Dermatofibroma atau Fibrous hystocytoma adalah salah satu jenis tumor jinak yang banyak ditemukan di dunia dermatologis. Universitas California mencatat terdapat 10.561 kasus dermatofibroma selama 10 tahun terhitung dari 2003-2013. [1]
Kasus penyakit tumor kulit jenis ini cenderung meningkat pada sejumlah negara seperti Amerika, Australia, dan Inggris. Indonesia diketahui memiliki lebih sedikit kasus dermatofibroma. Namun, edukasi terhadap penyakit ini tetap diperlukan mengingat kasus dermatofibroma berpotensi untuk berkembang ke stadium yang lebih tinggi. [2]
Daftar isi
Apa itu Dermatofibroma?
Dermatofibroma adalah tumor jinak yang terbentuk dari berbagai macam sel seperti fibroblast disertai pembuluh darah dan penumpukan kolagen tidak beraturan pada jaringan kulit.
Tumor jinak pada jaringan kulit ini dapat muncul dalam bentuk bulatan pada berbagai area dan sering terjadi pada orang dewasa dengan kisaran umur 20-40 tahun.
Umumnya, dermatofibroma timbul pada daerah bawah paha, punggung/bagian depan tubuh, dan lengan. Pada beberapa kasus, dermatofibroma juga dapat muncul pada leher dan wajah. [1]
Berikut di bawah ini merupakan fakta-fakta mengenai dermatofibroma: [3] [4] [5] [6]
- Dermatofibroma umumnya tidak berbahaya.
- Umumnya dermatofibroma bersifat tumor jinak dan kemungkinan tumor tumbuh setelah diangkat sangat kecil (< 5%). Umumnya tumor ini dapat tumbuh namun dalam laju yang lambat dan tidak mengganggu.
- Wanita lebih berpotensi mengidap dermatofibroma dibanding pria.
- Diketahui bahwa penyakit ini tidak memiliki dominansi pada ras dan daerah tertentu namun dermatofibroma lebih sering terjadi pada wanita. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa potensi wanita lebih mengalami dermatofibroma lebih tinggi 2x lipat dibanding pria.
Jenis-Jenis Dermatofibroma
Berdasarkan sebuah penelitian dari 181 pasien di rumah sakit Garcia de Orta (Portugal), terdapat beberapa jenis dermatofibroma lain terdapat selain dermatofibroma umum (80%). Jenis dermatofibroma dikarakterisasi berdasarkan hasil histopatologinya; [7]
- Aneurysmal fibrous histiocytoma
Terjadi pada 2% pasien dengan ciri warna nodul yang bewarna cokelat disertai kebiruan. Berdasarkan karakterisasi jaringan, ditemukan pendarahan tidak teratur pada jaringan dengan dermatofibroma jenis ini. Dermatofibroma jenis aneurisme diketahui memiliki kedalaman hingga daerah kutan.
- Epitheloid fibrous histiocytoma
Terjadi pada 2.6% pasien yang ditandai dengan warna kemerahan pada nodul. Hasil karakterisasi jaringan menunjukan adanya lesi yang terbatas pada daerah papiler.
- Hemosiderotic fibrous histiocytoma
Terjadi pada 5.7% pasien dan umumnya muncul sebagai hasil perkembangan dari dermatofibroma jenis aneurisme. Hasil karakterisasi jaringan dermatofibroma ini juga mirip dengan jenis aneurisme. Namun, kedalaman dermatofibroma tipe ini mencapai daerah subkutan.
- Cellular fibrous histiocytoma
Terjadi pada 2.1% pasien dan diketahui lebih sering muncul pada daerah wajah, telinga, tangan, dan kaki. Tingkat keberulangan dermatofibroma jenis ini tergolong tinggi yaitu 26%.
- Atrophic fibrous histiocytoma
Terjadi pada 1% pasien dan diketahui sebagai perkembangan dari dermatofibroma umum. Serat elastis yang padat di sekitar pembuluh darah menyebabkan atrofi dermis.
- Lipidized fibrous histiocytoma
Terjadi pada 2.1% pasien dan biasanya lebih sering muncul pada pergelangan kaki. Ukuran dermatofibroma jenis ini biasanya lebih besar dibanding jenis lain.
- Clear cell fibrous histiocytoma
Dermatofibroma ini tergolong sangat jarang terjadi dan sulit untuk dievaluasi secara histologi. Berdasarkan kedalaman penetrasi, dermatofibroma jenis ini dapat tumbuh pada daerah dermis dan subkutan.
Penyebab Dermatofibroma
Pada dasarnya kemunculan dermatofibroma disebabkan oleh pertumbuhan sel berlebih dari berbagai jenis sel dalam lapisan kulit.
Namun, penyebab pertumbuhannya hingga saat ini, belum diketahui secara pasti dan muncul secara spontan tanpa disadari.
Namun, beberapa penelitian menyebutkan trauma kulit yang disebabkan luka dan gigitan serangga dapat menimbulkan dermatofibroma. [6]
Gejala Dermatofibroma
Dermatofibroma biasanya tidak memiliki gejala khusus. Namun, umumnya keberadaan tumor jinak ini dapat diamati dengan kemunculan nodul keras (jaringan yang tumbuh secara tidak normal) berwarna cokelat, merah muda, atau menyurapi warna kulit dengan diameter 0,3 cm-1 cm.
Jika ujung lesi ditekan, pada bagian tengah nodul biasanya akan muncul “dimple sign” atau sebuah lesung. Pada beberapa kasus, penderita dermatofibroma dapat merasakan gatal pada area tepi nodul atau nyeri saat nodul tertekan. [4] [6] [8]
Umumnya dermatofibroma tumbuh dengan laju yang sangat lambat dan tidak mengganggu. Namun, jika laju pertumbuhan nodul dermatofibroma sangat cepat, nodul membesar (> 3 cm) dan sakit, atau tumbuh pada area yang mengganggu, pasien dapat memeriksakan diri ke dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut. [4]
Risiko dan Komplikasi Dermatofibroma
Pada beberapa kasus penderita autoimun seperti lupus profundus dan sistem imun lemah seperti penderita HIV dan leukimia dapat mengalami multiple eruptive dermatofibroma, dimana dermatofibroma muncul lebih dari satu titik.
Studi literatur menyebutkan kemungkinan penderita lupus mengalami perubahan senyawa growth factor dan pro-inflamasi pada sel fibroblast dalam kulit sehingga menimbulkan perubahan laju proliferasi sel fibroblast itu sendiri. [9]
Walaupun jarang terjadi, terdapat kemungkinan metastasis pada pasien pengidap dermatofibroma. Terlebih lagi, hingga saat ini belum ada indikator pasti untuk memprediksi kemungkinan metastasis pada pasien dermatofibroma. [8]
Deteksi Dini dan Diagnosis Dermatofibroma
Observasi visual
Diagnosis dapat dilakukan dokter dengan melakukan observasi visual menggunakan teknik palpasi untuk melihat tanda “dimple sign”. [6]
Dermoskopi
Dokter juga dapat melakukan tindakan non-invasif lanjutan menggunakan dermoskopi. Alat dermoskopi dilengkapi dengan kaca pembesar (perbesaran 10x) untuk memperjelas penampakan struktur kulit. Alat ini dapat menampilkan area dermatofibroma dengan bagian tengah berwarna putih yang dikelilingi warna pigmen. [10]
Biopsi juga dapat dilakukan untuk memastikan jenis sel kanker yang tumbuh pada nodul. Hal ini diperlukan untuk mencegah kesalahan diagnosis karena pada beberapa kasus dermatofibroma memiliki gejala yang mirip dengan jenis tumor kulit lainnya. [3] [6]
Pada tahap ini, dokter akan mengambil sampel kulit pasien untuk dicek di laboratorium menggunakan mikroskop. Hasil biopsi akan memastikan ciri-ciri jaringan dermatofibroma seperti: [4]
- Penebalan kolagen (Guillou 2010).
- Luka pada jaringan dermis (Guillou 2010).
- Pola pertumbuhan storiform (sel seperti fibroblas yang memanjang dan berkumpul seperti pusaran air) (Guillou 2010).
- Keberadaan foamy macrophages.
Cara Mengobati Dermatofibroma
Pada dasarnya tidak ada pengobatan untuk menghilangkan dermatofibroma selain operasi pengangkatan jaringan tersebut. Namun pada kondisi ini, luka yang dihasilkan dalam operasi dapat berbekas dan ukurannya dapat lebih besar dari nodul itu sendiri.
Beberapa metode lain disebutkan dapat menyamarkan nodul, antara lain: [8] [11] [12] [13]
Terapi ini dilaporkan dapat meratakan penonjolan kulit yang disebabkan oleh dermatofibroma. Namun perawatan ini dilaporkan juga dapat meninggalkan bekas luka. Terapi ini menggunakan nitrogen cair untuk menghancurkan jaringan dermatofibroma.
Sebagai konsekuensi, akan terdapat beberapa jaringan normal yang terpapar nitrogen cair dan ikut rusak. Oleh karenanya, muncul inovasi untuk melakukan cryotherapy secara spesifik hanya kepada jaringan target dermatofibroma yang disesuaikan berdasarkan hasil biopsi.
- Pulsed dye laser
Gelombang foton yang dikeluarkan oleh alat ini dapat berinteraksi dengan oxyhemoglobin dan deoxyhemoglobin yang memicu fototermolisis yang spesifik untuk mengatur komposisi kolagen dan elastin di dalam jaringan dermis. Pengobatan ini diketahui dapat mengurangi ukuran, volume, dan pigmen pada nodul dermatofibroma.
Metode ini sudah diuji coba pada 18 pasien berkulit putih dengan hasil yang aman dan efektif untuk perawatan dermatofibroma. Penelitian lain juga menyebutkan sebanyak 11 dari 15 pasien puas dengan metode ini.
Dikarenakan gejala penyakit ini belum diketahui secara jelas, belum ada cara pencegahan yang dapat dilakukan, selain mencegah kulit terluka atau digigit serangga. [6]