Tinjauan Medis : dr. Maria Arlene, Sp.Ak
Hepatitis autoumun adalah kondisi yang terjadi saat sistem imun seseorang menyerang sel hati orang itu sendiri. Gejala yang dialami dapat bervariasi, seperti rasa lelah yang terus menerus, nyeri otot dan
Daftar isi
Hepatitis autoimun adalah kondisi peradangan yang menyerang organ hati/liver karena sel-sel hati diserang oleh sistem daya tahan tubuh [1,2,3,5,6,10].
Sistem daya tahan tubuh atau sistem imun memiliki fungsi sebagai pelindung tubuh dari serangan benda asing berbahaya, seperti virus, bakteri maupun jenis kuman lainnya melalui respon imun yang dihasilkan [3,4,13].
Namun sistem imun tidak selalu berfungsi secara normal, karena terdapat sejumlah kasus di mana sistem imun justru menyerang sel-sel tubuh yang sehat [3,13].
Hal ini yang kemudian dikenal dengan istilah penyakit autoimun dan bila misalnya sel hati terkena serangan sistem imun, inflamasi atau radang pun terjadi sebagai akibatnya.
Tinjauan Hepatitis autoimun merupakan sebuah kondisi radang hati/liver yang disebabkan serangan sistem imun terhadap sel-sel hati dan jaringan yang sehat.
Penyebab utama hepatitis autoimun adalah ketika kekeliruan terjadi dan sistem imun tubuh justru menyerang sel-sel atau jaringan hati sehat, bukan menyerang patogen berbahaya yang masuk ke dalam tubuh.
Serangan ini kemudian berimbas pada timbulnya peradangan di organ hati.
Jika tak segera memperoleh penanganan, maka kerusakan sel-sel hati akan menjadi lebih serius.
Terdapat dua jenis kondisi hepatitis autoimun menurut penyebabnya, yaitu sebagai berikut :
Jenis kondisi hepatitis autoimun satu ini adalah yang paling umum dijumpai, terutama pada penderita kolitis ulseratif, penyakit Celiac, atau rheumatoid arthritis [1,4,5].
Siapapun berpotensi mengalami hepatitis autoimun tipe 1 tanpa memandang usia.
Jenis kondisi hepatitis autoimun satu ini lebih rentan dialami oleh anak-anak, remaja dan dewasa muda [1,5].
Walau demikian, tak menutup kemungkinan orang dewasa dapat menderita hepatitis autoimun tipe 2 ini [1,5].
Berbagai penyakit autoimun lainnya dapat menyertai timbulnya hepatitis autoimun tipe 2 pada seseorang [1,5].
Tinjauan Hepatitis autoimun terdiri dari dua tipe, yaitu hepatitis autoimun tipe 1 (dapat terjadi pada siapa saja tanpa memandang usia) dan hepatitis autoimun tipe 2 (lebih banyak diderita oleh anak-anak dan remaja)
Terdapat sejumlah faktor yang juga mampu meningkatkan risiko hepatitis automun, yaitu :
Hepatitis autoimun dapat menimbulkan gejala yang berbeda-beda antar satu penderita dengan penderita lainnya.
Namun, beberapa keluhan hepatitis autoimun yang perlu dikenali dan diwaspadai sejak awal adalah [1,2,3,5] :
Kapan sebaiknya memeriksakan diri ke dokter?
Segera ke dokter untuk memeriksakan diri apabila mengalami beberapa keluhan yang telah disebutkan tersebut.
Jika merasakan ketidaknyamanan pada tubuh dan hal ini membuat diri Anda khawatir, konsultasikan dengan dokter secepatnya agar penyebabnya diketahui dan ditangani dengan baik.
Tinjauan Hepatitis autoimun dapat menimbulkan sejumlah keluhan yang meliputi cepat lelah, nyeri sendi, ruam kulit, ketidaknyamanan di perut, jaundice, hepatomegali, mual, muntah, penurunan nafsu makan, spider angioma, ketidakteraturan haid, area perut bengkak, feses pucat, dan urine berwarna lebih gelap.
Ketika memeriksakan diri ke dokter, maka beberapa metode diagnosa yang dokter akan terapkan, yaitu :
Dokter seperti biasa akan mengawali dengan pemeriksaan fisik, seperti mendeteksi lokasi pembengkakan jika ada, jaundice, dan gejala fisik lainnya [2,6,9].
Dokter juga biasanya ingin tahu riwayat medis pasien, maka dokter akan memberi sejumlah pertanyaan terkait hal ini [1,6].
Bila diperlukan, dokter pun mengumpulkan informasi mengenai riwayat medis keluarga pasien untuk bisa mendukung hasil diagnosa.
Pemeriksaan darah dengan mengambil sampel darah untuk tes antibodi sangat penting [1,2,3,5,6].
Melalui metode diagnosa ini, dokter akan mampu membedakan antara hepatitis autoimun dengan hepatitis virus dan penyakit lain dengan kondisi yang mirip [1].
Tes darah atau tes antibodi ini juga berguna untuk mengetahui lebih jelas tipe atau jenis hepatitis autoimun yang pasien derita [1].
Biopsi hati/liver kemungkinan besar akan direkomendasikan oleh dokter kepada pasien [1,2,3,5,6].
Prosedur ini dilakukan dengan mengambil sampel jaringan organ hati pasien lalu dianalisa di laboratorium.
Tujuan biopsi hati adalah untuk mengonfirmasi bahwa kondisi gejala mengarah pada hepatitis autoimun sekaligus menentukan jenisnya.
Tinjauan Metode diagnosa yang diterapkan untuk memeriksa pasien adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan riwayat medis, tes darah serta biopsi hati.
Penanganan kondisi hepatitis autoimun umumnya meliputi :
Obat-obatan imunosupresan diresepkan oleh dokter dengan tujuan menghentikan serangan sistem imun terhadap sel-sel hati pasien [1].
Azathioprine dan 6-mercaptopurine adalah obat golongan imunosupresan yang efektif menangani hepatitis autoimun [1,2,3,5,6].
Namun karena imunosupresan bertujuan menekan respon imun, obat ini berpotensi menyebabkan kemampuan tubuh dalam melawan infeksi tidak maksimal.
Prednisone adalah golongan kortikosteroid yang umumnya diresepkan dokter untuk mengatasi radang pada organ hati [1,2,3,5,6].
Penderita umumnya harus mengonsumsi obat ini selama kurang lebih 18-24 bulan atau bahkan lebih agar mampu meminimalisir risiko kambuhnya gejala hepatitis autoimun [5].
Hanya saja, berkonsultasilah dengan dokter mengenai kemungkinan-kemungkinan efek samping prednisone.
Penggunaan prednisone mampu menimbulkan sejumlah efek samping seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kenaikan berat badan, hingga osteoporosis [12].
Jika hepatitis autoimun sudah sampai di tahap kerusakan hati atau kegagalan fungsi hati, maka pasien memiliki pilihan untuk menempuh prosedur transplantasi hati [1,2,3,5,6,10].
Meski demikian, tidak menutup kemungkinan untuk pasien dapat mengalami rekuren atau kekambuhan hepatitis autoimun bahkan pasca keberhasilan transplantasi hati [1].
Tinjauan Pemberian imunosupresan, pemberian kortikosteroid, dan transplantasi hati merupakan bentuk penanganan hepatitis autoimun pada umumnya.
Prognosis penderita hepatitis autoimun beragam, namun hal ini lebih ditentukan oleh penanganan yang didapat oleh penderita [1,5].
Diketahui bahwa 50% pasien hepatitis autoimun yang tak ditangani memiliki tingkat kelangsungan hidup 5 tahun, sedangkan 10% pasien lainnya memiliki tingkat kelangsungan hidup 10 tahun [1,2,5].
Pada pasien hepatitis autoimun yang memperoleh penanganan, 50% diantaranya mengalami kekambuhan sehingga memerlukan penanganan kembali [1].
Sementara itu, sekitar 60-80% pasien dapat benar-benar pulih setelah menjalani perawatan medis [1,2].
Tergantung perkembangan kondisi pasien setelah memperoleh pengobatan, biasanya beberapa pasien membutuhkan imunosupresan dengan penggunaan yang lebih lama [1].
Terdapat sekitar 10% pasien yang tidak berhasil ditangani dengan prednisone [1].
Sedangkan untuk penanganan hepatitis autoimun melalui transplantasi hati, diketahui sepertiga pasien mengalami rekuren atau kekambuhan pasca operasi [1].
Hepatitis autoimun yang tidak ditangani dengan cepat dan tepat mampu meningkatkan risiko komplikasi pada penderitanya.
Salah satu bentuk komplikasi yang dimaksud adalah sirosis, jaringan parut permanen yang terbentuk di jaringan hati [1,2,3,5,6,10].
Untuk risiko komplikasi terkait dengan kondisi sirosis, yaitu seperti berikut :
Sirosis yang muncul akibat hepatitis autoimun dapat berkembang menjadi kanker hati apabila tak memperoleh penanganan yang tepat [10].
Kerusakan pada sel-sel hati yang berkepanjangan tanpa adanya penanganan akan membuat fungsi hati terganggu [1,2,3,5,6,10].
Ketika hati sudah mengalami gagal fungsi, maka dokter akan merekomendasikan transplantasi hati agar kondisi teratasi.
Namun pada beberapa kasus, gagal fungsi hati mampu berakibat pada kematian [10].
Ascites atau penumpukan cairan pada bagian perut merupakan risiko komplikasi lainnya pada penderita hepatitis autoimun yang mengalami sirosis [1,2].
Jika dibiarkan, penumpukan cairan ini akan mengganggu pernapasan.
Varises esofagus atau pembesaran vena pada esofagus merupakan bentuk komplikasi lainnya yang dapat diwaspadai [1].
Ketika sumbatan terjadi pada sirkulasi darah ke pembuluh vena, darah kemudian beralih jalur ke pembuluh vena lainnya.
Masalahnya, darah kemudian akan ke pembuluh darah di esofagus (kerongkongan) dan perut.
Padahal, pembuluh darah memiliki dinding-dinding yang sangat tipis sehingga jika aliran darah yang melaluinya berlebihan, bukan lagi pembesaran vena yang terjadi, melainkan juga perdarahan [11].
Ketika perdarahan sudah terjadi pada esofagus atau perut karena pecahnya pembuluh darah, penderita harus memperoleh penanganan darurat segera [11].
Tinjauan Risiko komplikasi hepatitis autoimun berkaitan dengan sirosis yang kemudian mampu berakibat pada kanker hati, gagal hati, ascites dan varises esofagus apabila kondisi tak segera ditangani.
Hepatitis autoimun bukanlah sebuah kondisi yang dapat dicegah.
Namun mengenali tanda-tanda gejalanya dari awal dan memeriksakan diri secara dini akan meningkatkan peluang prognosis baik.
Dengan kondisi hepatitis autoimun terdeteksi dini, penanganan medis pun dapat diperoleh pasien secepatnya [13].
Tinjauan Belum diketahui cara menangani hepatitis autoimun, namun gejala yang terdeteksi dan tertangani secara dini setidaknya akan dapat meminimalisir risiko komplikasi.
1. Catherine D. Linzay; Bashar Sharma; & Sudha Pandit. Autoimmune Hepatitis. National Center for Biotechnology Information; 2020.
2. Dhruv Lowe & Savio John. Autoimmune hepatitis: Appraisal of current treatment guidelines. World Journal of Hepatology; 2018.
3. Nazarena Ferreyra Solari & Alejandra Claudia Cherñavsky. Chapter 31 Autoimmune hepatitis. Autoimmunity: From Bench to Bedside. Bogota (Colombia): El Rosario University Press; 2013.
4. Eugenia Lauret & Luis Rodrigo. Celiac Disease and Autoimmune-Associated Conditions. BioMed Research International; 2013.
5. Ashima Makol, Kymberly D. Watt, & Vaidehi R. Chowdhary. Autoimmune Hepatitis: A Review of Current Diagnosis and Treatment. Hindawi; 2011.
6. Albert J. Czaja. Diagnosis and Management of Autoimmune Hepatitis: Current Status and Future Directions. Gut and Liver; 2016.
7. M Cojocaru, MD, PhD, Inimioara Mihaela Cojocaru MD, PhD, & Isabela Silosi, MD, PhD. Multiple autoimmune syndrome. Maedica (Bucur); 2010.
8. Amanda Cheung, MD & Paul Kwo, MD. Viral Hepatitis Other than A, B, and C. Elsevier Public Health Emergency Collection; 2020.
9. Albert J. Czaja, MD. Autoimmune Hepatitis – Approach to Diagnosis. Medscape General Medicine; 2006.
10. Ana Lleo, Ynto S. de Boer, Rodrigo Liberal, & Massimo Colombo. The risk of liver cancer in autoimmune liver diseases. Therapeutic Advances in Medical Oncology; 2019.
11. Marcelle Meseeha & Maximos Attia. Esophageal Varices. National Center for Biotechnology Information; 2020.
12. Yana Puckett; Aishah Gabbar; & Abdullah A. Bokhari. Prednisone. National Center for Biotechnology Information; 2020.
13. Michael M. Phillips, MD, David Zieve, MD, MHA, & Brenda Conaway. Autoimmune hepatitis. Medline Plus; 2018.