Ensefalopati Hipertensi: Penyebab, Gejala dan Pengobatan

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Hipertensi (tekanan darah tinggi) dikenal sebagai penyebab kerusakan berbagai organ seperti otak, mata, ginjal, dan jantung. Hipertensi merupakan penyebab kematian paling umum kedua setelah diabetes pada orang dewasa di seluruh dunia[1].

Tanpa perawatan, tingkat mortalitas hipertensi darurat dalam 6 bulan sebesar 50%, dan mortalitas 1 tahun mencapai 90%[2].

Apa itu Ensefalopati Hipertensi?

Istilah ensefalopati hipertensi mulai dikenal pada tahun 1928 untuk mendeskripsikan kondisi ensefalopati yang berhubungan dengan fase ganas hipertensi yang terjadi dengan percepatan lebih[2].

Ensefalopati hipertensi merupakan jenis ensefalopati yang kurang umum, ditandai dengan edema cerebral yang terjadi setelah suatu episode hipertensi berat[3].

Pada ensefalopati hipertensi dengan papilledema, pasien menunjukkan tanda disfungsi otak menyebar seperti sakit kepala berat, muntah, penglihatan kabur, kejang, dan koma. [1]

Kejang merupakan tanda paling umum ditemukan, terutama pada bayi dan anak kecil dengan ensefalopati hipertensi[1].

Di Amerika Serikat, sekitar 50% dari populasi orang dewasa mengalami beberapa tingkat hipertensi. Darurat hipertensi terhitung untuk persentase  kecil (kurang dari 2%) dari kasus hipertensi pada unit gawat darurat. Ensefalopati hipertensi secara spesifik terhitung sebanyak 15% dari darurat hipertensi yang dilaporkan[3].

Ensefalopati hipertensi kebanyakan terjadi pada orang berusia paruh baya (45-65 tahun) yang memiliki riwayat hipertensi jangka lama. Hipertensi lebih umum pada laki-laki daripada wanita[2].

Penyebab Ensefalopati Hipertensi

Ensefalopati hipertensi disebabkan oleh peningkatan tekanan darah secara signifikan. Normalnya, aliran darah ke otak dijaga dengan suatu mekanisme regulasi otomatis yang memicu dilatasi pembuluh arteri ketika tekanan darah menurun dan memicu konstriksi pembuluh arteri ketika tekanan darah meningkat[1, 3].

Pada individu normotensif, peningkatan dalam tekanan darah sistemik lebih dari rentang tertentu (misal 60-125 mmHg) memicu vasokonstriksi arteri serebral, sehingga menjaga aliran darah dalam otak tetap konstan dan barrier darah-otak utuh [2].

Regulasi otomatis ini terganggu ketika terjadi peningkatan tekanan darah secara signifikan dan tiba-tiba.

Kemudian peningkatan tekanan darah dalam pembuluh intracerebral menyebabkan penerobosan di dalam barrier darah-otak, dan cairan vaskuler berdifusi keluar dari pembuluh kapiler di dalam sistem saraf pusat[2, 3].

Scan MRI otak menunjukkan suatu pola edema posterior khas yang bersifat reversible. Kondisi tersebut biasanya dikenal sebagai leukoensefalopati posterior reversibel atau posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES)[2].

Dengan peningkatan tekanan darah sistemik terus menerus, terjadi kerusakan arteri dan nekrosis. Proges dari patologi vaskler mengarah pada vasodilatasi menyeluruh, edema cerebral, dan papilledema, yang mana ditunjukkan secara klinis sebagai defisit neurologisdan mentasi yang berubah dalam ensefalopati hipertensif[2].

Penyebab paling umum dari ensefalopati hipertensi ialah peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba pada pasien hipertensi kronis. Kondisi lain yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan mengarah pada ensefalopati hipertensi antara lain[2]:

  • Penyakit parenkim ginjal kronis
  • Glomerulonefritis akut
  • Hipertensi renovaskuler
  • Penghentian pengobatan agen hipertensi (seperti clonidine)
  • Ensefalitis, meningitis
  • Agen simpatomimetik (seperti kokain, amphetamine, phencyclidine (PCP), dan lysergic acid diethylamide (LSD))
  • Eklampsia dan preeklamsia
  • Cedera kepala, infarksi cerebral
  • Penyakit kolagen vaskuler
  • Hiperaktivitas otonomik
  • Vaskulitis
  • Konsumsi makanan yang mengandung tyramine atau antidepresan trisiklik bersamaan dengan MAOI (monoamin oksidase inhibitor)

Gejala Ensefalopati Hipertensi

Gejala umum ensefalopati hipertensi meliputi[3, 4]:

  • Sakit kepala
  • Pusing
  • Perubahan tingkat kesadaran
  • Kejang
  • Agitasi
  • Gangguan penglihatan
  • Muntah

Selain itu, ensefalopati hipertensi juga dapat menimbulkan gejala seperti[4]:

  • Sakit dada
  • Detak jantung yang tidak wajar
  • Mediastinum melebar
  • Dispnea
  • Batuk
  • Orthopnea
  • Edema pulmoner
  • Infark myokardia akut
  • Angina

Pasien dengan hipertensi darurat dapat mengalami gejala berikut[4]:

Komplikasi Ensefalopati Hipertensi

Kondisi hipertensi darurat yang terlambat atau gagal menerima penanganan dapat mengarah pada timbulnya beberapa komplikasi, seperti[3]:

Ensefalopati hipertensi yang tidak mendapatkan perawatan memadai dapat mengarah pada[3]:

  • Edema otak
  • Status epileptikus (kejang yang terus menerus dan berlangsung lama)
  • Koma
  • Kematian

Diagnosis Ensefalopati Hipertensi

Untuk mendiagnosis ensefalopati hipertensi dokter akan memeriksa riwayat kesehatan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik. Selain itu dokter dapat melakukan beberapa tes berikut[3]:

  • Pengukuran tekanan darah
  • Pengambilan sampel darah
  • X-ray dada
  • Tes imaging, seperti CT scan atau MRI
  • ECG
  • Urinalisis
  • Enzim kardiak
  • Metabolik panel dengan elektrolit dan kreatinin

Pengobatan Ensefalopati Hipertensi

Penanganan pertama untuk kondisi ini meliputi pemberian obat anti hipertensi untuk menurunkan MAP (Mean Arterial Pressure) hingga 10-15% selama 1 jam pertama.

MAP sebaiknya tidak diturunkan lebih dari 25% selama hari pertama perawatan. Tekanan darah diastolik dianjurkan diturunkan hingga 100-110 mmHg.

Reduksi tekanan darah yang dilakukan dengan hati-hati menurunkan risiko terjadinya iskemik dan memungkinkan pemulihan pembuluh darah otak [2, 3].

Pemilihan obat yangdigunakan untuk mengatasi ensefalopati hipertensi sebaiknya efek samping minimal atau tidak berefek samping terhadap sistem saraf pusat. Hindari obat seperti clonidine, reserpine, dan methyldopa[2].

Obat anti hipertensi parenteral yang umum digunakan meliputi nicardipine, labetalol, fenoldopam, dan clevidipine. Berikut informasi mengenai obat yang dapat digunakan[2, 3, 5]:

  • Nicardipine

Merupakan generasi kedua dari bloker channel kalsium derivat dihydropyridine, yang mana memiliki selektivitas vaskuler tinggi dan aktivitas vasodilator cerebral dan koroner yang kuat.

Obat ini terbukti meningkatkan volume stroke dan aliran darah koroner. Dosis 5 mg/jam melalui IV, ditingkatkan setiap 15 menit hingga dosis maksimal 15 mg/jam.

Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti sensasi panas, sakit kepala, dan takikardia, serta dapat menurunkan laju filtrasi gromerulus pada pasien dengan gangguan ginjal.

  • Labetalol

Mendukung penurunan konsisten tekanan darah tanpa merugikan aliran darah otak. Obat ini sering digunakan sebagai pengobatan awal.

Diberikan melalui infus 0,5-2 mg/menit, ditingkatkan hingga dosis maksimal 4-5 mg/menit.

Karena merupakan beta bloker nonselektif, labetalol sebaiknya dihindari pada penyakit saluran udara reaktif berat dan shock kardiogenik.

Merupakan vasodilator yang lebih mempengaruhi vena daripada arteri.

Nitrogliserin IV lebih dianjurkan daripada nitroprusside untuk pasien dengan penyakit arteri koroner berat, karena nitrogliserin meningkatkan aliran dalam pembuluh koroner, sementara nitroprusside cenderung menurunkan aliran dalam pembuluh koroner.

Dosis awal sebesar 10-20 mcg/menit ditingkatkan sebesar 10 mcg/menit setiap 5 menit untuk efek antihipertensi maksimal. Efek samping paling umum meliputi sakit kepala, takikardia, mual, muntah, apprehention, tidak tenang, otot berkedut, dan palpitasi.

  • Fenoldopam

Merupakan agonis dopamine 1 periferal yang menyebabkan vasodilatasi dan natriuresis sistemik dan renal.

Onset dan paruh waktunya cepat, menjadikannya sebagai alternative efektif dari nitroprusside, dengan keuntungan tambahan yaitu tidak melalui barrier darah-otak.

Dosis awal infus IV sebesar 0,1 mcg/kg/menit ditingkatkan sebesar  0,1 mcg/kg setiap 15 menit hingga dosis maksimal 1,6 mcg/kg/menit. 

Pada pasien dengan gangguan ginjal, penggunaan fenoldopam lebih dianjurkan karena obat ini memiliki efek proteksi terhadap ginjal.

  • Clevidine

Merupakan bloker channel kalsium generasi ketiga yang bekerja sangat cepat (dalam 1-2 menit), berfungsi menurunkan resistensi perifer tanpa mempengaruhi tone vaskuler vena dan tekanan pengisian jantung.

Clevidipine dengan segera dihidrolisis oleh esterase darah dan oleh karena itu metabolismenya tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal atau hepatik.

Dosis awal clevidipin sebesar 1-2 mg/jam, dosis digandakan setiap 90 detik hingga mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Setelah itu dosis ditingkatkan kurang dari dua kali lipat setiap 5-10 menit.

  • Nitroprusside

Merupakan dilator arteri dan vena, menurunkan pramuat dan setelah dimuat. Dalam penanganan ensefalopati hipertensi digunakan untuk diseksi aorta, bersama dengan beta bloker.

Dosis awal sebesar 0,25-1,0 mcg/kg/menit ditingkatkan dengan peningkatan sebesar 0,5 mcg/kg/ hingga dosis maksimal 8-10 mcg/kg/menit. Dosis maksimal diberikan ≤10 menit untuk meminimalkan risiko toksisitas sianida.

Pemberian nitroprusside dalam waktu lama (>1 minggu, atau pada pasien dengan gangguan ginjal, 3-6 hari) mengarah pada akumulasi thiocyanate, dengan keletihan, gemetar, sakit perut, dan muntah-muntah.

Untuk mengatasi kejang-kejang, obat anti konvulsan dapat diresepkan dan pemberian dilanjutkan hingga  gejala serta pemeriksaan neuroimaging mulai membaik[3].

Pada kebanyakan kasus, ensefalopati hipertensi dapat dipulihkan dengan penurunan tekanan darah secara mencukupi dan konservatif.

Prognosis dari kondisi ini dapat bervariasi bergantung ada tidaknya komorbiditas lain. Setelah kembali dari rumah sakit, pasien perlu melanjutkan kewaspadaan dalam penanganan hipertensi[3].

Pencegahan Ensefalopati Hipertensi

Sebagai tindakan pencegahan dianjurkan modifikasi gaya hidup, meliputi[2, 6]:

  • Menerapkan diet sehat untuk menurunkan tekanan darah. Untuk membantu menurunkan tekanan darah, dapat menerapkan diet (pola makan) yang menekankan konsumsi buah, sayur, produk susu rendah lemak, makanan tinggi kandungan kalium, dan gandum. Diet juga termasuk menghindari atau membatasi konsumsi lemak jenuh.
  • Membatasi konsumsi garam. Konsumsi garam sebaiknya dibatasi/dikurangi, terlebih jika pasien mengalami diabetes, hipertensi, atau penyakit ginjal kronis. Selain itu sebaiknya menghindari konsumsi makanan olahan karena mengandung kadar natrium tinggi.
  • Melakukan aktivitas fisik dan olahraga teratur. Olahraga disarankan dilakukan setiap 30 menit secara rutin per hari.
  • Menurunkan berat badan, hingga mencapai BMI (body mass index) kurang dari 27
  • Menghindari atau berhenti merokok
  • Membatasi atau menghindari konsumsi alkohol
  • Melakukan pengecekan tekanan darah di rumah secara berkala
fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment