7 Cara Mengatasi Coronasomnia

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Istilah coronasomnia masih cukup asing bagi banyak orang, namun sebutan ini dapat diperkirakan memiliki makna yang berkaitan dengan masa pandemi virus Covid-19 [1,2,3].

Para ahli memberi istilah coronasomnia atau Covid-somnia untuk menggabungkan kondisi virus corona dengan insomnia [2,3].

Hal ini berawal dari peningkatan kasus insomnia atau susah tidur selama masa pandemi [1,2,3].

Oleh karena itu, insomnia jenis ini berbeda dari insomnia pada umumnya dengan tingkat stres lebih tinggi [1,2,3].

Apa yang menyebabkan coronasomnia?

Penyakit Covid-19 menjadi faktor risiko utama dari coronasomnia [1,2,3].

Gejala Covid-19 tidak hanya menyerupai gejala flu hingga kehilangan fungsi pengecap dan penciuman [4].

Penderitanya pun kerap mengeluhkan sulit tidur sebagai salah satu gejala Covid-19 [1,2,3,4].

Para penderita Covid-19 tak hanya merasakan ketidaknyamanan karena gejala fisik, tapi juga rasa gelisah dan stres yang cukup besar [1,2,3,4,5].

Tekanan dan ketidaknyamanan dapat disebabkan oleh faktor isolasi saat rawat inap di rumah sakit maupun isolasi karantina mandiri di rumah [1].

Selain itu, stres pada kasus coronasomnia juga lebih tinggi karena pandemi membuat segala hal tidak pasti bagi banyak orang [3].

Kekhawatiran banyak orang meningkat ketika memasuki masa pandemi dengan segala tekanan dalam hubungan, pekerjaan, sekolah, dan aspek kehidupan lainnya [1,2,3].

Stres berkepanjangan membuat hormon kortisol (hormon stres) tidak dapat berkurang dan akhirnya menyebabkan coronasomnia [6].

Pemberitaan infeksi Covid-19 dan berbagai laporan data pasien penyakit ini di berbagai media juga turut meningkatkan kadar stres banyak orang [7].

Ditambah dengan perubahan rutinitas juga seirngkali membuat ritme sirkadian atau siklus bangun tidur terpengaruh secara negatif [1,2].

Apa saja gejala coronasomnia?

Stres dan susah tidur ditambah dengan perubahan ritme sirkadian adalah gejala yang umumnya dialami oleh penderita coronasomnia [1,2].

Fenomena ini tidak hanya ditujukan bagi orang-orang yang terkena Covid-19 dan pulih dari penyakit ini [1,2,3].

Ada banyak orang lain yang juga dapat mengalami coronasomnia karena kehidupan mereka tak lagi sama seperti sebelumnya [1,2,3].

Kehidupan “normal” bagi mereka tidak lagi normal karena mengalami banyak kekhawatiran, seperti [1,2,3] :

  • Khawatir tentang pekerjaan.
  • Khawatir diri sendiri maupun anggota keluarga tertular virus.
  • Isolasi sosial.

Meski demikian, terdapat beberapa cara mengatasi coronasomnia yang dapat coba diterapkan selama pandemi, seperti di bawah ini.

1. Menerapkan Sleep Hygiene

Sleep hygiene bukan tentang kebersihan saat tidur, melainkan pola tidur yang sehat [8].

Sleep hygiene dapat diterapkan dengan cara tidur lebih awal dan bangun lebih awal juga [8].

Lakukan hal ini secara rutin setiap hari bahkan saat akhir pekan.

Jika pun rasa kantuk dan lelah melanda, pastikan untuk tidur siang tidak terlalu lama.

10-20 menit saja cukup untuk mengembalikan tenaga dan kesegaran tubuh karena tidur siang terlalu lama pun biasanya hanya akan menyebabkan sakit kepala dan linglung [9,10].

Selain itu, terapkan juga aktivitas berjemur di bawah sinar matahari secara rutin setiap pagi karena akan membantu mengembalikan ritme sirkadian yang sempat terganggu [9].

2. Menerapkan Aktivitas Sehari-hari Seperti Sebelum Covid-19

Rutinitas yang terhambat, berantakan, dan tidak lagi “normal” seperti sebelum pandemi memang membuat banyak orang kehilangan arah dan mudah stres [1,2,3,11].

Namun, segalanya tetap bisa dicoba, yakni dengan melakukan rutinitas selama pandemi seperti sebelum pandemi [11].

Jadwal kegiatan dapat dibuat sama, terutama masalah tidur; tidur, bangun tidur, makan, dan bahkan olahraga di jam yang sama [11].

Namun ketika harus bepergian, masyarakat tetap perlu mengikuti protokol kesehatan.

Saat pergi keluar rumah, tetap kenakan masker, cuci tangan atau gunakan cairan pembersih tangan, dan hindari kerumunan.

Membatasi interaksi dengan orang lain tetap perlu, hanya saja setidaknya rutinitas sehari-hari bisa dibentuk tanpa jauh berbeda dari rutinitas sebelum Covid-19 menyerang.

3. Membatasi Penggunaan Gawai

Perangkat gawai terutama ponsel pintar menjadi salah satu faktor yang mampu mengatasi stres namun di saat yang sama dapat mengganggu pola tidur [11,12].

Gejala insomnia seringkali dikaitkan dengan penggunaan perangkat gawai, terutama karena efek sinar biru dari layarnya [12].

Ketika membatasi penggunaan ponsel pintar dan laptop, hal ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas tidur penderita coronasomnia [11,12].

Ketika tidur mulai terasa mudah dan nyenyak, maka menjalani keseharian juga terasa lebih ringan karena tidak lagi terasa berat dan mengantuk [11,13].

Satu jam sebelum tidur, hindarkan diri dari penggunaan perangkat gawai apapun supaya tidak terpengaruh oleh sinar biru [12].

Bahkan tidak hanya efek sinar dari layar, seringkali kecemasan mulai timbul dan semakin parah di malam hari karena membaca berbagai berita dari ponsel.

Maka dari itu, mematikan perangkat gawai sejam sebelum tidur akan sangat membantu mengurangi risiko stres dan insomnia [11,14].

4. Membatasi Konsumsi Alkohol

Salah satu pelarian stres adalah konsumsi alkohol dan jumlah pengonsumsi alkohol di masa pandemi juga turut meningkat [15].

Hal ini terutama terjadi di Amerika Serikat menurut sebuah studi tahun 2020 pada JAMA Network Open [15].

Sebuah laporan lainnya oleh Nielsen juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penjualan alkohol hingga 54% dalam kurang lebih setahun [16].

Alkohol seringkali dianggap sebagai “obat penenang” oleh sebagian orang, namun bukan asupan yang tepat jika ingin tidur dengan mudah [11].

Alkohol justru mampu mengganggu tidur dan bahkan menyebabkan tubuh dehidrasi [17].

Selain itu, mengonsumsi alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf otak [18].

5. Membatasi atau Menghindari Asupan Kafein

Ketika stres selama pandemi membuat jam tidur berubah dan bahkan lebih sulit tidur, minum kopi, teh atau minuman berkafein lainnya hanya akan memperburuk kondisi tubuh [11,19,20].

Kafein sangat memengaruhi tidur bagi sebagian besar pengonsumsinya [19].

Mengonsumsi kafein sore atau malam hari dapat membuat seseorang terjaga lebih lama sehingga tidak mudah terlelap [11].

Menurut The National Sleep Foundation, 200 mg kafein (setara dengan 2 cangkir kopi buatan rumah) setiap harinya sudah cukup dan usahakan mengonsumsinya di pagi atau siang hari saja [21].

Lebih dari 200 mg kafein hanya akan membuat tubuh lebih segar dan sulit untuk rileks [21].

Kafein adalah jenis stimulan yang juga berpotensi meningkatkan risiko kecemasan [20].

Oleh sebab itu, penderita gangguan kecemasan dan yang berada pada masa pemulihan dari gangguan mental apapun diminta untuk sangat membatasi atau menghindari kafein [20].

6. Mengelola Stres Secara Mandiri

Cemas dan stres berlebihan adalah faktor utama yang membuat seseorang sulit tidur di masa pandemi [1,2,3,4].

Oleh sebab itu, belajar mengelola secara mandiri rasa stres dan kecemasan yang dialami sekiranya mampu meredakan gejala sulit tidur di malam hari [22,23].

Pengelolaan stres secara mandiri sebenarnya bisa dilakukan dalam banyak cara, seperti [22,23] :

  • Jika harus WFH (work from home) atau bekerja dari rumah, pastikan keseimbangan tetap terjaga antara waktu bekerja dengan waktu untuk bermain, waktu untuk diri sendiri maupun keluarga.
  • Olahraga secara rutin; setidaknya lakukan jalan kaki di sekitar rumah selama 20 menit setiap hari agar hormon stres berkurang dan peredaran darah lebih lancar.
  • Tetap menjaga komunikasi dengan kerabat maupun sahabat dengan sesekali melakukan panggilan suara maupun video.
  • Jika memiliki hewan peliharaan, maka habiskan waktu dengan hewan peliharaan bisa mengurangi rasa cemas maupun stres.
  • Lakukan meditasi atau latihan Yoga supaya tidak hanya stres berkurang dan pola tidur lebih berkualitas, tapi juga daya konsentrasi meningkat.
  • Temukan hobi yang tepat untuk dilakukan di rumah tanpa harus banyak bepergian, seperti misalnya mendengarkan lagu/musik favorit, membaca buku, melukis, bercocok tanam, memasak, menjahit, menonton film, bermain games, atau lainnya.
  • Hindari menonton, membaca maupun mendengarkan berita-berita yang sekiranya mudah memicu kecemasan dan stres.

Isi waktu luang di rumah selain mengerjakan pekerjaan kantor dan pekerjaan rumah tangga dengan hal-hal yang menyenangkan [22,23].

Hal ini dijamin mampu membuat diri lebih bersemangat dan meredakan stres yang selama ini menumpuk [22,23].

7. Meminta Bantuan Profesional

Menurut sebuah survei pada JAMA Network Open tahun 2020, telah terjadi peningkatan prevalensi gejala depresi [24].

Kurang dari setahun setelah Covid-19 merebak dan memasuki masa pandemi, prevalensi gejala depresi rupanya naik tiga kali lipat [24].

Gejala depresi pun lebih dirasakan oleh orang-orang dengan pendapatan rendah maupun orang-orang dengan pekerjaan yang tidak stabil [24].

Hasil survei dari American Psychological Association’s Stress in America 2020 juga membuktikan bahwa terjadi peningkatan kasus dan kadar stres bila membandingkannya dengan masa sebelum pandemi [25].

Insomnia pada tahap kronis seringkali disebabkan oleh gabungan dari stres maupun depresi, bahkan terkadang diikuti dengan kecemasan berlebih [26].

Seseorang dengan kondisi depresi tidak hanya kesulitan tidur, tapi juga mengalami kelelahan fisik sepanjang hari, merasa sedih berkepanjangan, putus asa, kurang energi, hingga menarik diri dari aktivitas normalnya [11,27].

Kecemasan pun hampir sama seperti itu, hanya saja penderita gangguan kecemasan akan mengalami rasa cemas intens, mudah marah, suasana hati mudah berubah dan sulit berkonsentrasi [11,28].

Bila terjadi keluhan-keluhan seperti itu dan penanganan mandiri tak cukup menolong, sudah saatnya penderita memeriksakan diri ke psikiater [11].

Temui tenaga profesional di bidang kesehatan mental untuk mendapatkan diagnosa yang benar sekaligus perawatan yang sesuai secepatnya.

Corosomnia adalah sebuah kondisi yang bisa diatasi secara mandiri; namun bila cara penanganan sendiri tidak menunjukkan hasil, segera minta bantuan psikiater atau psikolog.

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment