Pendarahan Saat Hamil: Penyebab dan Cara Mengatasi

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Keluarnya darah dari vagina selama kehamilan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Sekitar 25% dari semua ibu hamil mengalami pendarahan selama kehamilannya. Beberapa penyebab pendarahan tidak berbahaya tapi ada pula penyebab yang berdampak serius[1, 2].

Pendarahan dapat terjadi pada berbagai tahap masa kehamilan. Pendarahan pada awal kehamilan umum terjadi dan biasanya tidak mengindikasikan masalah. Sedangkan pendarahan pada usia tua kehamilan dapat berdampak lebih serius[1].

Jenis Pendarahan Saat Hamil

Pendarahan selama kehamilan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu[2, 3]:

  • Pendarahan ringan (spotting): ditemukan beberapa tetes darah pada celana dalam. Jumlah darah yang keluar sangat sedikit sehingga dapat ditampung pantyliner.
  • Pendarahan berat: timbul aliran darah yang lebih banyak seperti saat menstruasi.

Penyebab Pendarahan Saat Hamil

Pendarahan pada Trimester Pertama

Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, sekitar 15 hingga 20% wanita hamil mengalami pendarahan pada trimester pertama[4, 5].

Pendarahan pada trimester pertama kehamilan dapat disebabkan oleh:

Implantasi

Dalam 6-12 hari setelah sel telur dibuahi, wanita dapat mengalami pendarahan ringan saat sel telur menempel pada dinding dalam uterus (rahim)[4, 5].

Tidak semua ibu hamil mengalami pendarahan implantasi, tapi bagi yang mengalami biasanya menjadi tanda pertama kehamilan. Pendarahan implantasi biasanya terlihat berwarna merah muda hingga cokelat tua[4].

Pendarahan implantasi bersifat ringan dan hanya berlangsung selama beberapa jam hingga 3 hari, dan akan berhenti dengan sendirinya[4, 5].

Kehamilan Ektopik

Pada kehamilan ektopik, embrio menempel pada bagian luar uterus, biasanya di dalam tuba falopi. Kehamilan ektopik dapat ditandai oleh pendarah ringan hingga berat[4, 5].

Pendarahan akibat kehamilan ektopik biasanya disertai[4, 5]:

  • sakit perut atau sakit panggul
  • kelemahan, pusing, atau pingsan
  • tekanan rektum

Kehamilan ektopik terjadi pada sekitar 1 dari 60 kehamilan[3].

Kehamilan ektopik merupakan kondisi darurat, sebab jika embrio terus tumbuh dapat menyebabkan pecahnya tuba falopi, yang mana dapat mengancam keselamatan ibu. Kehamilan ektopik termasuk langka, terjadi pada sekitar 2% dari semua kehamilan[5].

Keguguran

Keguguran umum terjadi selama 13 minggu pertama kehamilan, sehingga cenderung menjadi hal yang paling dikhawatirkan saat mengalami pendarahan. Ibu hamil sebaiknya menghubungi dokter jika mengalami pendarahan berwarna merah terang atau coklat dengan atau tanpa kram[4, 5].

Keguguran juga dapat disertai gejala berikut[3, 4]:

  • sakit punggung ringan hingga berat
  • berat badan turun
  • mukus berwarna putih-merah muda
  • kram atau kontraksi
  • dari vagina keluar jaringan yang terlihat seperti gumpalan 
  • penurunan tiba-tiba gejala kehamilan

Adanya kecacatan genetik pada bayi dalam kandungan merupakan penyebab keguguran yang paling umum. Saat keguguran dimulai, biasanya progres tidak dapat dicegah[3].

Meski keguguran umum terjadi selama trimester pertama, terjadinya pendarahan tidak selalu menandakan keguguran. Jika detak jantung teramati dalam ultrasound, lebih dari 90% ibu hamil yang mengalami pendarahan pada trimester pertama tidak mengalami keguguran[5].

Hamil Anggur

Hamil anggur (molar pregnancy) disebut juga sebagian penyakit tropoblastik gestasional atau hydatidiform mole[3, 5].

Hamil anggur merupakan kondisi yang sangat langka di mana jaringan abnormal tumbuh di dalam uterus[3, 5].

Pada hydatidiform mole penuh, hanya terdapat jaringan abnormal di dalam uterus. Sedangkan pada mole sebagian, dapat ditemukan jaringan abnormal yang tumbuh bersamaan dengan janin yang mengalami cacat lahir berat[3].

Janin biasanya dikonsumsi oleh jaringan abnormal yang tumbuh di dalam uterus. Hamil anggur tidak dapat menghasilkan janin normal atau kelahiran[3].

Pada kasus langka, jaringan tersebut bersifat kanker dan dapat menyebar ke bagian lain tubuh[5].

Selain pendarahan, kehamilan molar dapat disertai gejala seperti mual dan muntah berat, serta pembesaran uterus dengan cepat[].5

Perubahan Serviks

Selama kehamilan, terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan sel-sel pada serviks mengalami perubahan, menjadi lebih lembut dan lebih mudah mengalami pendarahan. Perubahan sel ini tidak berbahaya dan disebut sebagai ektropion serviks[3, 6].

Perubahan serviks menyebabkan kegiatan yang melibatkan kontak dengan serviks seperti intercourse atau tes Pap, dapat memicu pendarahan. Jenis pendarahan akibat perubahan serviks tidak menimbulkan bahaya[5].

Infeksi

Terjadinya infeksi pada serviks, vagina, atau infeksi penyakit menular seksual dapat menyebabkan pendarahan selama kehamilan. Pendarahan dapat disertai dengan keluarnya cairan vagina yang abnormal[3].

Pendarahan Subkorionik

Kondisi ini ditandai dengan berkumpulnya darah di antara kantung kehamilan dan dinding uterus. Terkadang, gumpalan intrauterine dapat teramati pada pemeriksaan ultrasound[3].

Tubuh ibu sering kali menyerap kembali gumpalan darah tersebut. Akan tetapi, terkadang dapat terjadi pengeluaran darah berwarna gelap atau gumpalan kecil melalui vagina[3].

Pendarahan pada Trimester Kedua dan Ketiga

Pendarahan ringan selama trimester kedua dan ketiga dapat disebabkan oleh iritasi serviks, biasanya terjadi setelah melakukan hubungan seksual atau pemeriksaan serviks. Kondisi ini umum dan tidak menimbulkan bahasa[4].

Pendarahan berat yang terjadi saat usia kehamilan lebih tua dapat menandakan adanya masalah dengan ibu atau bayi yang dikandung[5].

Pendarahan yang terjadi pada trimester kedua dan ketiga dapat disebabkan oleh:

Plasenta Previa

Plasenta previa terjadi ketika plasenta terletak pada bagian bawah di dalam uterus dekat atau menutupi serviks. Kondisi ini menyebabkan tertutupnya saluran untuk kelahiran bayi secara sebagian atau sepenuhnya[5, 6].

Jika jalur untuk kelahiran bayi tertutup hingga tidak dapat dilewati, dokter dapat menganjurkan persalinan secara sesar[6].

Plasenta previa termasuk kondisi yang sangat langka, terjadi pada 1 dalam 200 kehamilan. Pendarahan akibat plasenta previa dapat tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi memerlukan penanganan medis segera[5].

Beberapa jenis plasenta previa dapat membaik dengan sendirinya menjelang minggu ke 32-35 kehamilan seiring bagian bawah uterus meregang dan menjadi makin tipis[1].

Jika plasenta previa membaik, kelahiran dapat berlangsung secara normal. Akan tetapi jika plasenta previa tidak membaik, dapat diperlukan operasi sesar[1].

Solusio Plasenta

Pada sekitar 1% kehamilan, plasenta terlepas dari dinding uterus sebelum atau selama persalinan, menyebabkan darah berkumpul di antara plasenta dan uterus. Solusio plasenta dapat berakibat berbahaya bagi ibu dan bayinya[5].

Solusio plasenta (placenta abruption) dapat disertai gejala lain seperti sakit perut, keluar gumpalan dari vagina, uterus tender, dan sakit punggung. Jika solusio plasenta terjadi mendekati tanggal persalinan, dapat dilakukan persalinan lebih awal[5, 6].

Plasenta Akreta

Kondisi ini terjadi ketika plasenta masuk dan tidak dapat dipisahkan dari dinding uterus. Plasenta akreta dapat menyebabkan pendarahan selama trimester ketiga dan kehilangan darah berlebihan selama melahirkan[1].

Sebagian besar kasus dapat ditemukan selama kehamilan dengan pemeriksaan ultrasound rutin. Tapi terkadang, kondisi tidak ditemukan hingga setelah bayi lahir[1].

Pecahnya Rahim

Pada kasus langka, luka dari operasi sesar yang pernah dilakukan dapat sobek dan terbuka selama kehamilan. pecahnya rahim dapat mengancam keselamatan nyawa dan memerlukan operasi sesar darurat[5].

Selain pendarahan, pecahnya rahim disertai gejala seperti sakit dan pembengkakan pada perut[5].

Vasa Previa

Vasa previa merupakan kondisi yang sangat langka, terjadi sekitar 1 di antara 3.000 atau 1 di antara 6.000 kelahiran. Kondisi ini terjadi ketika pembuluh darah dalam tali pusar atau plasenta bayi melalui saluran yang menjadi jalur untuk kelahiran[5, 6].

Vasa previa dapat berdampak berbahaya bagi bayi yang dikandung karena pembuluh darah dapat robek dan menyebabkan bayi mengalami pendarahan berat dan kekurangan oksigen[5, 6].

Vasa previa disertai gejala seperti laju detak jantung bayi abnormal dan penderahan dalam jumlah besar[5].

Kelahiran Prematur

Pendarahan vagina pada kehamilan usia tua dapat merupakan tanda tubuh bersiap untuk melahirkan. Beberapa hari atau minggu sebelum persalinan, sumbatan lendir yang menutupi lubang uterus akan keluar dari vagina dan biasanya terdapat sejumlah kecil darah di dalamnya[5].

Jika pendarahan dan tanda-tanda menjelang kelahiran bayi dimulai sebelum minggu ke 37 kehamilan, sebaiknya segera menghubungi dokter karena berpotensi mengalami kelahiran prematur[5].

Gejala lain kelahiran prematur meliputi[1, 5]:

  • kontraksi yang teratur atau sering atau pengencangan uterine, sering kali tidak sakit
  • perubahan cairan yang keluar dari vagina (menjadi lebih cair, seperti lendir, atau mengandung darah) atau jumlahnya meningkat
  • tekanan pada perut atau pelvic
  • sakit pada punggung bagian bawah yang terjadi terus menerus
  • pecahnya air ketuban

Kapan Sebaiknya ke Dokter?

Pendarahan saat kehamilan dapat menjadi tanda adanya masalah, sehingga sebaiknya ibu hamil menghubungi dokter jika mengalami pendarahan[5].

Segera hubungi bantuan medis darurat, jika pendarahan saat hamil disertai gejala berikut[5]:

  • sakit berat atau kram intens pada perut bagian bawah
  • pendarahan berat, dengan atau tanpa rasa sakit
  • keluar cairan dari vagina yang mengandung jaringan
  • pusing atau pingsan
  • demam lebih dari 38oC dan/atau menggigil

Diagnosis Pendarahan Saat Hamil

Untuk ibu hamil yang mengalami pendarahan yang tidak kunjung berhenti dengan sendirinya setelah beberapa jam, dokter dapat menganjurkan dilakukan pemeriksaan[4].

Ibu hamil dapat memerlukan pemeriksaan panggul atau pemeriksaan vagina. Selain itu, ibu hamil juga dapat diminta melakukan ultrasound perut atau vagina untuk memeriksa kondisi bayi dalam kandungan[4, 6].

Dokter dapat meminta ibu hamil melakukan tes darah untuk mengecek kadar hormon. Dokter juga akan menanyakan mengenai ada tidaknya gejala lain yang dialami, seperti kram, sakit, dan pusing[4, 6].

Penanganan Pendarahan Saat Hamil

Penanganan pendarahan saat hamil bergantung pada penyebabnya. Jika gejala tidak berat dan bayi tidak terancam, dokter akan melakukan pemantauan pada kondisi. Biasanya ibu hamil diminta untuk beristirahat[2, 6].

Pendarahan ringan biasanya berhenti dengan sendirinya dalam 1 atau 2 hari. Umumnya pendarahan ringan tidak berdampak pada kehamilan[7].

Pada kasus pendarahan berat dengan kemungkinan keguguran, diperlukan penanganan medis. Selama keguguran, beberapa jaringan akan tetap berada di dalam uterus dan mengarah pada pendarahan yang sangat berat. Pasien dapat perlu dirawat inap[7].

Jika ibu memiliki golongan darah rhesus (Rh) negatif, dapat diberikan anti-D immunoglobulin untuk mencegah terjadinya masalah terkait inkompatibilitas darah pada kehamilan mendatang[7].

Untuk mengatasi pendarahan, dokter dapat menganjurkan ibu hamil untuk[2]:

  • mengambil cuti dari kerja dan istirahat di tempat tidur selama beberapa waktu
  • menghindari melakukan hubungan seksual, douche atau menggunakan tampon
  • jika mengalami pendarahan berat, dapat diminta rawat inap atau menjalani operasi

Pencegahan Pendarahan Saat Hamil

Terjadinya pendarahan saat hamil dapat disebabkan berbagai hal dan tidak selalu dapat dicegah. Meski tidak diketahui cara pasti untuk mencegah pendarahan saat hamil, calon ibu dapat menurunkan risiko terjadinya pendarahan dengan cara berikut[7]:

  • banyak beristirahat dan menghindari membuat tubuh lelah berlebihan selama hamil
  • menghindari melakukan hubungan seksual saat hamil
  • mengkonsultasikan pada dokter jika terjadi perubahan kondisi

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment