Daftar isi
Apa Itu Tardive Dyskinesia?
Tardive dyskinesia merupakan sebuah kondisi ketika gerakan wajah dan/atau bagian tubuh tertentu lain tidak dapat dikendalikan sehingga berdampak buruk bagi kegiatan yang penderitanya lakukan [1,2,3].
Ketidakterkendaliannya gerakan wajah dan tubuh ini dapa terjadi sebagai efek dari penggunaan obat tertentu, yakni antipsikotik atau neuroleptik, yakni jenis obat untuk mengobati masalah mental serta gangguan pada saraf [1,2,3].
Fakta Tentang Tardive Dyskinesia
- Prevalensi tardive dyskinesia dari seluruh pasien yang memperoleh penanganan dan disebabkan oleh penggunaan neuroleptik adalah sekitar 20% [1].
- Prevalensi tardive dyskinesia yang disebabkan oleh jenis obat lainnya belum melalui penelitian lebih jauh sehingga diperkirakan kasus ini sekitar 1-10% [1].
- Risiko tardive dyskinesia dialami oleh wanita lebih tinggi daripada pria, terutama wanita usia paruh baya [1,2].
- Sebanyak kurang lebih 30% wanita pasca menopause yang menggunakan obat antipsikotik selama hampir setahun memiliki kondisi tardive dyskinesia [1].
- Pada lansia, risiko tardive dyskinesia cukup tinggi terutama ketika disebabkan oleh pertambahan usia yang mengakibatkan perubahan pada tubuh serta otak [1,2].
- Penggunaan antikolinergik (obat penghambat kinerja neurotransmitter asetilkolin) jangka panjang juga dapat menjadi faktor seseorang mengalami tardive dyskinesia [1].
- Risiko tardive dyskinesia dialami oleh orang-orang keturunan Afrika-Amerika pun lebih tinggi, terutama jika menggunakan obat dopamine-blocking agents dalam jangka panjang [1,2].
Penyebab Tardive Dyskinesia
Obat antipsikotik atau neuroleptik merupakan golongan obat paling berpotensi menyebabkan tardive dyskinesia [1,2,3].
Obat-obatan ini biasanya digunakan untuk masalah sistem saraf dan kesehatan mental, seperti halnya gangguan bipolar, skizofrenia dan lainnya [1,2,3].
Namun karena kini antipsikotik telah dikembangkan, maka antipsikotik pada generasi kedua ini tergolong lebih aman daripada antipsikotik generasi pertama [3].
Versi dulu atau versi awal antipsikotik meningkatkan risiko penggunanya terserang tardive dyskinesia [3].
Berikut ini pun merupakan sejumlah obat-obatan yang mampu meningkatkan risiko tardive dyskinesia :
- Perphenazine, yakni jenis obat untuk mengatasi mual dan muntah pada orang dewasa serta solusi bagi gejala skizofrenia [2,3].
- Prochlorperazine, yakni jenis obat yang bisa mengatasi mual dan muntah, namun juga efektif sebagai pereda gejala skizofrenia dan gangguan kecemasan [2,3].
- Obat antikejang, meliputi phenobarbital dan phenytoin [3,4].
- Obat antidepresan, meliputi fluoxetine, trazodone, sertraline, phenelzine dan amitriptyline [1,2,3].
- Thioridazine, yakni obat untuk pereda gejala skizofrenia [2,3].
- Trifluoperazine, yakni jenis obat yang mampu mengatasi gejala kecemasan dan skizofrenia [2,3].
- Chlorpromazine, yakni obat yang biasa digunakan untuk mengatasi skizofrenia [2,3].
- Fluphenazine, yakni obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi gejala psikotik dan halusinasi serta solusi pereda gejala skizofrenia [2,3].
- Haloperidol, yakni obat yang digunakan untuk gangguan perilaku, sindrom Tourette, dan gangguan psikotik [2,3].
- Metoclopramide, yakni obat yang biasanya digunakan untuk mengatasi ulkus dan luka pada esofagus serta mengatasi heartburn (panas di ulu hati) [1,2,3].
Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan tersebut pun melalui resep dokter lebih dulu [3].
Namun ketika dikonsumsi jangka panjang, maka risiko tardive dyskinesia cukup tinggi untuk dialami pengguna [1,2,3].
Meski demikian, tak semua pengguna jangka panjang obat-obat tersebut akan mengalami tardive dyskinesia [3].
Ketika gejala tardive dyskinesia mulai timbul, berhenti menggunakan obat-obat tersebut tidak memengaruhi gejala sama sekali [3].
Gejala akan tetap dialami walaupun sudah tidak mengonsumsi obat-obatan tersebut pada beberapa orang, sedangkan sebagian orang mengalami redanya gejala [3].
Gejala Tardive Dyskinesia
Gejala tardive dyskinesia terbagi menjadi dua kondisi gejala, yakni gejala yang bersifat ringan hingga sedang dan gejala bersifat sedang hingga lebih serius [1,2,3].
Pada gejala ringan hingga sedang, umumnya tardive dyskinesia menimbulkan kondisi seperti gerakan menyentak yang kaku [1,3].
Hal ini biasanya dialami pada area rahang, bibir, lidah dan area wajah lainnya [1,3].
Gerakan-gerakan tak terkendali pada tahap ringan hingga sedang umumnya meliputi [1,2,3] :
- Mengecapkan bibir berulang kali
- Mengedipkan mata berulang kali
- Menjulur-julurkan lidah
- Meringis berulang kali
- Mengisap atau mengunyah terus-menerus
Sementara pada gejala bersifat sedang hingga lebih serius dan mulai sangat tak terkontrol, kondisi ini terjadi pada area jari kaki, jari tangan, lengan, dan tungkai [1,3].
Pada tahap ini beberapa gejala yang terjadi pada penderita adalah [1,2,3] :
- Menggerak-gerakkan panggul
- Menggerak-gerakkan bahu
- Memutar leher berulang kali
- Mengetukkan jari berulang kali (seperti sedang memainkan piano)
Stres mampu menjadi faktor yang akan memperburuk gejala-gejala tersebut, sementara saat tidur gejala akan mereda dan cenderung hilang [1,3].
Penderita dapat mengalami kesulitan makan dan bicara ketika sudah pada tahap tardive dyskinesia berat [1,3].
Pemeriksaan Tardive Dyskinesia
Ketika gejala-gejala mulai timbul dan aktivitas sehari-hari menjadi tidak nyaman karenanya, segera ke dokter dan berkonsultasi.
Berikut ini adalah sejumlah metode pemeriksaan yang pasien perlu lalui agar dokter bisa segera menentukan perawatannya.
- Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan
Dokter akan memeriksa gejala seperti apa saja yang pasien alami [1,3].
Dokter juga menanyakan riwayat medis pasien, berikut riwayat pengobatan [1,3].
Dalam menentukan apakah gejala yang terjadi merupakan kondisi tardive dyskinesia, dokter perlu tahu obat apa saja yang pernah atau setidaknya sedang dikonsumsi [1,3].
Dokter biasanya mendiagnosa pasien dengan tardive dyskinesia ketika psien mempunyai riwayat konsumsi obat antipsikotik selama kurang lebih sebulan hingga dua bulan [1,3].
- AIMS (Abnormal Involuntary Movement Scale)
Pemeriksaan penunjang sangat dibutuhkan untuk memastikan kondisi tardive dyskinesia pada pasien, oleh sebab itu AIMS adalah metode yang akan dokter umumnya terapkan [1,3,6].
Metode ini digunakan sebagai alat pengukur tingkat keparahan gejala-gejala yang timbul, khususnya menilai gerakan-gerakan tak terkendali pada wajah maupun tubuh [1,3,6].
Dalam pengukuran atau penilaian ini, terdapat 12 skala ketika digunakan dalam pengamatan gerakan-gerakan abnormal tak terkontrol di tubuh pasien [1,3,6].
- Tes Pemindaian
Tes pemindaian ini meliputi tiga metode, yakni MRI scan, CT scan, dan PET scan [1,3,7].
Ketiganya sangat penting dalam membantu dokter untuk menghasilkan diagnosa yang paling tepat.
Ketiganya dibutuhkan untuk dokter dapat memastikan apa yang terjadi pada otak pasien [1,3,7].
- Tes Darah
Tes darah pun merupakan tes penunjang lainnya yang perlu ditempuh oleh pasien agar kadar kalsium dalam darah dapat dihitung [3].
Selain itu, dokter perlu memeriksa fungsi organ hati serta kelenjar tiroid dalam tubuh pasien [3].
Beberapa tes penunjang tersebut tergolong penting untuk pasien tempuh karena gejala-gejala tardive dyskinesia memiliki kemiripan dengan gejala kondisi lain [3].
Beberapa kondisi lain yang memiliki kemiripan gejala dan perlu dipastikan adalah [1,2,3] :
- Sindrom Tourette
- Penyakit Huntington
- Cerebral Palsy
- Dystonia
- Penyakit Parkinson
Dari hasil pemeriksaan lengkap, dokter tidak hanya mampu memastikan kondisi pasien, tapi juga menentukan pengobatan yang paling tepat.
Pengobatan Tardive Dyskinesia
Pada penanganan kondisi tardive dyskinesia, dokter harus benar-benar telah memastikan obat golongan apa yang menyebabkan gejala dialami pasien.
Perawatan utama yang diperlukan setelah mengetahuinya adalah meminta pasien berhenti mengonsumsi obat tersebut lebih dulu [1].
Namun biasanya, pasien akan diberi obat alternatif oleh dokter karena pasien masih memerlukan obat tersebut untuk mengatasi penyakit yang sedang dialami [1].
Jika tingkat keparahan gejala tardive dyskinesia pasien pada tahap ringan dan sedang, beberapa obat ini umumnya dokter berikan [1,2,3] :
- Clonazepam
- Ginkgo biloba
- Tetrabenazine
- Valbenazine
- Botox (botulinum toxin) yang diberikan dengan cara menyuntikkannya ke area wajah pasien guna meredakan nyeri maupun gerakan-gerakan tak terkendali
Selain itu, prosedur DBS atau deep brain stimulation juga akan dokter rekomendasikan, khususnya jika gejala tardive dyskinesia pasien sudah pada tahap berat [2,3].
Dalam terapi ini, dokter memanfaatkan neurostimulator, alat pemberi sinyal ke otak supaya gerakan tubuh dan wajah mulai lebih terkendali [8].
Bagaimana prognosis tardive dyskinesia?
Tardive dyskinesia pada dasarnya merupakan jenis penyakit kronis yang tak mudah untuk berhenti [1].
Gerakan-gerakan tubuh yang tak terkendali walaupun sudah hilang karena pengobatan tetap berpotensi kembali kambuh di kemudian hari [1].
Prognosis tergolong cukup baik apabila gejala dapat dikendalikan dengan pengobatan yang tepat sehingga tingkat keparahan dapat diminimalisir [1].
Komplikasi Tardive Dyskinesia
Jika tidak segera ditangani, gejala-gejala tardive dyskinesia berpotensi memburuk dan akan semakin meningkatkan ketidaknyamanan pada penderita selama melakukan aktivitas sehari-hari [1].
Ketidaknyamanan yang dirasakan karena gerakan wajah dan tubuh yang tak terkontrol mampu mengakibatkan rasa malu dan rendah diri pada penderita, terutama saat berada di tempat umum [1].
Pada kondisi gejala tardive dyskinesia yang berat, risiko komplikasi paling patut diwaspadai karena fatal adalah tardive dyskinesia pada diafragma dan laring [1].
Pencegahan Tardive Dyskinesia
Melakukan konsultasi dengan dokter adalah cara pencegahan terbaik untuk kasus tardive dyskinesia.
Pada penderita penyakit saraf atau mental yang membutuhkan obat seperti neuroleptik dan antipsikotik jangka panjang, sebaiknya konsultasikan hal ini dengan dokter [3].
Dosis dan efek samping perlu ditanyakan secara lebih detail dengan dokter; bahkan penderita dapat menanyakan tentang tardive dyskinesia sebagai salah satu efeknya [3].
Dokter dapat memberikan jenis obat lain untuk mengatasi kondisi pasien serta menyesuaikan dosis demi meminimalisir risiko timbulnya gejala tardive dyskinesia.