Keluarga Toksik: Ciri-Ciri, Penyebab dan Cara Mengatasi

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Perdebatan di antara anggota keluarga merupakan hal yang wajar, sebab setiap orang memiliki perbedaan. Keluarga yang sehat dan penuh kasih dapat mengatasi perdebatan, konflik, dan perbedaan dengan saling percaya, menghargai, dan berpikiran terbuka[1].

Di dalam keluarga yang sehat dan penuh kasih, anggota diizinkan dan didukung untuk memiliki pemikiran sendiri, untuk mengajukan pendapat, dan untuk hidup dengan cara masing-masing. Sedangkan keluarga toksik bekerja sebaliknya[1].

Apa itu Keluarga Toksik?

Keluarga toksik atau toxic family ialah keluarga dengan anggota yang memperlakukan satu sama lain dengan cara yang merusak. Anggota keluarga toksik cenderung menimbulkan pola pikir negatif pada anggotanya[2].

Keluarga toksik penuh dengan pola kekerasan, diskriminasi, manipulasi, kekerasan verbal, dan sebagainya. Sering kali anggota keluarga mengizinkan perilaku narsisisme atau psikopat dari salah satu anggota[1].

Keluarga sehat tidak selalu ideal atau sempurna. Mereka dapat sesekali mengalami masalah dan memiliki beberapa ciri keluarga toksik, tapi tidak selalu demikian[3].

Keluarga sehat cenderung akan kembali ke fungsi normalnya setelah krisis keluarga berlalu. Sebaliknya, pada keluarga toksik, masalah cenderung berlangsung lama karena anak-anak tidak mendapatkan kebutuhannya seperti seharusnya, sehingga perilaku patologis negatif cenderung dominan bahkan dalam kehidupan mereka setelah dewasa[3].

Ciri-ciri keluarga sehat[3]:

  • Mengizinkan dan menerima ekspresi emosional dari karakter dan ketertarikan individu
  • Peraturan jelas dan konsisten dalam keluarga dan ikatan antar anggota dihormati
  • Secara konsisten memperlakukan anggota dengan hormat dan membangun suatu tingkat fleksibilitas untuk memenuhi kebutuhan individu
  • Semua anggota keluarga merasa aman (tidak memiliki ketakutan dari kekerasan emosional, verbal, fisik, atau seksual)
  • Orang tua merawat anak-anak dengan kepedulian (tidak mengharapkan anak untuk memikul tanggung jawab orang tua)
  • Tanggung jawab diberikan sesuai usia, fleksibel, dan memaafkan kesalahan anak
  • Tidak menuntut kesempurnaan yang tidak terjangkau, tidak realistik, di samping secara potensial tumpul dan hampa

Keluarga toksik atau disfungional dapat sulit untuk dikenali, terutama jika anak masih berada di dalamnya[2, 4].

Ciri-Ciri Keluarga Toksik

Berikut ciri-ciri umum dari keluarga toksik:

1. Kurangnya empati, penghargaan, dan ikatan antar anggota keluarga

Anak dapat merasa tidak dicintai atau dihargai, dan merasa dipandang rendah atau diremehkan. Keluarga toksik dapat mencemooh atau merendahkan pilihan anak, menyerang kelemahan anak, dan mengikis kepercayaan dirinya[4].

2. Anak diharapkan untuk memenuhi standar yang tidak realistik

Dalam keluarga normal, anak biasanya diberikan tugas yang sesuai dengan kemampuan dan tidak menyita waktu anak, seperti membantu mencuci piring. Namun pada keluarga toksik, anak diberikan tugas yang tidak wajar atau berlebihan[4].

3. Permintaan yang terkesan memaksa

Anak dalam keluarga toksik dapat diminta untuk[4]:

  • Menjaga atau mendisiplinkan adiknya atau lebih banyak merawat adiknya daripada orang tua
  • Bertanggung jawab untuk memasak atau keperluan rumah tangga lain yang belum bisa dilakukan dengan baik dan aman oleh anak
  • Memberikan dukungan emosional seakan anak adalah pasangan atau orang dewasa

4. Anak mendapat kritikan keras

Umumnya orang tua sesekali mengkritik atau menegur pada perilaku anak-anak mereka. Kritik sewajarnya ditujukan pada perilaku anak bukan pribadi anak. Namun keluarga toksik terlihat seakan tidak pernah puas[2, 4].

Hal ini dapat menimbulkan frustasi karena  membuat anak merasa rendah diri, tidak diinginkan, atau tidak dicintai.

Pada kebanyakan kasus, penyebabnya ialah pelampiasan, di mana orang tua merasa tidak dapat mencapai tujuan mereka setelah memiliki anak, dan mencoba untuk hidup melalui anak-anak mereka. [2]

Sehingga orang tua cenderung membentuk hidup anak untuk menjadi seperti hidup yang dulunya mereka harapkan[2].

5. Orang tua mengontrol anak

Kegiatan orang tua yang mengasuh berbeda dengan mengontrol anak. Ketika tindakan orang tua menjadi keras atau menyebabkan ketakutan, maka tindakan tersebut termasuk mengontrol.

Keluarga toksik bukan tempat dengan kebaikan dan penerimaan, sehingga kadang tidak mengizinkan perubahan pada diri anak[2].

6. Kebutuhan anak tidak terpenuhi

Anggota keluarga yang suportif hendaknya memenuhi kebutuhan dasar anak seperti:

  • Mengatur batasan
  • Memberikan kedisiplinan dan kasih sayang
  • Merawat kesehatan dan kesejahteraan anak
  • Memastikan anak mendapatkan pendidikan
  • Memastikan anak mendapatkan makanan dan pakaian yang memadai

Sementara faktor-faktor lain dapat terlibat, keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut secara tetap menandakan dinamika keluarga toksik[4].

7. Perilaku kekerasan diterima atau ditutupi

Kekerasan dalam keluarga dapat bervariasi mulai dari kekerasan emosional hingga kekerasan fisik dan seksual.

Di dalam keluarga toksik, perilaku kekerasan tidak disebut kekerasan. Sebaliknya, anak dapat dibuat merasa bahwa dirinya layak menerima tindak kekerasan.

Anak mungkin diberitahu untuk tetap diam mengenai kekerasan yang dialami untuk menjaga reputasi[5].

8. Terdapat banyak pertikaian dalam keluarga

Keluarga toksik menjadi demikian untuk suatu alasan dan sering kali alasan tersebut adalah orang tua.

Jika orang tua memperlakukan semua anak secara sama dan memberikan kasih sayang tanpa menahan atau membuat situasi di mana anak harus bertindak dengan cara tertentu untuk berpikir mereka layak dicintai, maka kemungkinan besar tidak akan terjadi kecemburuan antar saudara.

Namun dalam keluarga toksik, anak dibuat merasa lebih baik atau lebih buruk dari saudaranya, yang mengarah pada pertikaian dan persaingan[5].

Penyebab Keluarga Toksik

Berikut beberapa hal yang dapat menjadi penyebab keluarga toksik[3]:

  • Orang tua yang kasar

Salah satu atau kedua orang tua memiliki riwayat pelanggaran kekerasan terhadap anak. Perilaku kekerasan dapat berupa fisik (memukul, menampar, meninju, atau kekerasan seksual) atau non-fisik (kekerasann verbal dan emosional).

  • Orang tua yang mengontrol dengan ketat atau otoriter

Orang tua yang mengontrol ketat dan tidak memberikan ruang bagi anaknya untuk membuat pilihan atau keputusan sendiri sesuai usia anak. Anak dapat merasa kesal dan kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan mereka sendiri.

  • Orang tua yang lembut

Orang tua yang secara sadar atau tidak sadar bertindak terlalu lembut, tidak berhasil menerapkan peraturan, regulasi, dan batasan dalam keluarga.

  • Keluarga yang besar

Orang tua mungkin tidak dapat memberikan perhatian untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan semua anggota keluarga yang terlalu besar.

  • Gangguan kepribadian di antara anggota keluarga

Adanya gangguan kepribadian yang terlambat didiagnosis di antara anggota keluarga dapat mempengaruhi dinamika normal keluarga, terutama jika dialami orang tua.

  • Anak yang sakit kronis atau disabilitas di dalam keluarga

Adanya anak yang sakit dapat memberikan efek merugikan pada seluruh anggota keluarga. Kepedulian dapat dipusatkan pada anak yang sakit saja sehingga anggota keluarga lain dapat merasa diabaikan.

  • Peristiwa kemalangan

Kemalangan yang dapat mempengaruhi dinamika keluarga meliputi hubungan orang tua, perceraian, trauma, kematian, atau penghentian kerja tiba-tiba.

  • Nilai, budaya dan etnis keluarga

Budaya dan etnis dapat menyebabkan efek negatif terhadap kepercayaan dalam kasus keluarga seperti peran gender, cara mengasuh, dan kekuatan setiap anggota keluarga.

  • Dinamika dari generasi disfungsional sebelumnya

Keluarga toksik yang dialami dari generasi sebelumnya dapat berdampak pada generasi selanjutnya.

  • Tidak adanya orang tua

Tidak adanya salah satu atau kedua orang tua baik secara sengaja atau tidak, menyebabkan orang tua gagal memenuhi tanggung jawab dan mengabaikan kebutuhan emosional atau fisikal anak.

Hal ini dapat mengakibatkan anak secara otomatis mengambil peran orang tua dan bertanggung jawab atas adiknya yang lebih kecil.

  • Orang tua dengan ketergantungan obat

Ketergantungan obat pada orang tua dapat berdampak pada terabaikannya kebutuhan fisik dan emosional anak. Selain itu anak yang terdampak berisiko lebih tinggi mengalami kekerasan fisik atau pelecahan seksual.

Tanda-Tanda Keluarga Toksik

Hubungan toksik ialah hubungan yang mana perilaku negatif seseorang dapat menyebabkan kerusakan emosional atau mempengaruhi cara seorang anak melihat dirinya sendiri[6].

Tanda pertama ketika terdapat hal tidak wajar dapat ditunjukkan dalam perilaku anak[3, 6]. Berikut beberapa hal yang dapat diperhatikan pada anak[6]:

  • Anak terlihat suka menyendiri
  • Anak tidak ingin pergi ke suatu tempat yang sebelumnya tidak masalah dikunjungi
  • Anak menangis dengan lebih mudah dari biasa, atau lebih sering
  • Anak tampak kurang bertenaga
  • Anak tidak tertarik pada hal-hal yang biasanya disukai
  • Anak mengalami sakit perut, sakit kepala, atau sakit lainnya
  • Anak melekat
  • Anak agresif atau lebih rewel dari biasa
  • Anak terlihat lebih khawatir dibanding biasanya
  • Anak lebih mengatur dari biasanya
  • Anak memperlakukan saudaranya secara berbeda

Setiap keluarga memiliki beberapa elemen disfungsi keluarga dari waktu ke waktu, karena tidak ada keluarga yang selalu sempurna setiap waktu[3].

Individu yang berasal dari keluarga toksik cenderung memiliki insidensi lebih tinggi pada gangguan perilaku. Berikut beberapa gejala awal dari keluarga toksik[3]:

  • Kepercayaan diri rendah dan menilai tanpa berbelas kasih pada orang lain dan diri mereka sendiri, sehingga anggota keluarga mencoba menyembunyikan rasa sakit dengan bertindak mengatur atau tidak menghargai
  • Perasaan terkucilkan dan tidak enak di sekitar sosok berwenang
  • Membutuhkan persetujuan penanya untuk memuaskan kekurangan mereka
  • Perasaan terintimidasi terhadap situasi marah dan kritik pribadi (merasa khawatir dan sensitif secara berlebihan)
  • Kurang tertarik terhadap orang-orang peduli secara sehat, sebaliknya mereka lebih cenderung mencari keluarga toksik lain secara tidak sadar
  • Kurang bertanggung jawab terhadap masalah mereka sendiri sehingga mereka bertindak dengan tanggung jawab berlebih atau tidak tanggung jawab berlebih.
  • Perasaan bersalah ketika mencurahkan perhatian pada diri sendiri, sebaliknya mereka terlalu peduli pada orang lain
  • Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan anak-anak mereka (perasaan ditolak, diremehkan, atau tertekan) dan biasanya tidak paham terhadap dampak tidak sehat di masa depan
  • Kepribadian mandiri atau dengan perasaan ketakutan tidak rasional dari penolakan atau pengabaian, sehingga mereka tetap dalam pekerjaan atau hubungan berbahaya atau mencegah diri untuk memasuki hubungan yang lebih sehat dan saling menghargai
  • Perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan menjadi penolakan terus menerus, isolasi, tidak terkendali dan rasa bersalah yang salah tempat
  • Kesulitan dalam berhubungan intim akibat kurangnya kepercayaan terhadap orang lain dan perasaan tidak aman
  • Kesulitan untuk memenuhi tugas dari awal hingga akhir dan memiliki keinginan kuat untuk mengendalikan

Dampak Keluarga Toksik pada Anak

Hubungan toksik dapat mengarah pada kecemasan, depresi, penyakit fisik, dan perasaan terkucilkan. Anak-anak dapat menjadi menyalahkan diri mereka atau merasa bersalah dan malu[3, 6].

Anak-anak terlahir dengan mengagumkan. Tugas orang dewasa terutama orang tua adalah untuk memastikan mereka mengetahuinya dan untuk meminimalkan efek dari siapa pun yang dapat mempengaruhi mereka merasa sebaliknya[6].

Keluarga toksik dapat memberikan dampak signifikan terhadap anak. Namun anak-anak tidak selalu dapat mengatakan ketika merasakan hal yang tidak wajar, terutama jika hal tersebut berkaitan dengan orang dewasa yang mereka hormati atau percaya.

Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga toksik diketahui memiliki satu atau lebih dari sifat berikut[3, 7]:

  • Pahlawan atau anak baik

Anak baik atau disebut juga sebagai anak bertanggung jawab dan pahlawan, memiliki karakter yang bijak dan lebih dewasa dibandingkan usianya. Biasanya ambisius dan secara terus menerus berjuang untuk menjadi lebih baik dan sukses.

Anak baik sering kali terlihat tenang dan dapat menangani situasi dengan baik, namun sebenarnya mereka diam-diam mengalami kesulitan dan menanggung beban kesedihan dari perilaku toksik orang tua.

Anak baik merasa takut menjadi seperti orang tua mereka sehingga belajar untuk bertingkah sebaliknya.

  • Pembuat masalah atau anak nakal

Pembuat masalah atau anak nakal sering kali pemarah dan defensif. Mereka mengutarakan kebenaran dengan memerankan masalah keluarga yang biasanya disangkal di rumah.

Anak nakal sering kali memberontak, tidak dapat dipercaya, dan sinis, tapi di sebenarnya mereka merupakan yang paling sensitif secara emosional.

Anak nakal telah tersakiti dan dirusak oleh orang tua yang kasar dan dapat mengembangkan perilaku merusak diri sendiri.

  • Anak hilang

Anak hilang sering kali tidak terlihat (terabaikan) di dalam keluarganya. Mereka mencoba mengatasi masalah keluarga dengan menghilang dan memusatkan perhatian dengan membaca buku, melamun, atau menonton film.

Anak hilang jarang terlibat masalah dan terlihat seperti anak yang baik sehingga orang lain menduga mereka memiliki keluarga yang baik.

Anak hilang biasanya sangat pemalu dan menyukai memiliki ruang sendiri dan kesunyian. Mereka cenderung menjadi penyendiri karena mengalami kesulitan mengembangkan kemampuan sosial untuk berinteraksi dengan orang lain serta sering rendah diri.

  • Maskot

Maskot biasanya dikenali sebagai anak yang lucu, mereka selalu dapat menaikkan mood dengan lawakan atau pertunjukan yang menghibur.

Sering kali anak dengan karakter mascot merasa tidak berdaya mengenai masalah keluarga dan mencoba mengatasi dengan memecah kemarahan, tekanan dan konflik yang dialami dengan kesenangan dan lawakan. Meski demikian, maskot biasanya mengalami kecemasan dan depresi.

  • Pengemban atau pengurus

Pengemban sering kali membuat alasan untuk masalah ketergantungan obat atau alkohol dalam keluarga dan menyangkal bahwa mereka memiliki masalah.

Anak dengan karakter ini dapat menutupi masalah dalam keluarga dan membuat orang lain melihatnya sebagai keluarga bahagia.

Mereka menghindari rasa sakit akibat masalah sebenarnya dalam keluarga dan tidak tahu bagaimana untuk mengatasi masalah ketergantungan obat, sehingga bertingkah seolah semua baik-baik saja.

Cara Mengatasi Keluarga Toksik

Keluarga toksik biasanya tidak berubah atau mengalami pemulihan dengan mudah, atau setidaknya membutuhkan bantuan ahli[4].

Hal pertama yang perlu dilakukan ialah mengenali dan menerima bahwa orang tua atau keluarga bersifat toksik. Kesadaran bahwa kita hanya bisa mengendalikan perilaku diri kita sendiri, dan tidak bisa mengendalikan perilaku anggota keluarga lain. Kesadaran ini memungkinkan kita untuk mempertimbangkan kebutuhan pribadi sehingga kita dapat mulai mempelajari cara mengatasi keluarga toksik[2, 8].

Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluarga toksik:

  • Membuat batasan

Membuat batasan dan secara jelas menetapkan apa yang dapat kita terima dan tidak dapat dapat memberikan ruang untuk diri kita. Hal ini tidak berarti mengharuskan menjaga jarak, menghindar atau memutus hubungan dengan keluarga[8, 9].

Kita perlu mengumpulkan keberanian dan mulai membiasakan diri untuk berkata ‘tidak’ saat anggota keluarga melakukan atau mengatakan hal toksik. Perlu diingat bahwa batasan bukan mengenai benar atau salah.

Batasan pribadi akan bergantung pada sistem penilaian dan perspektif kita masing-masing dan dapat sangat berbeda antara satu orang dan lainnya. Batasan pribadi akan membantu dalam menjaga kesehatan mental individu yang berkaitan[1].

  • Hindari pemicu atau sumber perilaku toksik

Perilaku toksik dapat dipicu oleh topik tertentu. Jika anggota keluarga mulai membahas topik tersebut cobalah untuk memotong pembahasan secepat mungkin dan mengubah topik[9].

Pada beberapa kasus, perilaku toksik menjadi kebiasaan hidup karena tidak ada yang menetapkan standar untuk perilaku yang dapat diterima dalam keluarga.

Namun pada kasus tertentu, dapat disebabkan oleh suatu kondisi kesehatan, misalnya salah satu keluarga sakit. Pada kasus ini, berkonsultasi pada psikiater[2].

  • Tidak perlu mencoba mengubah perilaku toksik

Kita mungkin berharap bahwa suatu hari anggota keluarga toksik dapat menyadari perilaku mereka dan mengubahnya. Namun kita perlu mengingatkan bahwa hal tersebut di luar kendali kita. Perilaku toksik cenderung sulit diubah meski sudah dimintai untuk mempertimbangkan perspektif kita[4].

Anggota keluarga toksik dikenal dengan ketidakmampuan mereka untuk merefleksikan diri dan mengakui kesalahan. Mereka akan menyalahkan orang selain dirinya.

Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah tidak bertindak sesuai manipulasi mereka dan tidak membiarkan kekerasan mereka berdampak buruk pada diri kita[1].

  • Berhenti menyalahkan diri sendiri

Anak yang tumbuh dari keluarga toksik cenderung memiliki kebiasaan menyalahkan diri sendiri, dan sulit untuk mengubah kebiasaan tersebut. Kebiasaan tersebut muncul sebagai bentuk dari mekanisme pertahanan diri.

Namun, dengan makin dewasa, kita dapat melihat bahwa tidak semua hal adalah kesalahan kita. Perilaku keluarga toksik bukan tanggung jawab seorang anak[1].

  • Lebih peduli pada diri sendiri

Keluarga toksik dapat bersifat kronis sehingga dapat menjadi berat bagi anak yang terdampak. Beberapa orang mengatasinya dengan hidup mandiri dan terpisah dari keluarga, sehingga dapat membatasi interaksi.

Kita tidak harus menghabiskan setiap liburan bersama keluarga, dan dapat lebih memilih menghabiskannya dengan orang yang memberikan dukungan mental secara positif[2, 8].

  • Bicarakan dengan orang lain

Membicarakan masalah yang dialami dengan pihak ketiga dapat membantu mempertahankan kesehatan mental. Berbicara dapat membantu mengekspresikan frustasi dan kesulitan yang dialami.

Berkonsultasi dengan terapis atau psikiater dapat membantu memahami dampak yang dialami akibat keluarga toksik dan mengembangkan strategi penanganan yang efektif[4, 8].

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment