Toxic productivity mungkin tidak terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat masa kini.
Istilah ini menggambarkan keinginan menjadi produktif yang cenderung tidak wajar karena bersifat berlebihan [1,2,3].
Seseorang yang selalu ingin produktif setiap saat dan lebih dari normalnya bisa dikategorikan sebagai produktif yang toxic [1,2,3].
Artinya, produktivitas berlebihan berisiko meningkatkan burnout pada orang tersebut hingga membuat kesehatan mental terganggu [1,2,3].
Ketika kesehatan mental terpengaruh, toxic productivity justru bisa menyebabkan penurunan tingkat produktivitas itu sendiri [1,2,3].
Daftar isi
Pemahaman Toxic Productivity
Seperti telah disebutkan, toxic productivity adalah keinginan bekerja atau berkegiatan seaktif mungkin yang bahkan cenderung ada jeda untuk beristirahat [1,2,3].
Jika pernah mendengar istilah workaholic, maka toxic productivity bisa dikatakan sebagai istilah lain untuk itu walau konteksnya sedikit berbeda [1,2,3,4].
Kecanduan kerja atau kecanduan melakukan aktivitas secara berlebihan sehingga terus-menerus menjadi produktif bukan suatu hal yang sehat [1,2,3].
Hidup perlu seimbang secara menyeluruh, baik itu pola makan, waktu istirahat, waktu olahraga, dan waktu beraktivitas biasa [1,2,3].
Keinginan untuk produktif setiap saat dan menggunakan segala cara agar bisa demikian sudah bukan lagi hal yang sehat [1,2,3].
Bekerja keras dan bekerja dengan rajin tentu bukan berarti harus menuju pada toxic productivity [1,2,3].
Seseorang dengan toxic productivity biasanya akan mencari-cari kegiatan atau proyek lain setelah menyelesaikan pekerjaan sebelumnya [1,2,3].
Jika tidak melakukan kegiatan lain, maka biasanya mereka akan dipenuhi rasa bersalah karena tidak banyak beraktivitas; jadi dengan kata lain, pengidap toxic productivity tidak pernah merasa cukup dalam kegiatannya sehari-hari [1,2,3].
Bila tidak menjadi produktif, maka pengidap akan merasa gagal saat itu juga; ia juga tidak fokus kepada apa yang sudah dicapai atau sudah dikerjakan, tapi fokus kepada apa yang belum ia lakukan [1,2,3].
Tanda-tanda Toxic Productivity
Untuk mengetahui apakah diri sendiri ataupun orang lain mengalami toxic productivity, berikut beberapa tanda atau ciri utama yang perlu diperhatikan :
- Memiliki obsesi untuk terus-menerus produktif
Produktif memang diperlukan dan dianjurkan dalam hidup agar setiap orang bisa berkembang [1,3].
Namun pada toxic productivity, pengidapnya akan melakukan secara berlebihan yang dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan; bahkan pengidapnya pun cenderung tidak memiliki hobi [1,3,5].
- Memiliki ekspektasi terlalu tinggi
Toxic productivity juga kerap kali ditandai dengan seseorang yang berekspektasi terlalu tinggi dan cenderung tidak realistis [1,3].
Pengidap toxic productivity umumnya memiliki target yang mustahil dicapai sehingga berakibat pada terlalu banyaknya hal yang harus dikerjakan demi mencapai target tersebut [1,3].
- Memiliki rasa bersalah saat tidak melakukan apapun
Manusia hidup memerlukan keseimbangan dalam hidupnya, beraktivitas secara produktif, beristirahat cukup, dan bermain-main dengan hal-hal yang menyenangkan [1,3].
Tapi pada toxic productivity, pengidapnya akan merasa sangat bersalah ketika ia sedang tidak melakukan apapun karena ia tidak bisa hanya berdiam diri dan seringkali menolak untuk beristirahat sejenak [1,3].
- Memiliki ketidakpuasan dalam hidup
Toxic productivity juga ditandai dengan ketidakpuasan dalam pencapaian yang sudah dihasilkan [1,3].
Pengidapnya sudah melakukan lebih dari cukup, namun ia tidak mudah merasa puas dan akan terus melakukan hal-hal berikutnya untuk tetap produktif walau terkadang tidak begitu perlu [1,3].
Perbedaan Toxic Productivity, Hustle Culture dan Workaholic
Sepintas tampak sama antara toxic productivity, hustle culture, dan workaholic, namun jika ditelaah lebih dalam, ketiganya sedikit berbeda [1,3].
Toxic productivity membuat seseorang berpikir bahwa ia harus terus-menerus mengembangkan diri (tidak ada kata berhenti dan cukup) di mana pikiran seperti ini salah namun bisa menimbulkan rasa bersalah jika tidak melakukannya [1,2,3].
Hustle culture merupakan sebuah budaya di mana seseorang meyakini bahwa bekerja keras adalah hal paling penting yang harus dilakukan dalam hidup [6].
Sementara itu, workaholic adalah orang-orang yang suka lupa waktu dalam bekerja karena mereka begitu menikmatinya tanpa mengindahkan aspek kehidupannya yang lain [4].
Cara Mengatasi Toxic Productivity
Toxic productivity dapat diatasi, yakni dengan beberapa langkah seperti berikut.
- Menyadari tanda-tandanya
Pengidap perlu menyadari dari awal bahwa dirinya sedang mengalami kondisi toxic productivity agar dapat segera mengatasi [1,2,3].
Bila merasa bersalah ketika sedang berdiam diri, terutama saat sedang beristirahat usai melakukan pekerjaan atau aktivitas tertentu, maka hal ini bisa jadi merupakan tanda utama toxic productivity [1,2,3].
- Menggunakan waktu beristirahat dengan baik
Toxic productivity adalah ketika seseorang berpikir untuk bisa melakukan kegiatan apa lagi setiap usai menyelesaikan aktivitas atau pekerjaannya [1,2,3].
Bahkan saat akhir pekan atau waktu libur dan senggang, pengidap toxic productivity tetap akan merencanakan banyak hal tanpa jeda [1,2,3].
Bila demikian, sudah saatnya untuk menggunakan waktu istirahat sebaik mungkin; memaksakan diri tetap produktif dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik [1,2,3].
- Melakukan aktivitas secara efisien dan efektif
Mengerjakan segala aktivitas untuk tetap produktif bisa dilakukan dengan efektif dan efisien daripada hanya sekadar melakukan banyak hal berat tanpa jeda [1,2,3].
Jika dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cara lebih mudah dan praktis, maka lakukan supaya tidak memakan banyak waktu dan tenaga [1,2,3].
- Merawat diri
Produktif dengan mengerjakan hal-hal berat bukan suatu hal yang baik bila dilakukan berlebihan [1,2,3].
Gunakan waktu untuk menyenangkan, mengapresiasi, dan merawat diri, seperti bersantai di sore hari, melakukan olahraga, mengemil usai bekerja, dan beristirahat pada waktu jeda usai bekerja [1,2,3].
- Menerapkan professional detachment
Professional detachment merupakan istilah pemisahan profesional di mana tetap melakukan pekerjaan sebaik mungkin sampai selesai, namun tidak terikat pada pekerjaan tersebut [1,2,3].
Dengan kata lain, pisahkan dengan baik antara kehidupan pribadi dan pekerjaan/profesional supaya memiliki kehidupan sehat dan seimbang [1,2,3].
Apabila merasa bahwa diri sendiri sedang mengalami toxic productivity, datang kepada psikolog akan mempermudah dalam mengatasi tanda-tandanya secara tepat.