Perbedaan Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Stroke dapat diartikan sebagai penyakit yang terjadi akibat penyumbatan bahkan pendarahan pada pembuluh darah di otak sehingga mematikan sel atau jaringan tubuh dan menyebabkan kematian. Stroke biasanya terjadi pada orang-orang berusia 65 tahun ke atas, namun tidak menutup kemungkinan kelompok usia muda juga bisa terserang penyakit tersebut karena pola gaya hidup yang kurang sehat [4].

Pengertian Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

Stroke adalah penyebab utama kecacatan dan kematian kedua di dunia. Secara global, 68% dari semua stroke adalah iskemik dan 32% bersifat hemoragik [4,5].

Stroke hemoragik atau dalam bahasa ilmiahnya yaitu Hemorrhage stroke adalah jenis stroke yang paling membahayakan dan dikaitkan dengan morbiditas parah dan mortalitas yang tinggi. Ketika terjadi pendarahan, hemoglobin (Hb) yang dilepaskan dari eritrosit dalam hematoma otak memicu terjadinya kematian sel dan menyebabkan pembengkakan otak yang parah sehingga neuron mengalami kerusakan secara langsung [1].

Sementara itu, stroke non hemoragik atau dalam bahasa ilmiahnya yaitu Ischemic stroke adalah jenis stroke yang paling umum dan terjadi ketika pembuluh darah di leher atau otak tersumbat. Pasien dengan stroke non hemoragik kehilangan 190.0000 sel otak per menit, sekitar 14.000.000.000 koneksi saraf hancur setiap menit, dan 12 km (7,5 mil) serabut saraf hilang setiap menit [5].

Penyebab Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

Stroke hemoragik disebabkan oleh pendarahan ke otak oleh pecahnya pembuluh darah. Stroke hemoragik dibagi menjadi dua jenis pendarahan, yaitu pendarahan intraserebral (ICH) yang mengarah ke parenkim otak dan pendarahan subarachnoid (SAH) yang mengarah ke ruang subarachnoid [2].

Pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi, ginjal kronis, dan kolesterol yang tinggi lebih berisiko terkena stroke hemoragik. Selain itu, pasien yang mulanya terbiasa merokok dan mengonsumsi alkohol serta obat-obatan secara berlebihan dapat meningkatkan risiko stroke hemoragik [3].

Stroke non hemoragik disebabkan oleh penyumbatan pembuluh darah yang membatasi suplai darah ke otak. Stroke non hemoragik dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu stroke pembuluh besar, stroke pembuluh kecil atau stroke lacunar, dan stroke kardioembolik [5].

Usia, jenis kelamin, etnis, dan keturunan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya stroke non hemoragik dan dapat diidentifikasi pada pasien. Selain itu, riwayat penyakit sebelumnya seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung koroner, dan kolesterol yang tinggi dapat memperparah kondisi pasien yang mengalami stroke tersebut [5].

Gejala Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

Stroke hemoragik memiliki gejala seperti sakit kepala, muntah, dan penurunan kesadaran. Sakit kepala biasanya dialami oleh penderita yang mengalami pembekuan darah pada otak dalam skala besar [3].

Pasien dengan gejala muntah menunjukkan peningkatan tekanan dalam rongga kepala sehingga terjadi penggumpalan darah pada otak dan terjadi pendarahan. Sementara itu, pasien dengan gejala penurunan kesadaran biasanya mengalami peningkatan tekanan dalam otak dan apabila kondisinya parah dapat menyebabkan koma [3].

Stroke non hemoragik memiliki gejala seperti kehilangan keseimbangan, gangguan penglihatan, bicara cadel, dan kulit yang terlihat pucat. Sebagian besar stroke non hemoragik yang terlihat pada pasien dengan penyakit pada sistem peredaran darah adalah stroke kardioembolik [5].

Dampak dari stroke hemoragik dua kali lebih ganas sehingga lebih banyak kecacatan dan kematian daripada stroke non hemoragik. Seorang pasien dengan stroke akut, baik stroke hemoragik maupun non hemoragik harus diperiksa oleh dokter terlatih atau ahli saraf dalam waktu sepuluh menit setelah kedatangan ke ruang gawat darurat [5].

Penanganan Stroke Hemoragik dan Non Hemoragik

Pasien yang mengalami stroke hemoragik dengan tingkat yang parah dapat ditangani dengan cara osmotherapy dan operasi. Osmotherapy dilakukan ketika pasien memiliki skor tingkat kesadaran kurang dari delapan dan memiliki efek samping yang berpotensi mematikan [2].

Namun, osmotherapy mungkin tidak bermanfaat bagi pasien tertentu sehingga operasi akan menjadi rekomendasi terbaik untuk pasien stroke hemoragik. Setelah CT atau MRI mengonfirmasi adanya ketegangan pada otak, operasi diperlukan segera untuk menyelamatkan pasien dari tekanan dalam rongga kepala yang meningkat dengan cepat [2].

Untuk penanganan pasien yang mengalami stroke non hemoragik dapat ditangani dengan cara melakukan terapi aspirin dini dengan dosis 160 hingga 325 mg. Pada pasien dengan stroke non hemoragik akut, penggunaan aktivator plasminogen jaringan rekombinan IV (r-tPA) sangat direkomendasikan jika pengobatan dapat dimulai dalam waktu 3-4,5 jam dari timbulnya gejala [6].

Persamaan dari stroke hemoragik dan non hemoragik terletak pada metode yang digunakan untuk mengenali gejala kedua stroke tersebut. Metode tersebut yaitu metode 6S [5].

Metode 6S adalah sebagai berikut :

  1. Sudden (datangnya gejala secara tiba-tiba)
  2. Slurred Speech (berbicara cadel dan seolah-olah mabuk)
  3. Side (wajah, lengan, atau kaki atau ketiganya terlihat lemah)
  4. Spinning (vertigo)
  5. Severe (sakit kepala)
  6. Seconds (perhatikan waktu ketika merasakan gejala-gejala umumnya lalu bergegas ke rumah sakit) [5].

Mayoritas pasien yang mengalami stroke, baik karena pendarahan otak (stroke hemoragik) maupun pembekuan darah (stroke non hemoragik) memiliki tekanan darah tinggi baik di ambulans maupun saat masuk ke rumah sakit. Tekanan darah tinggi pada fase akut stroke dapat menyebabkan kecacatan bahkan kematian [7].

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment