7 Perbedaan Psikopat dan Sosiopat

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Psikopat dan sosiopat pada dasarnya merupakan dua jenis gangguan kepribadian antisosial yang tampak mirip namun sebenarnya tentu berbeda dari beberapa sisi [1,2].

Keduanya memiliki perbedaan dari segi otak, kepribadian, dan perilaku [1,2,5,6].

1. Pengertian

Mulai dari pengertiannya, psikopat dan sosiopat adalah dua hal berbeda.

Psikopat adalah istilah untuk seseorang yang tidak berperasaan, tidak memiliki hati nurani dan cenderung tak memiliki emosi [1,2,3].

Sementara itu, sosiopat adalah istilah untuk seseorang yang memiliki sikap atau perilaku antisosial karena memiliki kecenderungan tak menunjukkan empati [1,2,4].

Sosiopat bersikap manipulatif, impulsif, serta sama sekali tidak memedulikan benar dan salah [1].

2. Penyebab

Penyebab seseorang menjadi seorang psikopat belum diketahui secara pasti, namun gangguan kepribadian yang dialami saat masih usia anak-anak dapat menjadi faktor risiko utama [3,5]].

Faktor lain seperti riwayat pelecehan, kekerasan hingga penelantaran sewaktu masih anak-anak pun dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi psikopat [3,5].

Laki-laki lebih rentan menjadi seorang psikopat daripada perempuan, terlebih dengan riwayat anggota keluarga yang juga memiliki gangguan mental atau gangguan kepribadian antisosial [3,5].

Umumnya pun, seseorang menjadi psikopat karena faktor reaksi senyawa kimiawi otak serta genetik yang tak seimbang [3,5].

Faktor lingkungan dan pengalaman traumatis memang seringkali menjadi faktor risiko, namun terjadinya masalah pada otak dapat memengaruhi cara berpikir seorang psikopat [3,5].

Dalam hal moral dan etika, psikopat memiliki kerangka berpikir yang rata-rata tidak tepat karena pada dasarnya memiliki otak yang berbeda dari orang lain pada umumnya [3,5].

Ketika pada bagian otak terdapat lesi, terutama bagian otak yang berfungsi sebagai pengatur rasa takut, penyesalan dan penghakiman, maka seseorang akan kehilangan kemampuan untuk merasa takut, menyesal, dan merasa bersalah [3,5].

Hal ini berpengaruh pada seseorang yang kemudian menjadi psikopat, melakukan tindak kejahatan secara keji tanpa takut dan sedikit pun rasa bersalah [3,5].

Belum diketahui juga penyebab pasti seseorang menjadi sosiopat, namun pengalaman traumatis (kekerasan atau pelecehan) sewaktu anak-anak serta faktor keturunan (anggota keluarga memiliki gangguan mental atau gangguan kepribadian antisosial) dapat menjadi faktor peningkat risiko [6].

Seseorang menjadi sosiopat selain karena faktor pengalaman traumatis, cacat otak bawaan seringkali dapat menjadi alasan yang mendasari [6].

Bahkan seseorang yang sedari kecil tidak diasuh dengan pola asuh benar oleh orang tuanya, maka semakin tumbuh dewasa, hal tersebut akan berpengaruh pada perkembangan karakter serta kepribadiannya [6].

3. Kepedulian dan Kemampuan Bersosialisasi

Dari segi kepedulian terhadap orang lain serta cara bersosialisasi, biasanya seorang psikopat lebih pandai berpura-pura [1,2,3,5].

Psikopat dapat memainkan emosi lawan bicaranya atau orang-orang di sekitarnya dengan bersandiwara, berpura-pura peduli kepada mereka [1,2,5].

Itulah mengapa psikopat tampak seperti orang normal karena pandai berbaur dan kemampuan penempatan diri di masyarakat sangat tinggi [1,2,5].

Karena kecerdasan seorang psikopat dan sifatnya yang manipulatif, orang-orang yang berinteraksi dengan seorang psikopat akan lebih mudah lengah dan terpikat [1,5].

Sedangkan pada orang-orang sosiopat, biasanya mereka akan secara terus terang mengatakan bahwa mereka tidak peduli terhadap perasaan orang lain [1,6].

Sosiopat sulit untuk berbaur di lingkungan sosial dan akan terlihat lebih menarik diri [1,6].

Sosiopat mementingkan diri sendiri dan menganggap orang lain tidak penting sehingga terkadang perbuatan jahat sosiopat sebenarnya adalah demi kepentingan mereka sendiri [1,6].

4. Keterikatan Emosional

Psikopat sangat pandai dalam menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya, termasuk diri yang sebenarnya tak peduli dengan orang lain [1,2,3,5].

Biasanya, psikopat mengalami kegagalan dalam menciptakan keterikatan emosional dengan orang yang ada di dekatnya [1].

Ini karena psikopat tidak mampu melihat dan juga menyadari kesulitan yang orang lain rasakan [1].

Sementara pada sosiopat, walau mereka secara jujur menyatakan ketidakpedulian mereka, mereka mampu membentuk keterikatan emosional [1].

Sosiopat membutuhkan waktu lebih lama karena kesulitan dalam menciptakan keterikatan emosional dengan orang-orang di sekitarnya; namun hal ini masih memungkinkan [1].

5. Perilaku

Psikopat seringkali menunjukkan perilaku yang normal seperti orang lain pada umumnya meskipun seringkali tampak berhati dingin.

Sementara itu, sosiopat lebih terang-terangan dalam berperilaku temperamen, mudah marah dan cenderung impulsif.

Sosiopat lebih mudah marah dan akan menunjukkannya secara meluap-luap, berbeda dari psikopat yang lebih dingin.

Sosiopat bahkan menyadari tindakan dan perilakunya yang demikian, namun menganggapnya sebagai hal normal dan biasa.

6. Kehidupan Sehari-hari

Psikopat dari luar tampak memiliki kehidupan normal dan mereka dapat menjaganya tetap demikian [1].

Kehidupan normal ini juga sebenarnya psikopat gunakan sebagai kedok untuk mereka bisa berbuat kriminalitas [1].

Sementara itu, sosiopat cenderung tidak mampu menjaga kehidupan normalnya karena terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan keluarga dan pekerjaan [1].

7. Arogansi

Psikopat identik dengan tindak kejahatan yang dilakukan tanpa perasaan dan dengan naluri predator [1,2,3,5].

Hanya saja, mereka dengan mudah mengendalikan diri, merupakan pengontrol emosi yang handal [1,2,3,5].

Sementara pada sosiopat, mereka di kehidupan sehari-hari akan cenderung tidak ingin terlalu dekat apalagi terikat dengan orang lain [1,6].

Sosiopat lebih suka menyendiri atau mengasingkan diri, namun juga lebih sering sembrono, kehilangan kesabaran, bersikap spontan, dan labil [1,6].

Demikian sejumlah perbedaan secara umum antara psikopat dan sosiopat yang dapat dipahami; namun untuk pemahaman dan diagnosa lebih dalam mengenai kedua kondisi tersebut, diperlukan konsultasi dan diskusi dengan seorang psikolog [1,2].

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment