Stres dan burnout adalah dua kondisi yang tampak serupa namun sebenarnya tidak sama [1,2,3].
Sindrom burnout adalah kondisi kelanjutan dari stres ringan; dengan kata lain, seseorang mengalami burnout sama dengan mengalami stres kronis [1,4].
Tidak hanya merasa tertekan sendiri hampir setiap waktu, aktivitas sehari-hari pun bisa jadi terhambat karena kedua kondisi tersebut bila dibiarkan [1,2,3].
Namun untuk bisa mengatasi secara benar, pastikan agar mengetahui perbedaan stres dan burnout lebih dulu.
Daftar isi
1. Pengertian
Dari segi pengertiannya, stres dan burnout adalah kondisi berbeda [1,2,3].
Stres jauh lebih umum dan siapa saja bisa mengalaminya, mulai dari anak sekolah, pekerja, hingga orang tua [1,2,3,5].
Stres adalah sebuah respon adaptif dari tubuh ketika berhadapan dengan suatu masalah atau berada di suatu situasi yang berpotensi merugikan atau bersifat darurat [2].
Stres adalah kondisi ketika hormon kortisol meningkat di dalam tubuh dan seseorang akan berupaya mencari solusi untuk masalah atau situasi yang tengah dihadapi tersebut [6].
Sementara itu, burnout adalah sebuah sindrom yang bisa terjadi karena stres yang berkelanjutan atau stres berat [4].
Stres yang dirasakan seseorang tanpa dapat mengatasinya membuat stres semakin menumpuk dan kemudian menimbulkan burnout [2,3,4].
Pada burnout, seseorang yang mengalami tidak hanya lelah secara emosional dan pikiran, tapi juga fisiknya [2].
Akibatnya, performa kegiatan sehari-hari ikut terpengaruh secara negatif; bahkan beberapa diantaranya berpotensi tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya seperti biasa [1,2,3].
2. Penyebab
Stres umumnya disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti kecemasan, perubahan dalam hidup, perundungan, ketidakpastian tentang hal tertentu, diskriminasi, dan kebencian [2,3,5].
Seseorang yang tidak memiliki aktivitas yang cukup untuk menghabiskan waktu, bahkan tidak adanya perubahan signifikan (stagnan) dalam hidup pun bisa mengalami stres [5].
Memiliki tanggung jawab besar terhadap suatu hal atau situasi juga membuat seseorang kewalahan hingga stres [2,5].
Sementara itu pada kasus burnout, di tahun 2012 sebuah penelitian menunjukkan perbandingan tingkat stres pada pekerja kantoran dan pekerja pabrik [7].
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa stres jauh lebih sering dialami para pekerja kantor daripada pekerja pabrik [7].
Sebab utama dari stres pada pekerja kantoran adalah tekanan maupun ketidakpuasan atasan yang terus-menerus [7].
Sementara pada pekerja pabrik, mereka dapat merasa bosan atau tidak semangat karena aktivitas yang monoton namun ketidakterikatan dengan peraturan perusahaan meminimalisir tingkat stres mental [7].
Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa burnout berisiko lebih tinggi terjadi pada pekerja kantoran [4,8].
Tekanan yang sama terus-menerus atau bahkan semakin besar mampu melemahkan mental mereka [2,3,4,7,8].
Stres berkepanjangan pada akhirnya berlanjut menjadi stres kronis, dengan kata lain burnout bisa terjadi [4,8].
3. Gejala
Saat mengalami burnout, gejala yang umumnya terjadi adalah [2,3] :
- Kelelahan hampir setiap saat baik fisik maupun emosional (kelelahan kronis).
- Kehilangan tenaga fisik.
- Mudah marah.
- Tidak sabaran.
- Depresi mental.
- Hipertensi/tekanan darah tinggi.
- Mengalami komplain psikosomatis.
- Sering mengalami gangguan pencernaan.
- Tidak dapat berkonsentrasi dan pikiran tidak jernih (cenderung lebih pelupa dari biasanya).
- Merasa bosan dan tidak tertarik untuk melakukan pekerjaan seperti biasa.
- Tidak memedulikan pekerjaan yang sedang dilakukan, termasuk tidak terlalu memerhatikan rekan kerja.
- Tidak produktif.
- Terjadi penurunan performa dalam pekerjaan.
- Mengasingkan atau menjauhkan diri dari lingkungan pekerjaan.
Burnout yang sudah sampai tahap kelelahan setiap waktu sudah tak lagi bisa diatasi hanya dengan relaksasi saat sore atau malam hari [3].
Bahkan libur di akhir pekan sekalipun tidak cukup membantu gejala burnout [3].
Liburan lebih panjang pun belum tentu mampu mengatasi gejala-gejala burnout tersebut menurut Christian Dormann, seorang peneliti yang memimpin sebuah studi di Johannes Gutenberg University Mainz [3,9].
Menurut Dormann, sebagian penderita burnout melakukan pengabaian dan penghindaran dari pekerjaan dan lingkungan sosialnya sebagai bentuk perlindungan terhadap diri mereka dari kelelahan yang lebih parah [3,9].
Oleh sebab itu, orang-orang dengan kondisi burnout mengasingkan diri mereka baik dari pekerjaan maupun lingkungan pergaulan/sosialnya [3,8,9].
Hanya saja, pada beberapa kasus burnout orang-orang menjadi lebih sinis terhadap pekerjaannya [3,9].
Kondisi tersebut sekilas tidak terlalu berbeda dari stres yang biasa dialami, namun sebenarnya stres menimbulkan sejumlah gejala yang tidak terlalu serius, seperti [2] :
- Timbul rasa bersalah
- Perubahan mood/suasana hati
- Mengalami kecemasan
- Kelelahan biasa
- Ketidakpuasan terhadap pekerjaan
- Harapan dan motivasi menurun
- Konsentrasi berkurang dan kadang menjadi pelupa
- Komitmen terhadap pekerjaan menurun
- Mengalami perubahan fisiologis.
Seperti yang terlihat, stres kerja biasa tidak sampai menurunkan performa pekerjaan [2].
Seseorang dengan stres biasa juga tidak akan tidak peduli apalagi mengabaikan pekerjaan dan tidak produktif [2].
Stres ringan pada umumnya tidak membuat seseorang mengalami hambatan yang berarti pada pekerjaannya, terutama sampai memengaruhi kehidupan sosial secara negatif [2].
Kesimpulan
Stres dan burnout sama-sama mudah terjadi pada orang-orang zaman sekarang dengan semakin besarnya tuntutan dalam sejumlah besar pekerjaan.
Hanya saja, stres biasa masih dapat diatasi dengan meluangkan waktu untuk rileks, berolahraga, meditasi atau kegiatan lain yang menyenangkan sekaligus menenangkan [2].
Namun pada kasus burnout, gejala tidak semudah itu diatasi dengan berakhir pekan atau liburan panjang [3,9].
Jika burnout mulai terasa mengganggu aktivitas sehari-hari hingga terjadi penurunan performa, akan jauh lebih baik bila penderita berkonsultasi langsung dengan psikiater atau psikolog untuk segera mendapat pertolongan.