5 Pantangan Suami saat Istri Hamil

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by redaction team, read our quality control guidelance for more info

Saat hamil wanita mengalami banyak perubahan pada tubuhnya karena fluktuasi hormon dan perkembangan bayi dalam kandungan. Menjaga kehamilan sering dianggap sebagai tanggung jawab wanita saja. Padahal kehamilan adalah tanggung jawab bersama sebagai pasangan[1].

Demi menjaga keamanan kehamilan, suami juga perlu memperhatikan mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Berikut pantangan suami saat istri sedang hamil:

1. Merokok

Merokok dilarang untuk dilakukan oleh ibu hamil karena rokok meningkatkan risiko komplikasi kehamilan yang dapat berakibat fatal bagi ibu dan bayi[1, 2].

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), merokok meningkatkan kemungkinan keguguran dini dan lahir mati[2].

Dampak negatif rokok juga dapat ditimbulkan akibat paparan asap rokok. Penelitian menunjukkan bahwa berhenti merokok saja tidak cukup untuk menghilangkan risiko terkait paparan rokok. Wanita hamil sering kali terpapar asap rokok karena adanya anggota keluarga atau teman yang merokok[1, 2].

Asap rokok yang berasal dari orang lain mengandung sekitar 4.000 senyawa kimia, dan banyak di antaranya yang diketahui berkaitan dengan kanker[1].

Paparan asap rokok dapat mengakibatkan dampak merugikan bagi kehamilan. Beberapa risiko terkait paparan asap rokok ialah keguguran, bayi terlahir dengan berat badan di bawah normal, kelahiran prematur, keterbelakangan dalam proses belajar dan perilaku anak, serta SIDS (sudden infant death syndrome)[1].

SIDS ialah gangguan di mana bayi tiba-tiba meninggal saat tidur. Kondisi ini masih menjadi misteri karena otopsi dan pemeriksaan medis tidak menemukan penyebab utama kematian. Selain itu, bayi terlihat sehat sebelum meninggal[1].

Oleh karena itu, untuk mengurangi risiko terjadinya kondisi yang membahayakan bagi kehamilan dan bayi, sebaiknya suami juga berhenti merokok[1].

Studi tahun 2014 menemukan bahwa suami merupakan sumber utama paparan asap rokok di rumah. Studi tersebut juga menunjukkan dampak paparan asap rokok selama kehamilan, dengan penurunan berat badan bayi saat lahir[3].

Berat badan bayi rendah berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan risiko penyakit kronis saat dewasa nanti[3].

2. Kurang Perhatian

Selama hamil, wanita perlu menghadapi perubahan fisik pada tubuhnya sekaligus tekanan mental yang dialami. Ditambah lagi, perubahan hormon selama kehamilan dapat memperburuk kondisi mental wanita[4].

Oleh karena itu, penting bagi suami untuk mengerti kondisi istrinya yang sedang hamil. Wanita hamil dapat merasa tertekan, takut, atau lelah tanpa penyebab yang jelas. Sehingga wanita hamil memerlukan seseorang untuk mendengarkan keluhannya dan menjadi tempat bersandar[4, 5].

Suami sebaiknya memastikan komunikasi terjaga dengan baik sehingga istrinya dapat menyampaikan hal yang dikhawatirkan, penyebab merasa stress, dan mengutarakan apa yang dibutuhkan. Akan lebih baik jika suami bicara pada istri untuk menanyakan bagaimana kondisi dan perasaannya[4, 5].

Selama kehamilan, wanita lebih rentan terhadap perasaan kurang diperhatikan. Menjaga komunikasi dengan mendengarkan keluhan istri dapat membantunya tahu bahwa ia tidak sendirian menghadapi kehamilannya. Komunikasi yang baik dapat meringankan tekanan mental yang dialami[4, 5].

Pada awal kehamilan, wanita dapat mengalami kesulitan karena tubuhnya mudah lelah dan terasa tidak enak badan. Selain itu, bisa timbul gejala kehamilan seperti mual dan muntah. Suami dapat memberi bantuan atau memberikan privasi jika merasa ingin muntah[6].

Wanita hamil juga dapat menginginkan makanan yang tidak biasa (mengidam). Suami hendaknya mengerti bahwa mengidam disebabkan oleh kehamilan dan mendukung istri untuk dapat menikmati makanan yang dikehendaki, termasuk jika harus pergi membelinya[6].

Sejak mendapatkan hasil tes kehamilan positif, suami hendaknya menunjukkan ketertarikan dan melibatkan diri dalam menjaga kehamilan. Untuk itu, suami juga sebaiknya sebisa mungkin mempelajari kondisi kehamilan istri dan menemani saat istri melakukan pemeriksaan kehamilan rutin ke dokter[4, 6].

Dengan ikut menemani, suami bisa mendapatkan informasi mengenai perkembangan bayi secara langsung. Selain itu, suami yang melibatkan diri dalam memantau perkembangan bayi cenderung lebih berhubungan dengan keseluruhan proses dan lebih terlibat dalam kehamilan. Langkah ini juga dapat berperan dalam menjaga hubungan suami istri yang lebih erat[4].

3. Mudah Terbawa Emosi

Perubahan hormonal yang terjadi pada tubuh wanita hamil dapat menimbulkan efek emosional, mengakibatkan wanita merasa ketakutan, cemas, hingga paranoia. Kehamilan dapat menyebabkan wanita mudah lelah dan merasa tidak nyaman sehingga mood-nya mudah berganti-ganti[4, 5].

Wanita hamil bisa tiba-tiba merasa sedih atau menangis tanpa bisa ditahan. Saat seperti itu, suami hendaknya membiarkan istrinya menangis sambil menenangkan atau meminjamkan bahu untuk bersandar[4, 5].

Suami perlu mengerti bahwa mood istri yang mudah berubah disebabkan oleh fluktuasi hormonal selama kehamilan. Oleh karenanya, suami sebaiknya tidak mudah terbawa emosi saat mood istri tiba-tiba memburuk sehingga membuatnya marah atau sedih karena hal-hal kecil[5].

Wanita hamil juga dapat memiliki keengganan pada makanan. Saat hamil, beberapa wanita cenderung lebih sensitif sehingga bisa merasa mual dan muntah karena bau makanan tertentu[4].

Suami hendaknya memaklumi jika istrinya terkadang seperti bereaksi berlebihan. Sebaiknya suami mendukung pilihan istri dan mengerti bahwa perilaku yang tidak biasa tersebut disebabkan oleh kehamilan[4].

4. Kurang Hubungan Intim

Kehamilan dapat membuat wanita merasa kembung, lelah, dan mudah marah. Selama hamil dorongan seksual wanita dapat naik turun. Ditambah karena perubahan fisik dan tekanan emosional yang dirasakan, wanita hamil dapat tidak sempat memikirkan mengenai hubungan intim dengan pasangan[4, 5].

Selain itu, kehamilan dapat menyebabkan perubahan fisik yang kentara. Wanita hamil dapat memiliki tanda kerutan, varises, dan rambut lebih pada tubuh yang mana dapat menyebabkan gangguan dan kurang percaya diri. Hal ini dapat menjadi alasan wanita hamil menjadi kurang aktif dalam hubungan intim bahkan menyebabkan keretakan dalam ikatan antara suami istri[4].

Suami perlu memastikan untuk menjaga keintiman hubungan dengan pasangannya, termasuk hubungan seksual. Berhubungan seksual boleh dan aman dilakukan selama kehamilan[4, 7].

Bayi dalam kandungan terlindungi oleh cairan amniotik di dalam uterus serta otot uterus yang kuat. Aktivitas seksual tidak akan berdampak pada bayi selama ibu tidak mengalami komplikasi seperti lahir sebelum tanggal atau masalah plasenta[7].

Berhubungan seksual saat hamil tidak dianjurkan bila mengalami kondisi seperti berikut[7]:

  • pendarahan vagina yang tidak dapat dijelaskan
  • cairan ketuban bocor
  • serviks mulai membuka secara prematur (inkompetensi serviks)
  • plasenta menutup sebagian atau seluruh lubang serviks (placenta previa)
  • memiliki riwayat melahirkan secara prematur atau sebelum waktunya

Pada trimester pertama kehamilan, hubungan seks dapat terlalu kondusif, tapi beberapa wanita hamil dapat merasa enggan atau tidak nyaman untuk melakukannya[4].

Jika istri merasa tidak nyaman untuk melakukan hubungan seksual saat hamil, suami dapat menjaga keintiman dengan melalui cara lain. Suami bisa mengajak istri untuk melakukan kegiatan romantis bersama seperti kencan, jalan-jalan berdua, atau makan malam[4, 5].

Suami juga dapat berbagi perasaan dan kekhawatiran dengan istri untuk mempererat hubungan. Selain itu, suami dapat sering menyentuh istri dengan memeluk sambil bercengkerama. Sentuhan sangat penting untuk membuat istri merasa dicintai[5, 7].

Wanita dapat merasa tidak nyaman dengan tubuhnya sendiri selama hamil, dan perhatian yang diberikan oleh suami dapat membantu istri merasa lebih aman dan dicintai[5].

 5. Bersikap Kasar dan Melakukan Kekerasan

Kehamilan dapat menjadi masa yang penuh tekanan, kekhawatiran, stress, dan membingungkan bagi beberapa pria. Pria dapat merasa tidak siap untuk merawat seorang bayi dan mengkhawatirkan berkurangnya waktu untuk bersama dengan pasangan atau kemungkinan bahwa perhatian istri akan terbagi[8].

Pada beberapa pria, kehamilan pasangan dapat memicu reaksi yang lebih kuat, seperti marah, takut, kecemasan, dan depresi. Pria dapat bereaksi berlebihan terhadap hal-hal yang biasanya tidak membuat marah[8].

Terkadang reaksi kuat tersebut dapat mengarah pada timbulnya perilaku kekerasan. Beberapa pria dapat mulai menggunakan kekerasan pertama kali saat pasangan sedang hamil[8].

Kekerasan terjadi ketika orang menggunakan kekuatan untuk menyakiti, mengendalikan, atau merisak orang lain. Kekerasan dapat berupa verbal, emosional, atau fisik[8].

Perilaku kekerasan yang dilakukan pada wanita yang sedang hamil dapat menyebabkan ketakutan yang akan memperburuk tekanan mental yang dialami akibat kehamilan. Tekanan mental pada wanita hamil dapat mengarah pada terjadinya depresi, yang mana berpotensi merugikan bagi kehamilannya[8].

Jika kekerasan terjadi pada wanita selama kehamilan, pada tubuh akan terjadi peningkatan hormon stress yang kemudian mengalir melalui plasenta dan memasuki tubuh bayi. Homon stres dapat berdampak buruk bagi perkembangan bayi[8].

Kekerasan selama kehamilan juga dapat mengakibatkan keguguran, risiko lebih tinggi kelahiran prematur, dan kematian bayi saat lahir[8].

Jika merasa stress dan marah saat istri hamil, suami sebaiknya mencari cara untuk menyalurkan atau mengekspresikannya dengan sehat. Misalnya dengan melakukan lari jarak jauh atau memukul samsak tinju[8].

Memikirkan dan membicarakan dengan tenang mengenai penyebab amarah dan stress juga dapat menjadi langkah yang baik untuk mengatasi amarah[8].

Jika mengalami kesulitan untuk mengatasi amarah sendiri, atau amarah mengarah pada kekerasan, sebaiknya pria mencari bantuan, bisa dengan bicara pada teman, kerabat, atau pada psikiater. Psikiater dapat membantu sehingga kita bisa mengutarakan dan mengekspresikan diri tanpa amarah, sehingga kita bisa membangun kembali kepercayaan hubungan dalam keluarga[8].

fbWhatsappTwitterLinkedIn

Add Comment