Bayi dapat berkembang dengan baik dan normal di dalam kandungan berkat adanya plasenta [1,2,3,4].
Plasenta adalah organ yang sangat vital bagi tumbuh kembang janin selama di dalam perut ibu [1,2,3,4].
Organ ini ada menempel di dinding rahim sedari awal seorang wanita hamil yang normalnya ada di samping atau atas rahim [1,4].
Meski demikian ada pula plasenta yang dekat dengan tulang belakang, yakni lebih tepatnya terletak di belakang rahim.
Plasenta berfungsi utama sebagai pembawa nutrisi dan oksigen ke tubuh janin yang sedang berkembang sehingga tumbuh dengan normal selama di kandungan [1,4].
Selain itu, para ibu hamil membutuhkan plasenta agar kehamilannya berjalan secara lancar secara menyeluruh, terutama karena plasenta memberikan perlindungan bagi janin dari serangan infeksi bakteri [1,4].
Plasenta juga penting sebab bertugas sebagai pembuang karbon dioksida [1,4].
Jika plasenta mengalami gangguan, maka kehamilan pun akan terganggu, begitu pula dengan kesehatan serta perkembangan janin [1,2,3].
Berikut ini adalah beberapa jenis gangguan plasenta yang meskipun bukan suatu kondisi jarang tetap harus diwaspadai oleh para ibu hamil.
Daftar isi
1. Retensi Plasenta
Retensi plasenta adalah gangguan plasenta ketika seorang wanita pasca bersalin plasenta atau ari-arinya tidak keluar sendiri [5,6].
Artinya, plasenta tertahan di dalam rahim yang jika tidak segera keluar maka membahayakan kondisi sang ibu dengan meningkatnya risiko infeksi serta kematian [5,6].
Beberapa menit usai bayi benar-benar keluar atau lahir, plasenta tanpa biasanya keluar dengan sendirinya dari rahim sang ibu [5,6].
Namun jika sampai 30 menit lebih tidak keluar juga, maka kondisi ini dinamakan dengan retensi plasenta [5,6].
Selain tanda tersebut, gejala lain yang perlu diketahui pada kasus retensi plasenta adalah [5,6] :
- Cairan dan jaringan berbau menyengat tak sedap keluar dari vagina sang ibu
- Tubuh sang ibu menggigil dan demam
- Terjadi perdarahan luar biasa
- Timbul rasa nyeri yang tak kunjung reda
Para ibu hamil yang merasa sudah akan melahirkan karena tanda-tanda kontraksi atau air ketuban pecah terjadi, hindari menanganinya sendiri [5,6].
Segera ke dokter kandungan atau rumah sakit agar segala kondisi bisa tetap berada dalam pengawasan dokter [5,6].
Jika tidak tertangani dengan benar, risiko retensi plasenta semakin tinggi [5,6].
Bila sampai terjadi retensi plasenta (tidak keluarnya plasenta 30 menit usai melahirkan) sang ibu perlu mendapatkan pertolongan medis secepatnya [5,6].
2. Plasenta Previa
Jenis gangguan plasenta lainnya yang juga tergolong umum adalah plasenta previa [1,2,3].
Gangguan plasenta ini adalah ketika plasenta atau ari-ari menutupi jalan lahir bayi [1,2,3,7].
Ini karena plasenta yang seharusnya ada di samping atau atas rahim justru ada di bawah rahim [2,3,7].
Selain jalan lahir bayi tertutupi, kondisi gangguan plasenta ini bisa mengakibatkan sebelum maupun ketika melahirkan terjadi perdarahan luar biasa [2,3,7].
Awal kehamilan, plasenta memang ada di bagian bawah rahim, namun kemudian bergerak ke samping atau atas saat usia kehamilan semakin tua [2,3,7].
Namun hal ini merupakan pengecualian bagi plasenta previa, sebab menandakan bahwa plasenta sama sekali tak bergerak meski sang ibu sudah waktunya melahirkan [2,3,7].
Beberapa faktor yang mampu mendasari terjadinya plasenta previa adalah [2,3,7] :
- Selama hamil menggunakan obat terlarang
- Selama hamil tetap merokok
- Usia sang ibu sudah 35 tahun lebih
- Memiliki riwayat operasi rahim, seperti bedah caesar saat melahirkan sebelumnya, mengangkat miom, atau kuret.
- Memiliki riwayat keguguran
- Sudah pernah melahirkan
- Bentuk rahim mengalami kelainan atau tak normal
- Janin dalam posisi sungsang
- Memiliki riwayat plasenta previa pada kehamilan sebelumnya
- Mengandung bayi kembar
Pada plasenta previa, berikut ini adalah beberapa gejala yang terjadi [2,3,7] :
- Pada kehamilan trimester kedua akhir memasuki trimester ketiga mengalami perdarahan dari vagina.
- Perdarahan dapat terjadi berulang selama beberapa hari dengan volume darah yang keluar berpotensi banyak maupun sedikit.
- Perdarahan dapat terjadi bersama dengan perut kram.
- Perdarahan dapat timbul usai berhubungan seksual dengan pasangan.
Seringkali tanda berupa perdarahan berulang pada plasenta previa dianggap sebagai menstruasi ketika hamil dan segera ke dokter untuk memeriksakan diri jauh lebih baik [2,3,7].
Potensi gangguan plasenta seperti plasenta previa dapat terdeteksi sedini mungkin jika gejala awal langsung diperiksakan ke dokter [2,3,7].
3. Plasenta Akreta
Plasenta Akreta adalah gangguan plasenta di mana plasenta atau ari-ari terbentuk di dinding rahim namun posisinya tumbuh terlalu dalam [1,2,3,8]
Sebagai akibatnya, perdarahan hebat dapat mengancam sang ibu pasca melahirkan dan rahim pun berisiko mengalami kerusakan [2,3,8].
Penyebab dari kondisi gangguan plasenta ini belum jelas diketahui, namun jika dinding rahim memiliki kelainan, risiko plasenta akreta semakin tinggi [2,3,8].
Berikut ini adalah beberapa faktor yang meningkatkan risiko seorang ibu hamil mengalami plasenta akreta [2,3,8] :
- Usia hamil sudah di atas 35 tahun.
- Memiliki riwayat operasi rahim (pengangkatan miom atau bedah caesar saat melahirkan sebelumnya)
- Kehamilan melalui prosedur bayi tabung
- Memiliki kondisi plasenta previa
- Terbentuk jaringan parut dulu setelah menjalani operasi rahim
Plasenta akreta seringkali tak disadari sebab tanda-tandanya sama sekali tak nampak selama mengandung [2,3,8].
Hanya saja karena berpotensi terjadi bersamaan dengan plasenta previa, gejala berupa perdarahan dari vagina sangat memungkinkan [2,3,8].
Jika sang ibu juga mengalami plasenta previa, kehamilan memasuki minggu ke-28 dan ke-40 menjadi masa-masa paling rentan terjadinya perdarahan tersebut.
Walau plasenta akreta sendiri tak menimbulkan gejala apapun, rutin memeriksakan kandungan, terutama melalui prosedur USG akan sangat membantu [8,9].
Tidak hanya USG, lakukan konsultasi kehamilan secara teratur setiap usai USG [2,3,8,9].
Hal ini bertujuan supaya dokter bisa terus memantau kondisi kandungan, termasuk kesehatan sang ibu [2,3,8,9].
Jika perdarahan dari vagina mulai dialami, jangan ragu untuk segera ke rumah sakit sebab hal ini bisa menjadi pertanda plasenta akreta maupun gangguan plasenta lainnya.
4. Insufisiensi Plasenta
Insufisiensi plasenta adalah jenis gangguan plasenta lainnya yang biasanya terjadi sebagai bentuk komplikasi kehamilan [1,2].
Insufisiensi plasenta adalah kondisi langka, yakni ketika perkembangan plasenta tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga tidak sempurna [1,2,10].
Plasenta yang juga dalam pembentukannya mengalami masalah atau kerusakan kemudian berakibat pada tidak memadainya oksigen dan nutrisi yang dipasok ke janin [2,10].
Jadi ketika plasenta mengalami kegagalan dalam perkembangannya, hal ini otomatis berpengaruh terhadap janin [2,10].
Janin pun tak dapat berkembang sempurna dan normal karena insufisiensi plasenta, akibatnya bayi bisa lahir dengan berat badan rendah, bayi lahir prematur, atau bayi mengalami cacat lahir [2,10].
Insufisiensi plasenta diketahui dapat terjadi karena berkaitan dengan adanya masalah di peredaran darah, penggunaan obat terlarang, penggunaan obat tertentu tanpa resep dokter, atau pola hidup tidak sehat sang ibu sebelum dan selama hamil [2,10].
Berikut ini juga merupakan deretan kondisi kesehatan yang mampu meningkatkan risiko ibu hamil mengalami insufisiensi plasenta [2,10] :
- Kebiasaan merokok
- Penggunaan obat pengencer darah
- Penggunaan narkotika (metamfetamin, heroin, dan kokain)
- Gangguan pada proses pembekuan darah
- Tekanan darah tinggi / hipertensi kronis
- Diabetes
- Anemia
Insufisiensi plasenta pada beberapa kasus juga berkaitan dengan terlepasnya plasenta dari dinding rahim atau disebut dengan solusio plasenta.
Seperti halnya plasenta akreta, gejala kondisi insufisiensi plasenta tak terlalu nampak [2,10].
Umumnya, gangguan plasenta satu ini terdeteksi justru saat ibu hamil sadar bahwa janinnya tak banyak bergerak sehingga kemudian memeriksakannya [2,10].
Dari hal itu kemudian baru diketahui jika ada gangguan pada plasenta yang kemudian memengaruhi keadaan janin [2,10].
Terlebih jika ukuran perut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kehamilan yang pernah dialami, ini bisa menjadi pertanda perkembangan janin terhambat, untuk itu ke dokter secepatnya agar gangguan terdeteksi dini [2,10].
5. Solusio Plasenta / Abrupsi Plasenta
Solusio plasenta atau juga disebut abruptio plasenta atau abrupsi plasenta merupakan sebuah kondisi ketika plasenta lepas dari dinding rahim dalam [1,2,11].
Terjadinya plasenta yang terlepas ini adalah sebelum sang ibu melahirkan dan hal ini mampu menimbulkan berbagai kondisi berbahaya, salah satunya insufisiensi plasenta [2,11].
Ketika plasenta lepas, nutrisi dan oksigen yang seharusnya dibawa oleh organ ini ke janin akan terganggu [2,11].
Janin kemudian tidak mendapat cukup oksigen serta nutrisi sehingga nyawanya akan terancam [2,11].
Penyebab gangguan plasenta jenis ini belum jelas diketahui, hanya saja beberapa faktor berikut mampu menjadi pemicunya [2,11] :
- Usia ibu hamil 40 tahun lebih
- Menderita polihidramnion
- Sempat terjadi cedera di perut selama hamil
- Kebiasaan merokok bahkan saat hamil
- Menggunakan narkotika saat hamil
- Hamil bayi kembar
- Memiliki kondsi preeklamsia atau eklamsia
- Pernah mengalami solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya
- Ketuban pecah dini
Solusio plasenta adalah jenis gangguan plasenta yang paling rentan dialami pada usia kehamilan mencapai trimester ketiga [2,11].
Tanda utama dari kondisi ini adalah perdarahan dari vagina meskipun ada pula kasus solusio plasenta di mana darah justru tidak bisa keluar karena terjebak di dalam rahim [2,11].
Tanda lain yang perlu diwaspadai sebagai gangguan plasenta berupa solusio plasenta adalah [11]:
- Perut atau rahim terasa lebih kencang dari biasanya sehingga tidak nyaman
- Kontraksi rahim terjadi berulang kali dalam waktu berdekatan
- Perut terasa nyeri
- Punggung terasa sakit
Jika seorang ibu hamil terkadang mengalami perdarahan ringan dari vagina diikuti dengan keluarnya sedikit cairan ketuban, lalu juga bayi tumbuh lebih lambat dari seharusnya, gejala sudah memasuki tahap kronis [2,11].
Oleh sebab itu, penting bagi para ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan secara rutin supaya dokter bisa memantau seberapa baik kondisi kehamilan, kondisi ibu dan kondisi janin [2,11].
Jika perdarahan sudah sempat terjadi, maka segera ke dokter untuk memeriksakan diri.
Cara Mengatasi Jenis Gangguan Plasenta
Penanganan gangguan plasenta tentu didasarkan pada jenis gangguan plasenta itu sendiri.
Berikut ini merupakan metode-metode pengobatan sesuai jenis gangguan plasenta yang terjadi pada ibu hamil.
- Retensi Plasenta
Jika retensi plasenta terjadi, maka penanganan utama adalah dengan mengeluarkan sisa jaringan plasenta dari rahim sang ibu [5,6].
Ada dua metode untuk mengeluarkan plasenta tersebut, yakni melalui obat-obatan atau secara manual atau langsung dengan tangan [5,6].
Obat-obatan yang diberikan oleh dokter bertujuan membuat rahim berkontraksi sehingga plasenta keluar dari dalam rahim [5,6].
Dokter biasanya menganjurkan pasien untuk buang air kecil sesering mungkin apabila kondisi tergolong stabil agar mencegah plasenta terjebak di dalam rahim [5,6].
Jika metode dari dokter tersebut tidak kunjung mengeluarkan plasenta secara efektif, dokter akan merekomendasikan prosedur operasi [5,6].
- Plasenta Previa
Penanganan untuk plasenta previa biasanya sebatas meminimalisir risiko perdarahan [3,7].
Namun penanganan lanjutan sekiranya akan diberikan sesuai dengan usia kehamilan, kesehatan janin dan sang ibu, tingkat keparahan perdarahan dan posisi plasenta [3,7].
Bagi yang mengalami perdarahan ringan atau sama sekali tidak mengalaminya, dokter biasanya meminta pasien menghindari aktivitas fisik terlalu berat, tidak melakukan hubungan seks, dan lebih banyak berbaring / bed rest [3,7].
Jika perdarahan hebat terjadi berulang, operasi caesar akan dokter anjurkan untuk proses persalinan pasien [3,7].
Transfusi darah juga sebaiknya ditempuh oleh pasien sebagai penanganan perdarahan hebat tersebut [3,7].
Jika pun ingin melahirkan normal, tetap ada kemungkinan bagi pasien melakukannya hanya jika plasenta menutupi sebagian jalan lahir atau sama sekali tidak menutupinya [3,7].
- Plasenta Akreta
Karena gejala tak begitu nampak di awal, maka dokter akan melakukan pemantauan terhadap kehamilan pasien [3,8].
Apabila perdarahan dialami pasien di trimester ketiga kehamilan, dokter biasanya meminta pasien istirahat total atau bahkan dirawat inap di rumah sakit [3,8].
Operasi caesar adalah satu-satunya opsi prosedur persalinan untuk pasien plasenta akreta, yakni melalui histerektomi atau tetap mempertahankan rahim pasien [3,8].
- Insufisiensi Plasenta
Pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu, dokter akan melakukan induksi persalinan atau menyarankan prosedur bedah caesar [2,10].
Suntikan steroid akan juga diberikan demi membuat paru-paru bayi dalam kandungan lebih kuat sehingga siap untuk proses kelahiran [2,10].
- Solusio Plasenta / Abrupsi Plasenta
Ketika plasenta terlepas dari dinding rahim, maka tidak ada jalan untuk membuatnya menempel kembali seperti seharusnya [11].
Dokter akan meminta pasien dirawat inap pada usia kehamilan 34 minggu dan ibu hamil bisa pulang bila sudah tidak terjadi perdarahan dan detak jantung janin terbukti normal [11].
Pemberian kortikosteroid lewat injeksi juga akan dilakukan sebagai langkah mengantisipasi kondisi pasien memburuk dan harus dilakukannya proses persalinan ]11\.
Jika perdarahan hebat terjadi, persalinan pasien akan dibantu dengan proses transfusi darah untuk mengganti banyak darah yang keluar [11].
Untuk menghindari jenis-jenis gangguan plasenta, pengecekan kondisi kehamilan perlu dilakukan rutin, terutama bila usia di atas 35 tahun dan memiliki riwayat medis tertentu.