Jika konstipasi diduga disebabkan oleh penggunaan obat atau suplemen tertentu, sebaiknya konsultasikan dengan dokter. Dokter dapat mengubah dosis atau meresepkan obat lainnya sebagai ganti. Hindari penghentian atau penggantian obat tanpa berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu[1].
Obat dengan kandungan laksatif dapat dibeli bebas tanpa peresepan dokter. Namun sebaiknya pasien hanya menggunakan laksatif jika konstipasi berat dan penggunaan hanya untuk waktu singkat.
Laksatif dapat menyebabkan ketergantungan dan meningkatkan risiko konstipasi saat penggunaan dihentikan[1, 4].
Jika penanganan rumahan tidak membantu meringankan konstipasi, sebaiknya pasien memeriksakan diri ke dokter. Penggunaan obat konstipasi yang dijual bebas (seperti laksatif) tidak dianjurkan untuk jangka panjang, sehingga dokter biasanya akan meresepkan obat jenis lainnya[1].
Obat untuk Konstipasi
Berikut beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi konstipasi[1]:
Konsultasikan dengan dokter untuk mendapatkan obat yang tepat.
Terapi Biofeedback
Jika konstipasi disebabkan oleh adanya masalah pada otot yang mengendalikan usus besar, dokter dapat menganjurkan terapi biofeedback untuk melatih otot. Terapi ini bertujuan untuk mengubah kerja otot[1].
Operasi
Prosedur operasi disarankan dokter saat perawatan lain tidak dapat mengatasi konstipasi. Misalnya pada kasus konstipasi yang disebabkan oleh penyumbatan anorectal akibat prolaps rektum. Operasi dilakukan untuk menghilangkan otot pada usus besar yang tidak bekerja dengan benar[[1].
Pencegahan konstipasi meliputi penerapan pola hidup dan konsumsi makanan, yaitu[6]:
Kurangnya kandungan serat dalam makanan adalah salah satu penyebab umum konstipasi. Konsumsi serat yang disarankan ialah sekitar 25-31 gram setiap hari[4, 6].
Serat dapat membantu sisa pencernaan melewati usus besar dengan lebih mudah dan membantu buang air besar secara teratur. Makanan berserat tinggi juga menghasilkan sensasi kenyang yang lebih lama[6].
Untuk meningkatkan konsumsi serat sebaiknya dilakukan secara bertahap, karena peningkatan tiba-tiba dapat mengarah pada perut kembung dan menyebabkan kram perut[6].
Mengkonsumsi air minum penting untuk menghindari dehidrasi. Saat suhu lingkungan panas atau keluar banyak keringat, tingkatkan konsumsi air minum secara bertahap[6].
Kebutuhan cairan tiap orang dapat berbeda-beda. Menurut Kemenkes, konsumsi air putih yang disarankan untuk orang dewasa yaitu sekitar delapan gelas berukuran 230 ml per hari (sekitar 2 liter)[9].
Untuk mencegah konstipasi, hindari mengabaikan desakan buang air. Karena menahan desakan dan membuat feses lebih lama tinggal di dalam usus besar dapat menyebabkan terbentuknya feses yang lebih keras dan meningkatkan risiko konstipasi[4].
Rajin olahraga dan melakukan aktivitas fisik lainnya menurunkan risiko konstipasi. Olahraga yang dianjurkan ialah minimal 150 menit setiap minggu. Selain menurunkan risiko konstipasi, olahraga dapat meningkatkan mood, tingkat energi, dan kebugaran tubuh.
1. Anonim. Definition & Facts for Constipation. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease, National Institutes of Health; 2018.
2. Danielle Moores, reviewed by Saurabh Sethi, M.D., MPH. What You Should Know about Constipation. Healthline; 2019.
3. Chatoor D, Emmnauel A. Constipation and Evacuation Disorders. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 23 (4): 517–30. 2009.
4. Adam Felman, reviewed by Stacy Sampson, D.O. What to Know about Constipation. Medical News Today; 2019.
5. Debra Fulghum Bruce, PhD. Chronic Constipation: Facts vs. Myths. WebMD; 2020.
6. Anonim. Constipation. NHS Inform; 2020.
7. Walia R, Mahajan L, Steffen R. Recent Advances in Chronic Constipatio. Curr Opin Pediatr. 21 (5): 661–6. 2009.
8. Wexner, Steven. Constipation: Etiology, Evaluation and Management. New York: Springer. 2006.
9. Anonim. Berapa Takaran Normal Air Agar Tidak Kekurangan Cairan? P2PTM Kementerian Kesehatan RI; 2018.