Diperkirakan sekitar 10 dari 1.000.000 orang didiagnosis dengan dermatomiositis setiap tahunnya[1].
Daftar isi
Apa itu Dermatomiositis?
Dermatomiositis adalah suatu penyakit langka yang menyebabkan inflamasi otot dan ruam kulit[2, 3].
Gejala umum meliputi ruam kulit di sekitar kelopak mata, benjolan merah di sekitar sendi, dan kelemahan otot pada tangan dan kaki[1].
Dermatomiositis ditandai dengan masalah kulit dan kelemahan otot skeletal proksimal simetrik.
Selain itu, penyakit ini juga dapat mempengaruhi sistem organ lainnya seperti pulmoner, kardiovaskuler, dan gastrointestinal[4].
Penyakit ini termasuk jenis miopati inflamasi. Miopati inflamasi merupakan kelompok penyakit yang meliputi inflamasi dan kelemahan otot kronis.
Miopati inflamasi diduga sebagai penyakit autominun, yaitu kondisi di mana pertahanan alami tubuh untuk melawan patogen (antibodi, limfosit, dan sebagainya) tiba-tiba menyerang jaringan tubuh yang sehat tanpa alasan yang diketahui, mengarah pada inflamasi atau pembengkakan[1, 5].
Fakta Dermatomiositis
Dermatomyositis dapat mempengaruhi anak-anak maupun orang dewasa. Tidak terdapat obat untuk dermatomiositis, namun periode pemulihan gejala dapat terjadi dan perawatan dapat membantu pemulihan[2].
Dermatomiositis dapat mempengaruhi semua usia, namun paling umum pada orang berusia antara 40-60 tahun, atau pada anak-anak usia 5-15 tahun[1].
Penyakit ini lebih sering mempengaruhi wanita daripada pria, dengan perbandingan 2:1 [2, 5].
Penyebab Dermatomiositis
Penyebab dari penyakit dermatomiositis belum diketahui dengan pasti. Diduga diakibatkan oleh kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan [1, 2].
Berikut beberapa penyebab dermatomiositis[3, 4, 5]:
- Faktor genetik
Faktor genetik dan mekanisme imun meliputi peningkatan frekuensi dari HLA (human leukocyte antigens) tertentu yang ditentukan secara genetik.
HLA merupakan protein yang memiliki peran penting dalam sistem imun tubuh, mempengaruhi hasil transplantasi dan tampaknya mempengaruhi kecenderungan individu terhadap penyakit tertentu.
Beberapa studi menunjukkan bahwa HLA tertentu mengalami peningkatan frekuensi pada anak-anak dan orang dewasa dengan dermatomiositis.
- Penyakit autoimun
Dermatomiositis juga termasuk kelainan autoimun. Pada dermatomiositis reaksi abnormal sistem imun mengarah pada perubahan inflamasi obstruktif dari pembuluh darah di dalam otot, jaringan konektif dalam kulit, dan jaringan lainnya.
- Infeksi
Beberapa laporan mengindikasikan agen infeksi tertentu (seperti virus coxsackie, parvovirus, echovirus, HIV, human T-cell lymphotrophic virus tipe 1, dan spesies Toxoplasma & Borellia) dapat menjadi pemicu potensial dermatomiositis.
- Faktor lingkungan
Faktor lingkungan diduga berperan dalam kasus dermatomiositis pada anak-anak yang berkembang atau bertambah buruk pada bulan April dan Mei.
- Kanker
Para ahli mengindikasikan adanya hubungan antara dermatomiositis dengan kanker pada orang dewasa.
Adanya kanker dapat menimbulkan respon autoimun abnormal yang diarahkan terhadap antigen umum di dalam otot dan tumor ganas.
Dermatomiositis yang berhubungan dengan kanker lebih sering terjadi pada orang berusia 40-50 tahun.
- Penggunaan obat tertentu
Terdapat beberapa laporan munculnya dermatomiositis setelah vaksinasi tertentu atau penggunaan obat-obat tertentu (seperti penicillamine, statin, quinidine, dan phenylbutazone).
- Radiasi
Dermatomiositis telah teramati terjadi lebih sering di antara wanita yang terekspos pada radiasi ultraviolet dengan intensitas tinggi.
Gejala Dermatomiositis
Pada kebanyakan kasus, gejala pertama berupa ruam khas pada wajah, kelopak mata, dada, area kutikula kuku, buku-buku jari, lutut, atau siku. Ruam belang-belang dan biasanya berwarna ungu kebiruan[6].
Gejala dermatomiositis dapat muncul secara tiba-tiba atau berkembang bertahap. Gejala awal berupa ruam kulit dapat disertai atau diikuti dengan kelemahan otot[1].
Gejala dapat berbeda antara pasien satu dan lainnya. Beberapa pasien dapat mengalami gejala yang lebih banyak dari kasus umum, dan gejala dapat bersifat ringan hingga berat. Gejala sering kali meningkat dan menyusut untuk alasan yang tidak diketahui[1].
Berikut beberapa gejala umum dermatomiositis[1, 5]:
- Ruam ungu kemerahan di sekitar kelopak mata
- Benjolan atau bumps merah atau ungu yang terbentuk pada bagian luar sendi-sendi tangan
- Benjolan merah atau ungu pada lutut dan siku
- Perubahan warna kulit pada bahu, leher, dan punggung bagian atas
- Kelemahan otot dimulai pada lengan dan/atau kaki
- Sakit sendi
Beberapa gejala lain dermatomiositis, meliputi[3, 6, 7]:
- Sakit otot
- Pembengkakan otot
- Sulit menelan (disfagia) atau sensasi tercekik/tersedak, dan suara berubah
- Masalah paru-paru
- Deposit kalsium keras di bawah kulit, yang mana kebanyakan ditemukan pada anak-anak
- Keletihan
- Berat badan turun
- Demam
- Kulit bersisik, kasar, kering, yang dapat mengarah pada penipisan rambut
- Sendi terasa kaku, berubah pucat dan sakit dalam kondisi dingin dan membaik ketika hangat (fenomena raynaud)
- Kesulitan bangun dari posisi duduk atau berdiri setelah jatuh
Komplikasi Dermatomiositis
Kelemahan otot dan masalah kulit yang berhubungan dengan dermatomiositis dapat menyebabkan sejumlah masalah lain. Berikut beberapa komplikasi umum dermatomiositis[4, 6]:
- Ulser kulit
- Ulser lambung
- Kesulitan bernapas
- Infeksi paru-paru
- Kesulitan menelan
- Malnutrisi
- Berat badan turun
- Miokarditis
- Penyakit paru-paru intertisial
- Penyakit jaringan ikat lainnya
- Peningkatan risiko berkembanganya kanker
- Masalah jantung (seperti gagal jantung kongestif atau penyakit arteri koroner)
Pasien dengan dermatomiositis mengalami peningkatan risiko kanker, yang mana terjadi pada 24% kasus[6].
Faktor risiko berkembangnya kanker meliputi:[6]
- Usia lanjut
- Tidak adanya penyakit paru-paru interstirial
- Keterlibatan kutaneus berat (shawl sign)
- Adanya antibodi anti-155/140 atau anti-NXP2
- Tidak adanya antibodi spesifik myositis
- Resistensi terhadap perawatan
- Riwayat kanker sebelumnya dengan kambuh
Diagnosis Dermatomiositis
Dokter dapat mengajukan beberapa pertanyaan mengenai gejala yang dialami dan riwayat kesehatan pasien untuk mendiagnosis. Kemudian dokter dapat melakukan beberapa pemeriksaan fisik dan tes kesehatan[1, 3, 6].
Berikut beberapa pemeriksaan yang digunakan untuk mendiagnosis dermatomiositis[3, 4, 6]:
- Tes darah
Tes darah dilakukan untuk menganalisis protein abnormal yang terbentuk pada penyakit autoimun. Tes darah paling umum meliputi enzim kreatin kinase otot dan antibodi antinuclear.
Beberapa enzim yang perlu diperiksa untuk keperluan diagnosis dermatomiositis meliputi aldolase, lactate dehydrogenase (LDH), aspartate aminotransferase (AST), dan alanine aminotransferase (ALT).
- Electromyelogram (EMG)
Tes ini dilakukan untuk menganalisis aktivitas impuls elektrik abnormal pada otot yang terdampak penyakit.
Tes ini bertujuan untuk memeriksa inflamasi atau otot abnormal pada tubuh.
- Biopsi kulit atau otot
Biopsi dilakukan dengan pengambilan sampel jaringan untuk kemudian diamati dengan mikroskop.
Pengamatan bertujuan untuk menganalisis masalah yang berkaitan dengan penyakit serta perubahan yang disebabkan penyakit.
Pengobatan Dermatomiositis
Pengobatan dermatomiositis bergantung pada gejala, usia, serta kondisi kesehatan umum pasien. Tidak terdapat obat untuk mengatasi kondisi, tapi gejalanya dapat ditangani[3].
Pasien dapat memerlukan lebih dari satu perawatan, dan perawatan mungkin perlu diganti seiring waktu[3, 5].
Berikut beberapa perawatan dermatomiotisis[3, 5, 6]:
- Obat Anti Peradangan
Obat anti radang meliputi steroid atau kortikosteroid. Pengobatan dengan kortikosteroid (seperti prednisone) lebih sering dipilih pada kebanyakan kasus. Obat dapat berupa oral atau intravena.
Kortikosteroid menurunkan respon sistem imun, yang mana menurunkan jumlah antibodi penyebab inflamasi.
- Obat imunosupresif
Obat jenis ini menghambat atau memperlambat sistem imun tubuh. Obat ini dapat digunakan pada pasien yang memiliki masalah dengan penggunaan kortikosteroid.
Obat imunosupresif meliputi azathioprine, methotrexate, cyclosporine A, cyclophosphamide, dan tacrolimus.
- Terapi fisik
Beberapa latihan khusus untuk meregangkan dan menguatkan otot. Alat orthostic atau assistive dapat digunakan.
- Perawatan kulit
Pasien dianjurkan untuk menghindari terpapar sinar matahari berlebihan dan menggunakan tabir surya untuk mencegah ruam kulit.
Untuk mengatasi gatal, dokter dapat meresepkan obat dengan kandungan antihistamin atau krim dengan steroid anti peradangan yang diaplikasikan ke kulit.
- Imunoglobulin
Jika pasien tidak merespon terhadap perawatan lain, obat immunoglobulin dapat diberikan.
Obat ini bekerja dengan menghambat antibodi tubuh yang menargetkan jaringan otot dan kulit. Imunoglobulin mengandung campuran dari antibodi yang dikumpulkan dari sejumlah donor sehat.
- Operasi
Prosedur operasi dapat dilakukan untuk menghilangkan deposit kalsium (calcinosis) di bawah kulit jika menimbulkan rasa sakit atau terinfeksi.
Agen anti-malaria, seperti hydroxychloroquine, dapat membantu dalam menangani masalah kulit dari penyakit dan memungkinkan untuk dosis glukokortikoid yang lebih rendah. Akan tetapi pasien dapat memiliki peningkatan risiko erupsi berkaitan dengan perawatan[5].
Bloker channel kalsium (terutama diltiazem) telah digunakan untuk mengatasi calcinosis pada pasien yang mengembangan deposit kalsium[5].
Pasien dengan peradangan otot berat dapat dianjurkan untuk mengkonsumsi lebih banyak protein untuk menggantikan protein yang hilang[5].
Prognosis Dermatomiositis
Tingkat mortalitas dari dermatomiositis diperkirakan sebesar 10%, terutama tinggi pada tahun pertama penyakit. Penyebab kematian paling umum ialah kanker, komplikasi pulmoner, dan penyakit jantung iskemik[4].
Berikut faktor prognostik yang mengindikasikan mortalitas lebih tinggi dan pemulihan kondisi rendah[4]:
- Usia lanjut
- Inisiasi perawatan lebih dari 6 bulan setelah onset gejala
- Kelemahan otot berat
- Mengalami disfaggia
- Keterlibatan pulmoner dalam bentuk kelemahan otot pernapasan atau penyakit paru-paru intertisial
- Keterlibatan jantung
- Kanker yang sudah dialami sebelumnya
65% dari pasien yang pulih memiliki kekuatan normal, 34% mengalami disabilitas ringan, dan 16% tidak mengalami disabilitas. Dengan perawatan 20% pasien mencapai remisi sementara 80% mengalami kondisi kronis atau rangkaian polisiklik[4].