Daftar isi
Apa Itu Terapi Desensitisasi?
Terapi desensitisasi atau desensitisasi sistematik juga dikenal dengan sebutan terapi eksposur atau terapi pemaparan [1,2,3,4].
Desensitisasi ini adalah satu jenis terapi yang mengombinasikan teknik relaksasi dengan paparan bertahap terhadap sumber penyebab gangguan mental, terutama kasus fobia [1,2,3,4].
Fobia sendiri adalah rasa takut berlebihan, irasional dan persisten terhadap suatu hal yang biasanya ditandai dengan kecemasan berlebihan hingga gejala serangan panik [1,2,3,4].
Semakin berkembangnya gejala, akan lebih sulit mengendalikannya sehingga dibutuhkan psikoterapi untuk mengendalikan sekaligus mengurangi gejala [1,2,3,4].
Seperti istilahnya, terapi desensitisasi atau terapi eksposur bekerja dengan cara terapis mengekspos pasien kepada pemicu fobia yang dialami [1,2,3,4].
Cara Kerja Terapi Desensitisasi
Terapi desensitisasi pada dasarnya memiliki tiga langkah dalam cara kerjanya.
Berikut ini adalah teknik-teknik dan langkah dalam terapi desensitisasi yang dapat dikenali sebelum menjalani terapi ini.
1. Teknik Relaksasi
Tahap pertama adalah teknik relaksasi di mana latihan untuk tahap ini pun masih terbagi menjadi beberapa metode [1,2,3,4].
Selama berada pada tahap ini, pasien perlu mempelajari sejumlah teknik relaksasi berikut :
- Pernafasan Diafragma
Teknik ini merupakan teknik pernafasan yang berfokus menggunakan diafragma [1,3].
Pengaturan nafas dapat dilakukan dengan cara menarik nafas dalam-dalam secara perlahan melalui hidung lebih dulu [1,3].
Setelahnya, tahan nafas selama 1-2 detik sebelum mengembuskannya sama perlahan melalui mulut [1,3].
- Visualisasi
Pada teknik ini, pasien akan diminta berkonsentrasi hanya membayangkan hal-hal yang merilekskan diri [1,2,3].
Gunakan pikiran dan fokus pada detail-detail sensorik seperti aroma dan penglihatan [1,2,3].
Terapis seringkali menggunakan teknik guided imagery di sini, yakni dengan menggambarkan suatu suasana atau situasi tertentu [3,5].
Pasien kemudian diminta berkonsentrasi membayangkan gambaran yang dikatakan oleh terapis tersebut [3,5].
- Relaksasi Otot Progresif
Pada teknik ini, pasien mempelajari bagaimana menegangkan dan merilekskan otot secara bergantian [3].
Terapis akan membimbing agar seluruh otot pasien tidak lagi mudah tegang [3].
Melalui teknik ini, pasien nantinya akan lebih mudah pula dalam membedakan otot rileks dan otot tegang [3].
Pemahaman ini penting agar pasien dapat mendeteksi sendiri kapan otot-otot tubuh terasa kaku dan tegang sebagai reaksi takut dan cemas [3].
Jika sudah mudah menyadari, maka pasien dapat mencoba mengembalikan kondisi otot seperti semula, yakni rileks dan tenang [3].
- Meditasi
Teknik ini juga disertai dengan mindfulness, yakni jenis terapi yang akan membantu perasaan serta pikiran pasien lebih peka saat sedang berhadapan dengan sumber ketakutan atau kecemasan [1,3].
Keduanya, baik meditasi maupun teknik mindfulness dapat pasien andalkan untuk menenangkan dan memfokuskan diri saat berada pada situasi yang memicu kecemasan [1,3].
2. Teknik Pengembangan Hirarki Pemicu Ketakutan
Pengembangan hirarki pemicu ketakutan dilakukan setelah pasien selesai mempelajari teknik relaksasi [1,2,3,4].
Dalam hal ini, terapis akan meminta pasien memberikan skor terhadap pemicu ketakutan dari yang terendah (reaksi takut paling rendah) dan tertinggi (reaksi takut paling tinggi) [1,2,3,4,6].
Terapis akan menyediakan berbagai macam pemicu dan pasien perlu memberi skor kepada masing-masing pemicu untuk mengidentifikasi faktor pemicu mana yang paling berpengaruh pada diri pasien [3,4,6].
Pemberian skor berdasarkan skala 1-100 di mana 0 artinya pasien sama sekali tidak takut dan 100 artinya reaksi takut atau cemas yang maksimal [6].
Akan ada sekitar 10-20 faktor pemicu ketakutan berbeda yang terapis sediakan sebagai bahan identifikasi oleh pasien sendiri [6].
3. Proses Pemaparan
Proses eksposur atau pemaparan akan dilakukan setelah pasien selesai dengan pemberian skor [1,2,3,4].
Ketika sudah diketahui hasilnya, mana pemicu ketakutan dengan reaksi takut paling tinggi, sedang dan rendah, pasien siap untuk diekspos kepada sumber ketakutan [1,2,3,4].
Terapis akan memaparkan pemicu ketakutan secara pelan-pelan dan akan dimulai dari hasil skor paling rendah [1,2,3,4].
Proses pemaparan secara perlahan artinya pasien mengawali dengan membayangkan lebih dulu faktor pemicu ketakutan tersebut [1,2,3,4].
Di saat yang sama, terapis memandu teknik relaksasi yang pasien sudah pelajari dan kuasai sebelumnya [3].
Bila terapis mendapati pasien sudah terbiasa atau reaksi pasien tak lagi berlebihan, pasien akan diminta melihat foto atau gambar faktor pemicu ketakutan [3].
Setelah berhasil mengendalikan reaksi diri sendiri dengan baik, pasien kemudian akan dipandu oleh terapis menghadapi langsung sumber ketakutan tersebut dalam wujud nyata [3].
Semisal pasien takut terhadap ketinggian, laba-laba, atau keramaian, maka terapis kemudian akan mengajak pasien berada di tempat tinggi, membawa hewan laba-laba ke depan pasien, atau membawa pasien ke keramaian [3].
Manfaat Terapi Desensitisasi
Terapi desensitisasi adalah jenis psikoterapi yang mampu membantu berbagai kondisi gangguan mental.
Berikut ini adalah sejumlah manfaat menempuh terapi desensitisasi.
1. Mengatasi Fobia dan Fobia Spesifik
Apapun jenis fobia yang dialami oleh seseorang, baik itu fobia sederhana maupun fobia spesifik, terapi desensitisasi dikenal efektif menjadi penolong bagi penderita [1,2,3,4].
Baik itu ketakutan terhadap benda, aktivitas, tempat, atau situasi tertentu, terapi desensitisasi akan mengurangi gejala yang pasien derita [1,2,3,4].
2. Mengatasi Kecemasan Sosial
Kecemasan sosial adalah ketika seseorang takut untuk memulai pembicaraan dengan orang lain [3,7].
Tak hanya itu, kecemasan sosial juga bisa tentang bagaimana seseorang takut mengeluarkan jawaban yang salah saat belajar di sekolah [3].
Seseorang yang takut bertanya arah jalan kepada orang lain atau bertanya toilet ada di mana saat berada di tempat umum pun merupakan bentuk kecemasan sosial [3].
Kecemasan sosial kerap ditandai dengan detak jantung berdebar kencang saat harus berhadapan dengan orang lain (terutama orang asing) [1,3,7].
Seseorang bisa saja mengalami sakit perut, berkeringat, atau tangan dingin secara mendadak ketika harus berinteraksi dengan orang lain [1,3,7].
Biasanya hal ini disebabkan adanya rasa takut akan mempermalukan dirinya sendiri saat berbicara di depan orang lain maupun di depan publik [1,3,7].
Terapi desensitisasi adalah salah satu jenis psikoterapi tepat untuk membantu mengurangi rasa takut dan meningkatkan rasa percaya diri penderita kecemasan sosial [3].
Pada kemajuan yang lebih jauh dari hasil terapi desensitisasi, pasien bahkan akan berani menyapa orang asing di tempat atau kendaraan umum [3].
Melakukan kontak mata saat sedang berinteraksi dengan lawan bicara pun akan semakin mudah dengan bantuan terapi ini [1,3].
3. Mengatasi Gangguan Obsesif Kompulsif
Gangguan obsesif kompulsif juga merupakan gangguan mental di mana sang penderita melakukan tindakan tertentu berulang kali agar merasa lega [8].
Jika tidak melakukannya berkali-kali, maka penderita akan merasa takut atau cemas secara berlebihan [8].
Satu contoh kasus gangguan obsesif kompulsif adalah membersihkan rumah setiap saat, merapikan barang berkali-kali walaupun barang tersebut sudah berada di tempat yang tepat dan sudah tergolong rapi, atau mencuci tangan berulang-ulang karena takut terkena penyakit tertentu [8].
Belum diketahui jelas penyebab utama dari gangguan obsesif kompulsif, namun tetap ada beberapa kondisi yang menjadi pemicunya [8].
Seseorang yang memiliki gangguan mental tertentu, pernah memiliki pengalaman buruk, atau memiliki anggota keluarga dengan riwayat kondisi yang sama akan lebih berisiko mengalami gangguan obsesif kompulsif [8].
Selain terapi perilaku kognitif, psikoterapi paling tepat untuk kondisi ini adalah terapi desensitisasi [1,3,8].
Biasanya, psikoterapi ini masih perlu dikombinasikan dengan obat antidepresan untuk mengendalikan gejala [8].
4. Meningkatkan Performa saat di Bawah Tekanan
Teknik terapi desensitisasi juga dapat digunakan untuk meningkatkan kesehatan mental, kepercayaan diri, dan performa maupun reaksi saat berada di bawah tekanan [1].
Stres seringkali tak terkelola dengan baik yang pada akhirnya menjadikan stres tersebut berkepanjangan, semakin berat dan berujung pada kecemasan dan depresi [1].
Oleh sebab itu, terapi desensitisasi sangat penting, terutama penerapannya dilakukan pada latihan militer dan psikologi olahraga [1].
Diharapkan para tentara dan atlet mampu memiliki kondisi mental yang baik sekaligus daya konsentrasi maksimal melalui teknik pernafasan yang dikombinasi dengan teknik relaksasi otot [1].
Cara Menemukan Terapis yang Tepat
Bila seseorang memiliki kondisi yang sekiranya memerlukan bantuan profesional terapi desensitisasi, terutama dalam hal fobia atau gangguan mental lainnya, berikut adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan [3].
- Ketahui lebih dulu masalah mental apa yang sedang dialami dan ingin segera diatasi.
- Ketahui dan buat daftar mengenai karakteristik terapis seperti apa yang diinginkan, seperti misalnya mungkin penderita wanita bisa lebih nyaman dengan terapis wanita dan penderita pria lebih nyaman dengan terapis pria.
- Ketahui anggaran yang dimiliki dan berapa sesi yang dapat dijangkau dengan anggaran yang dimiliki.
- Ketahui apakah sesi terapi sesuai dengan jadwal kegiatan; pastikan untuk membuat waktu luang dan cari tahu adakah terapis yang bisa menyesuaikan dengan jadwal kita.
Jika pertimbangan-pertimbangan ini sudah dibuat, maka mulailah mencari terapis yang paling dekat dengan area tempat tinggal [3].
Apakah terapi desensitisasi bisa dilakukan secara mandiri?
Tanpa bantuan terapis profesional, sebenarnya terapi desensitisasi bisa dilakukan sendiri [3].
Namun, pastikan untuk melakukan terapi ini secara bertahap dan perlahan [3].
Selalu awali dari paparan dengan tingkat rendah lebih dulu; biasanya kecemasan tidak langsung dapat berkurang atau terkendali [3].
Hanya saja ketika rasa cemas tetap ada, maka teknik relaksasi harus tetap dilatih untuk benar-benar setidaknya mengendalikan atau mengurangi rasa takut tersebut [3].
Berjalan terlalu cepat ke tahap selanjutnya dari teknik relaksasi ke pengembangan hirarki dan ke proses pemaparan hanya akan membuat diri sendiri tak nyaman nantinya [3].
Oleh sebab itu, walau bisa dilakukan sendiri, terapi ini jauh lebih dianjurkan dilakukan dengan bantuan terapis atau psikiater profesional [3].